Falsafah

Menafsir Ulang Korpus Resmi Al-Qur’an

2 Mins read

Sebelum Al-Qur’an distandarisasi di masa Khalifah Utsman, tentu dirawat terlebih dahulu oleh sahabat. Hingga sampai pada penyeragaman bacaan dan pembukuan Al-Qur’an yang disebut sebagai muhsaf Utsmani. Mushaf inilah yang menjadi representasi dari dinamika Al-Qur’an. Baik sebagai kalam Tuhan, bahkan sampai sistem oral zaman Nabi. Salah satunya adalah berimplikasi terhadap Al-Qur’an sendiri. Hal ini kemudian dilembagakan dan diresmikan dalam bentuk korpus, sebagaimana istilah Arkoun.

Korpus Resmi dalam Pandangan Arkoun

Muhammad Arkoun adalah salah seorang pemikir muslim yang banyak menghabiskan waktunya di Eropa, Prancis. Arkoun dilahirkan di kota Aljazair yang dikenal Kabilia. Arkoun menyelesaikan sarjananya di Universitas Aljir. Di samping menjadi pengajar di pinggir kota negaranya, satu-satunya bidang yang diminati adalah bidang bahasa. Terutama bahasa Arab.

Satu hal yang menjadi sumbangsih Arkoun, secara nilai disebut “korpus resmi tertutup”. Di dalam pembacaan Arkoun terhadap Al-Qur’an, peran yang memberi peluang terbanyak adalah terhadap akal.  Jauh sebelum itu, eksistensi nalar bayani (dalam istilah Abid al-Jabiri) justru diklaim seolah-olah menyempitkan peranan akal. Apalagi disandingkan dengan al-Qur’an, tentu peran akal sering diletakkan pada derajat yang sukar mencapai kebenaran.

Meski Arkoun memahami bahwa Al-Qur’an sudah distandarisasi dalam korpus resmi tertutup, menurutnya tetap ada peluang kritik. Dengan demikian, Al-Qur’an masih bisa dilakukan pembacaan dan reinterpretasi terhadap kandungan termuat di dalamnya (Baedhowi, 2017: 159).

Al-Qur’an: Korpus yang Punya Historis Kuat

Pemikiran Arkoun yang digaungkan, tak lain bahwa Al-Qur’an memiliki nalar historis yang kuat. Tentunya, masih diselingi selingkung budaya di balik setiap ayat dan surat di dalam Al-Qur’an itu sendiri. Maka korpus yang harus diakui untuk membacanya adalah tidak cukup hanya dengan literal dengan apa yang tampak. Diktum semacam ini, menjadi sangat urgen jika memahami Al-Qur’an dengan multidisipliner.

Baca Juga  Bagaimana Immanuel Kant Memandang Perdamaian?

Dalam pembacaan terhadap al-Qur’an, mau tidak mau, harus memasukkan seperangkat alat ilmu humaniora. Mulai dari perangkat sosiologis bahkan sampai perangkat historis wajib digunakan untuk pembacaan ini. Dengan begitu, akan ditarik kesimpulan, bahwa setiap masa dan priode yang telah dilintasi al-Qur’an terdapat perbedaan yang signifikan.

Didorong oleh kesadaran akan latar belakang historis yang kuat, tentu juga akan mendorong penggunaan perangkat asbab al-nuzul. Mengutip Jalaluddin as-Suyuthi dalam al-Itqan, bahwa salah satu faedah di balik pengetahuan sebab turunnya ayat adalah memahami hikmah pensyariatan. Namun, pandangan pribadi, bukan hanya sebatas hikmah di balik pensyariatan. Tetapi juga latar belakang dan setting—baik waktu maupun tempat—di mana Al-Qur’an turun bisa dibedah menggunakan itu.

Sikap Bijak untuk Hari ini

Disadari atau tidak, setiap priode dan masa mempunyai corak pemikiran masing-masing. Dan setiap zaman mempunyai cara mempraktikkan suatu sistem pemikiran. Sistem pemikiran ini dalam istilah Foucault yang disebut episteme. Sedang gaya ungkap dan cara membicarakan sistem itu disebut wacana. 

Sementara relevansi yang hendak dikaitkan dengan konteks hari ini adalah pandangan korpus tentang Al-Qur’an tersebut. Dengan kesadaran akan pembacaan yang memang secara pasti berbeda, semestinya tidak ada hierarki dalam wacana tafsir. Segala bentuk penafsiran bisa dianggap mempunyai kebenaran masing-masing tanpa saling menegasi. Hal tersebut juga untuk menghindarkan Al-Qur’an dari dogmatisasi yang ditunggangi kepentingan secara pragmatis sektarian.

Arkoun sendiri juga hendak mencapai suatu pemaknaan terhadap Al-Qur’an dengan objektif. Bagaimana pun juga, untuk siapa pun yang tidak sedang berafiliasi dengan kelompok tertentu yang mempunyai keluwesan dan kemandirian. Satu-satunya kepentingan yang hendak dicapai Arkoun tidak lain adalah: membebaskan tafsir dan wacana keagamaan secara universal dari tunggangan praktik politis-ideologis.

Baca Juga  Membaca Mustadh’afin Lewat Kacamata Post-Strukturalisme

Sikap kerendahhatian dan keterbukaan semacam itu bisa menghantarkan siapapun pada objektifitas. Meski, satu hal yang kita harus catat, keterbukaan dan sikap kritis terhadap Al-Qur’an tidak akan mendapat jalan lapang. Usaha semacam itulah seolah-olah membongkar kemapamanan. Di seberangnya, penentang paling depan adalah orang Islam sendiri yang kemapanannya mulai terancam.  

Editor: Zulfikar

Avatar
10 posts

About author
Pegiat literasi dan berdomisili di Garawiksa Institute Yogyakarta. Anggitannya telah tersebar di pelbagai media cetak dan online antara lain; Tempo, Kedaulatan Rakyat, Tribun Jateng, Minggu Pagi, Harian Merapi, Harian Rakyat Sultra, Bali Pos, Analisa, Duta Masyarakat, Pos Bali, Suara Merdeka, Banjarmasin Post, dll. Bisa ditemui di surel [email protected] atau instagram @rofqil_bazikh
Articles
Related posts
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds