Oleh: Hendra Hari Wahyudi*
Dalam kehidupan, manusia mempunyai keterbatasan berupa waktu hidup. Setiap detiknya kita berjalan menuju ajal, tanah pun seakan menanti kita kembali. Setiap yang bernyawa akan merasakan mati, itu pun sudah pasti sesuai kalam Ilahi:
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu dikembalikan.”
al-‘Ankabût: 57
Bekal untuk Ajal
Sebagaimana orang kembali ketempat asal, apa kita sudah punya bekal? Jika tanpa bekal, apa kita bisa sampai ke tempat tujuan? Kehidupan dunia, mungkin materi, menjadi pilihan sebagian besar manusia sebagai bekal. Namun, apa materi mampu membiayai perjalanan kita di akhirat?
Manusia tempatnya salah dan lupa, dan untuk lupa terkadang manusia sengaja melupakan sesuatu yang sejatinua pasti terjadi pada dirinya, yakni mati. Sebagai manusia biasa, memang kadang terlalu terlena terhadap kehidupan duniawi. Harta, tahta, wanita, dan bahkan kuota pun melalaikannya dari kematian. Orang beriman, setiap saat dikehidupannya akan mengingat kematian, sehingga ia enggan untuk lupa akan Tuhan.
Bagi orang yang kufur nikmat, jangankan mati, Tuhan pun ia tak peduli. Kekayaan harta kadang membuat orang bekerja siang malam, mereka berpikir bahwa dengan harta banyak dapat mengangkat kedudukan mereka. Padahal mereka salah, mereka tak sadar bahwa kekayaan hanya akan menguburnya dalam kesenangan duniawi semata. Allah Ta’ala berfirman,
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS Al Mujadalah: 11).
Banyak orang beranggapan dengan mempunyai kekayaan yang melimpah, akan menjamin hidupnya di dunia. Memang benar, tapi hanya sesaat apalagi kalau harta yang ia dapat kurang berkah. Orang lebih suka bekerja daripada belajar, bahkan orang belajar orientasinya untuk mendapat pekerjaan. Sering orang menanyakan “Kamu kuliah jurusan apa? Nanti kalau lulus kerja apa?”. Nyaris pertanyaan itu sering menghampiri mahasiswa.
Atau saat masih kecil, disuruh sekolah yang bener, biar pinter, ntar gede jadi dokter. Namun, apakah sebagai orangtua lupa bahwa akhir dari semua ini adalah ajal? Dan apakah orangtua sudah mengingatkan anaknya untuk menyiapkan bekal? Jarang kita dengar.
Ilmu sebagai Bekal
Setiap orangtua ingin anaknya sukses, jadi dokter, guru, PNS, atau atasan di sebuah perusahaan yang gajinya miliaran. Hingga lupa mengingatkan bahwa semua akan ditinggal ketika datangnya kematian. Begitu pula calon mertua, sering menanyakan soal kerjaan, gaji, dan hunian. Namun luput apakah anaknya akan dibawa calon menantu dari pelaminan hingga surganya Tuhan.
Dari surat Al Mujadalah ayat 11 diatas kita sudah dapat kunci untuk sukses di dunia dan diakhirat hanya dua, iman dan ilmu. Keduanya seakan saling melengkapi, dan sesungguhnya memang pelengkap satu sama lain.
Iman merupakan benteng utama manusia dari tipu daya dunia, karena dunia ini hanya permainan. Dalam Al Qur’an Allah berfirman:
“Kehidupan dunia ini hanyalah main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” [al-An’âm: 32].
Pada kalimat terakhir ada sebuah pertanyaan, “Maka tidakkah kamu memahaminya?” Bagi mereka yang ingkar, tak akan pernah paham dan terlena dengan apa yang ada di dunia dan isinya. Padahal dunia dan seluruh isinya tak lebih baik dari shalat sunnah dua rakaat sebelum shalat Subuh. Rasulullah bersabda:
“Dua rakaat (sebelum) shalat fajar (subuh) lebih baik dari dunia dan seisinya.” (HR. Muslim)
Namun kadang kita lupa, kita terlalu takut lapar dan miskin, apalagi di zaman now dengan gaya hidup hedonisme. Kesenangan dan kenikmatan menjadi tujuan hidup, dari kota bahkan pelosok desa sudah terjangkit wabah hedon. Nikmat yang Allah berikan tidak dapat kita hitung sebagaimana ayat 18 surat An Nahl, saking banyaknya sampai kita lupa untuk bersyukur akan nikmatNya. Bukan karena kebingungan, namun kita sebagai manusia kadang terlalu sombong hingga kufur nikmat tersebut.
Mengapa Bukan Harta dan Tahta?
Allah juga sudah mengingatkan hambaNya untuk mensyukuri nikmat, bahkan di surat Ar Rahman ayat yang berbunyi “Fabiayyi ‘aalaa’i Rabbikumaa Tukadzdzibaan” diulang sebanyak 31 kali. Maka Tuhanmu yang mana lagi yang kau dustakan? Mungkin kita sebagai manusia sering mendustakan nikmat Allah, karena kadang manusia tidak menyertakan Allah dalam setiap langkahnya. Maka, iman sangatlah penting untuk menjadi bekal manusia ketika menghadap Rabbnya.
Ilmu, banyak berbagai ilmu yang ada. Menuntut ilmu sangat dianjurkan oleh Islam, Muhammad SAW bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” (HR. Ibnu Majah). Kebutuhan pada ilmu lebih besar dibandingkan kebutuhan pada makanan, minuman, bahkan harta. Sebab urusan akhirat dan dunia bergantung pada ilmu.
Imam Ahmad mengatakan, “Manusia lebih memerlukan ilmu daripada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman hanya dibutuhkan dua atau tiga kali sehari, sedangkan ilmu diperlukan di setiap waktu.”
Ilmu bisa mencukupi hidup kita, karena dengan ilmu kita bisa memenuhi kebutuhan. Kalau harta? Tahta? Harta lama kelamaan akan habis, kalau bukan harta yang meninggalkan kita, kita yang meninggalkan harta begitu pula tahta (jabatan). Maka, dengan ilmu semua urusan kita akan terasa mudah mulai dari perjalanan hidup, hingga perjalanan menuju surga pun akan lancar bagaikan tanpa hambatan.
Rasulullah bersabda, “Barang siapa menelusuri jalan untuk mencari ilmu padanya, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim).
Mengejar Dunia dan Akhirat
Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat dan sangat mudah dijangkau di era digital ini harusnya kita manfaatkan sebagai sarana menambah wawasan kita. Ilmu sebagai bekal hidup, di mana dalam mencapai cita-cita, ibadah, bahkan mendapatkan harta dan tahta juga butuh ilmu. Tapi terkadang belajar kita jalani dengan malas, bahkan seolah alergi.
Majelis ilmu diberbagai kegiatan juga kadang membuat kita jenuh, padahal disanalah kita akan menambah bekal kita setelah membekali diri dengan iman, sudah sepatutnya kita lengkapi dengan bekal ilmu.
Ibnu Katsir berkata, “Sesungguhnya yang paling takut pada Allah dengan takut yang sebenarnya adalah para ulama (orang yang berilmu). Karena semakin seseorang mengenal Allah Yang Maha Agung, Maha Mampu, Maha Mengetahui dan Dia disifati dengan sifat dan nama yang sempurna dan baik, lalu ia mengenal Allah lebih sempurna, maka ia akan lebih memiliki sifat takut dan akan terus bertambah sifat takutnya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6: 308).
Ajal bisa datang kapan saja tanpa permisi, kadang ajal juga lebih dekat daripada jodoh. Selain kita menyiapkan bekal buat menemukan jodoh, bukankah sebaiknya kita siapkan pula bekal untuk bertemu malaikat penjabut nyawa. Jika kita mati, apapun yang kita dapati didunia akan kita tinggalkan. Jangan sampai kita terlalu bersemangat mengejar nikmat dunia, hingga kita lalai lalu di alam barzah kita mendapati siksa.
Hidup di dunia tidaklah selamanya, ibarat kalimat yang sering kita dengar urip mung mampir ngombe (hidup cuma mampir minum). Meski begitu, mari kita kejar dunia seakan hidup selamanya, mari kejar akhirat seakan kita mati besok.
***
Jangan sampai kita hidup didunia hanya menanti ajal tanpa membawa bekal. Bekal iman dan ilmu merupakan bekal yang tepat. Karena, kalaupun kita meninggal, ilmu yang bermanfaat bagi orang lain pahalanya akan terus mengalir kepada diri kita. Muhammad Rasulullah SAW bersabda,
“Jika seorang manusia meninggal, terputuslah amalnya, kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang berdoa untuknya” (HR. Muslim). Bukan harta, tahta, dan wanita, shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak kita yang shalih shalihah akan menerangi liang lahat kita.
Semoga anak-anak kita menjadi anak yang shalih shalihah, dan semoga kita mewariskan ilmu yang bermanfaat sehingga tidak membuat kubur kita pekat.