Menariknya sejarah Kota Mekkah tak lain karena sejarah kota ini adalah sejarah Nabi Ibrahim dan Hajar beserta putranya, Ismail. Penelitian Jerald F. Dirks (2004) berhasil melacak peristiwa bersejarah ini terjadi pada sekitar tahun 2079 SM. Yaitu sewaktu Nabi Ibrahim memboyong Hajar dan Ismail dari Hebron (Palestina) menuju ke arah tenggara melewati “Jalur Wewangian” (Incense Route) dan singgah di sebuah lembah lembah sempit.
Dikenal sebagai Bakkah
Perjalanan ketiga orang terpilih ini menyusuri Pegunungan Sirat hingga akhirnya mereka menuruni sebuah lembah sempit yang dikenal dengan nama Bakkah. Tanahnya gersang dan tandus. Suhu udaranya cukup tinggi. Pada musim panas suhu udaranya mencapai 40 derajat celcius.
Di lembah ini ditumbuhi jenis pohon balsam, selain semak belukar. Atas dasar inilah, kawasan tersebut dinamakan “Bakkah.” Para sejarawan Muslim berpendapat bahwa nama Bakkah merupakan suatu “kawasan yang sempit.” Namun sebagian sejarawan Muslim berpendapat bahwa nama “Bakkah” ditujukan untuk sebuah lembah yang hanya dapat ditumbuhi jenis pohon balsam.
Setelahnya, Nabi Ibrahim meninggalkan istri dan putranya di kawasan lembah ini. Konon, setelah beberapa lama muncul mukjizat ditemukan mata air Zam-zam.
Setelah ditemukan mata air Zam-zam, Hajar dan Ismail melangsungkan kehidupan di area yang gersang dan tandus ini. Tidak beberapa lama, kedatangan kafilah dari Suku Jurhum (Arab Qathan) turut meramaikan kawasan ini.
Kemudian, mata air Zam-zam tidak hanya digunakan untuk kebutuhan minum, tetapi juga untuk mengolah pertanian. Orang-orang dari Suku Jurhum mulai menanam pohon kurma dan beberapa tanaman yang cocok di kawasan ini.
Pada sekitar tahun 2067 SM, Nabi Ibrahim (kira-kira berusia 99 tahun) menjenguk putra dan istrinya untuk pertama kalinya. Pada kesempatan ini, Nabi Ibrahim mendapati lembah Bakkah sudah hampir menjadi sebuah kota kecil. Orang-orang dari Suku Jurhum sudah banyak sehingga kawasan lembah Bakkah berubah menjadi perkampungan yang ramai.
Bakkah menjadi Makkah
Pada usia antara 108 hingga 137 tahun, Nabi Ibrahim bersama putra tertuanya, Ismail, mendapat perintah supaya meninggikan pondasi Rumah Tua (Bait Al-‘Atiq) yang berbentuk kubus berukuran 12 x 10 x 15 meter. Peristiwa ini tidak diketahui persis kapan terjadinya.
Namun berdasarkan penelitian Jerald F. Dirks, sewaktu pembangunan Ka’bah, Nabi Ibrahim berusia kira-kira 108 atau 137 tahun. Dengan demikian, peristiwa pembangunan Ka’bah ini diperkirakan terjadi antara tahun 2099 hingga 2070 SM.
Atas dasar inilah, sesungguhnya lembah Bakkah pada generasi setelah Nabi Ismail sudah menjadi sebuah kota penting bagi umat agama-agama samawi. Kota kecil yang berada di kawasan lembah sempit tersebut kemudian masyhur dengan nama Makkah.
Seiring berjalannya waktu, Nabi Ismail menikah dengan seorang perempuan dari Suku Jurhum. Pernikahannya yang pertama tidak mendapat persetujuan dari ayahnya. Konon, sikap menantu Ibrahim ini tidak sabar menghadapi ujian dalam rumahtangga. Pada pernikahan Ismail yang kedua mendapat restu dari ayahnya.
Dalam Sirah Ibnu Ishaq (2002) disebutkan bahwa perempuan yang dinikahi oleh Nabi Ismail bernama Ra’la bint Mudad bin Amr Al-Jurhumiy. Lewat pernikahan kedua ini, Nabi Ismail mendapat keturunan: Nabit, Qaydar, Adabil, Mabsha, Misima’, Dimma, Mashi, Adhr, Yatur, Nafis, Tayma, Qayduma, dan Mahalath. Keturunan Ismail inilah yang kemudian memegang kekuasaan atas kota Makkah pertama kali.
Lewat keturunan Nabi Ismail dari Suku Jurhum, Ka’bah mendapat perawatan yang baik selama beberapa generasi. Putra-putra keturunan Nabit menguasai Rumah Tua yang disucikan dibantu putra-putra Nabi Ibrahim dari istrinya yang kedua, Qaturah bint Amr bin Yaqthan. Mereka melestarikan tradisi Ibrahim dari generasi Nabit bin Ismail sampai pada silsilah Mudad bin Amr Al-Jurhumiy.
Menariknya Sejarah Kota Mekkah
Suku Jurhum dipimpin oleh Mudad bin Amr Al-Jurhumiy sedang keturunan Qaturah bint Amr bin Yaqthan dipimpin oleh Samaida’. Pada masa inilah, antara kedua suku keturunan Ibrahim ini berebut pengaruh di kota Makkah.
Mudad bin Amr bertindak tiranik. Dia menarik cukai illegal kepada setiap orang yang berkunjung ke Makkah. Suku Qaturah yang dipimpin oleh Samaida’ berontak. Tetapi nasib naas bagi Samaida’, dia tewas oleh pasukan Suku Jurhum di bawah pimpinan Mudad bin Amr. Menurut sejarawan Ibnu Ishaq, pada saat itulah pengaruh Suku Qaturah di Makkah hilang karena telah dikuasai sepenuhnya oleh Suku Jurhum.
Sikap pimpinan Suku Jurhum makin tiranik. Pada akhirnya, suku-suku di sekitar Makkah bersatu untuk menaklukkan rezim Jurhum. Suku Bakr (Kinanah) dan Ghubsan (Khuza’ah) berkoalisi untuk menaklukkan kekuasaan tiranik yang menyelimuti kota Makkah. Suku Jurhum akhirnya dipaksa meninggalkan Makkah.
Sebelum meninggalkan kota Makkah, tampaknya suku Jurhum yang telah putus asa dan mengakhiri kekuasaan mereka dengan melakukan aksi pemusnahan. Dalam peristiwa ini, Amr bin Harist bin Mudad Al-Jurhumiy melakukan penimbunan secara besar-besaran terhadap mata air Zam-zam. Suku Bakr dan Ghubsan tidak dapat melacak sumber mata air yang berhasil ditimbun oleh Suku Jurhum ini.
Mekkah di Bawah Kinanah dan Khuza’ah
Setelah episode kepemimpinan Suku Jurhum, tampaknya pengaruh Suku Ghubsan lebih dominan ketimbang Suku Bakr (Kinanah). Sama seperti halnya Suku Jurhum, orang-orang dari Suku Khuza’ah juga berbuat dzalim.
Mereka menyalahgunakan wewenang dalam menguasai kota Makkah. Mereka memungut upeti secara illegal dan bertindak sewenang-wenang terhadap para peziarah Haji.
Sumber-sumber klasik mengisahkan menariknya sejarah Kota Mekkah ini dalam bentuk syair-syair Arab pra Islam. Pada masa kekuasaan Suku Khuza’ah, terutama ketika dipimpin oleh Hulail bin Habashiya bin Salul bin Ka’b bin Amr Al-Khaza’iy, terjadi proses peralihan kekuasaan secara damai tanpa menitikkan darah sedikitpun.
Proses peralihan kekuasaan ini melibatkan peran sentral tokoh Qushayy bin Kilab bin Murrah bin Ka’b, seorang keturunan Suku Quraish.
Qushayy bin Kilab, salah seorang keturunan Suku Quraish yang juga masih satu silsilah dengan Suku Ghubsan. Dia melamar putri Hulail bin Habashiya. Dari pernikahan ini, Qushayy bin Kilab mendapat empat orang anak: Zuhrah, Abd. Dar, Abd. Manaf, dan Asad.
Pada saat Hulail bin Habashiya meninggal dunia, Qushayy berambisi untuk merebut kekuasaan orang-orang Suku Ghubsan. Sebab Hulail bin Habashiya tidak menurunkan seorang putra. Pada saat itulah terjadi peralihan kekuasaan dari Suku Ghubsan (Khuza’ah) kepada Qushayy secara damai.
Setelah Qushayy bin Kilab meninggal dunia, kekuasaan atas kota Makkah diberikan kepada putranya, Abd. Dar. Anak-anak keturunan Abd. Dar (Bani Abd. Dar) kemudian menguasai kota suci ini.
Pada perkembangan berikutnya terjadi perselisihan antara klan Abd. Dar dan Abd. Manaf. Pada kenyataannya, keturunan Abd. Manaf jauh lebih cakap mengurusi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah Haji.
Konflik antar klan Suku Quraish tersebut hampir saja menciptakan perang saudara. Tetapi lantas terjadi kesepakatan damai antara dua klan Quraish ini.
Era Abdi Manaf Hingga Abdul Muthalib
Menurut sejarawan Muhammad Khudlari Bek, orang-orang keturunan Abd. Manaf, mereka mendapat kekuasaan untuk mengurus logistik haji dan menarik pajak (siqayah wa ar-rifadah). Adapun untuk orang-orang dari keturunan Abd. Dar mendapat otoritas untuk mengurusi perizinan ibadah Haji dan pengaturan sistem perumahan (al-hijabah).
Dengan pembagian kekuasaan ini, kedua klan yang sesungguhnya dari silsilah yang sama (Quraish), tidak sampai harus menyelesaikan persoalan pelik dengan cara perang. Sebuah cara penyelesaian masalah yang sudah menjadi tradisi bagi bangsa Arab pada umumnya.
Dari silsilah Abd. Manaf bin Qushayy menurunkan empat orang putra: Hasyim, Naufal, Abd. Syams, dan Wahb. Setelah Abd. Manaf meninggal dunia, jabatan untuk urusan logistik diberikan kepada putranya, Abd. Syams. Namun karena Abd. Syams adalah seorang pelancong yang jarang berada di kota Makkah, Hasyim berniat untuk mengambil alih jabatan terhormat ini.
Hasyim bin Abd. Manaf meninggal dunia dan jabatan urusan logistik di Makkah diserahkan kepada putranya, Shayba. Putra Hasyim bernama Shayba inilah yang dikenal dengan nama “Abd. Muthalib.” Terdapat kisah tersendiri mengapa Shayba dipanggil Abd. Muthalib.
Hasyim bin Abd. Manaf telah menikah dengan seorang perempuan dari Bani Adiyy bin Najjar di Yatsrib (Madinah). Namanya Salma bint Amr, putri seorang bangsawan terhormat di kota Yatsrib. Dari pernikahan ini, Hasyim dikaruniai seorang putra bernama Shayba (Shayba bin Hasyim).
Karena merupakan keturunan bangsawan terhormat, Shayba kecil selalu hidup di tengah-tengah keluarganya di Yatsrib dalam bimbingan dan asuhan ibunya. Hingga pada suatu ketika, Muthalib (Wahb bin Abd. Manaf), saudara laki-laki Hasyim, datang ke Yatsrib untuk menjemput keponakannya untuk dibawa ke kota Makkah.
Sesampai di kota Makkah, orang-orang Quraish menganggap Shayba sebagai “Sahaya Muthalib.” Mereka pun memanggilnya “Abd. Muthalib” yang artinya “Sahaya Muthalib.” Padahal, sesungguhnya dia adalah keponakannya, yakni Shayba bin Hasyim.
Asal-muasal Ritual Penyembahan Berhala
Makkah kemudian menjadi kota metropolitan karena hampir setiap suku menggelar ritual di pelataran Ka’bah. Catatan-catatan sejarah menunjukkan bahwa ritual-ritual Paganisme, bahkan munculnya dewa-dewa pagan di sekitar Hijaz, bermula dari problem populasi penduduk di kawasan ini.
Khusus untuk kota Makkah, pada menjelang Abad ke-3 M, kawasan ini menjadi ramai dan penduduk membangun perumahan di sekitar Ka’bah secara berhimpitan. Akibatnya, lahan di sekitar perumahan penduduk menjadi semakin sempit.
Salah seorang pemimpin Suku Quraish, Amr bin Luayy, memelopori gerakan perpindahan dan penyebaran penduduk. Agar sistem perumahan dan penataan kota dapat berjalan dengan baik.
Tetapi, orang-orang Suku Quraish tidak ingin jauh dari tuhan Allah yang diyakini bersemayam di Rumah Suci (Ka’bah). Atas inspirasi dari Amr bin Luayy, setiap Suku Quraish yang hendak berpindah tempat disertakan sebongkah batu atau secuil bagian dari Ka’bah untuk dijadikan sebagai obyek ritual Haji.
Gagasan Amr bin Luayy mendapat sambutan yang baik dari Suku Quraish. Setiap rombongan suku yang berpindah tempat membangun sejenis kuil. Mungkin dianggap sebagai replika atau semacam bentuk sekunder dari bangunan Ka’bah.
Mereka pun melakukan proses ritual layaknya ibadah Haji di tempat yang baru tersebut. Sampai akhirnya, tujuan pembangunan kuil sekunder itu dilupakan orang sampai kepada generasi berikutnya. Proses ritual Haji yang digelar di pelataran kuil replika dari Ka’bah pun makin kabur.
Setiap suku yang membangun replika dari Ka’bah memiliki sistem dan tatacara ritual yang berbeda-beda. Mereka juga banyak mengadopsi pola-pola ritual pagan dari Perisa (Majusi). Pada akhirnya, ritual ibadah Haji peninggalan ajaran Ibrahim menjadi kabur dan bercampur-aduk dengan pola-pola ritual Paganisme.
Menjelang kedatangan Islam, di pelataran Ka’bah banyak didapati simbol-simbol kebudayaan Pagan. Jumlah patung-patung yang dipajang di pelataran Ka’bah kurang lebih sebanyak 360 buah. Patung terbesar yang dipajang di depan Ka’bah bernama Hubal. Menurut sejarawan Marshall GS. Hodgson (2002), pengaruh kebudayaan pagan dari Persia cukup menonjol pada masa ini.
***
Sejarah telah mencatat peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di kota Makkah pra kenabian Muhammad saw. Menariknya sejarah Kota Mekkah terekam dalam karya-karya sastra pra Islam.
Kita kembali mengingat salah satu kebiasaan masyarakat gurun pasir yang lebih kental dengan tradisi bertutur. Mereka juga mengandalkan ingatan dalam merekam peristiwa-peristiwa penting. Karena hanya terekam dalam bentuk karya sastra (syair), catatan peristiwa-peristiwa bersejarah tersebut terkesan menjadi samar.