Generasi Z kaum Nahdliyin kini berada di pusaran sejarah yang menentukan arah masa depan Islam Nusantara. Mereka tumbuh di tengah dunia yang serba digital, di mana nilai-nilai keislaman tradisional dari pesantren dan kiai harus beradaptasi dengan realitas algoritma, kecerdasan buatan, serta arus budaya global yang kadang bertentangan dengan prinsip moral. Tantangan ini bukan sekadar soal kemampuan teknis, tetapi juga menyentuh dimensi spiritual, moral, dan kebangsaan.
Kaum muda Nahdliyin—yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga 2010-an—tidak lagi hidup di dunia yang sama dengan para pendahulunya. Dunia mereka tidak berbatas ruang, terhubung dengan informasi tanpa henti, dan diwarnai pergeseran nilai yang cepat. Di sinilah pentingnya menata arah gerakan Gen Z Nahdliyin agar tidak kehilangan akar tradisi, sembari mampu menjadi motor kemajuan peradaban digital Islam.
Menjaga Akarnya, Merangkul Zaman
Dalam konteks ini, pernyataan almarhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terasa sangat relevan: “Tradisi bukan untuk dipertahankan mati-matian, tapi untuk dihidupkan dalam kehidupan yang terus berubah.” Ucapan itu mengandung pesan mendalam bagi kaum muda Nahdliyin: bahwa keberagamaan tidak boleh berhenti pada simbol dan romantika masa lalu, tetapi harus tumbuh menjadi etika peradaban yang menuntun masa depan.
Pesantren, sebagai benteng moral umat, kini menghadapi tugas berat. Ia tidak lagi cukup hanya melahirkan ahli fikih atau hafiz Al-Qur’an, tetapi juga harus mampu melahirkan digital santri—generasi yang paham kitab kuning sekaligus cakap teknologi. Dayah dan pondok pesantren perlu membangun ekosistem baru yang mengintegrasikan ilmu agama dengan ilmu modern.
Hal ini sejalan dengan gagasan Buya Ahmad Syafii Maarif, tokoh besar Muhammadiyah yang dikenal berpandangan inklusif. Buya Syafii selalu menekankan bahwa Islam adalah agama kemajuan, bukan kebekuan. Dalam salah satu refleksinya ia menulis, “Umat Islam tidak boleh menjadi beban sejarah. Kita harus menjadi pembawa obor peradaban.”
Spirit yang ditanamkan Buya Syafii—meski berasal dari Muhammadiyah—sangat beririsan dengan cita-cita Nahdlatul Ulama: memajukan umat dengan ilmu dan akhlak. Kolaborasi pemikiran lintas ormas Islam seperti ini menjadi kunci menatap masa depan generasi muda Islam Indonesia yang lebih progresif dan berkarakter.
Generasi Z dan Tantangan Dunia Digital
Kaum muda Nahdliyin kini hidup di ruang virtual yang penuh paradoks. Di satu sisi, media sosial membuka peluang dakwah tanpa batas. Disisi lain, ia menjadi ladang fitnah, ujaran kebencian, dan polarisasi umat. Tantangan terbesar Gen Z Nahdliyin bukan hanya bagaimana berdakwah, tetapi bagaimana menjaga akhlak al-karimah di tengah hiruk-pikuk dunia digital.
Gus Dur pernah mengingatkan, “Kebebasan berpendapat adalah rahmat, tetapi jika tanpa adab, ia bisa menjadi musibah.” Ucapan ini menggambarkan betapa pentingnya adab digital dalam membentuk karakter generasi muda.
Di titik ini, kaum muda NU perlu menegaskan kembali identitasnya sebagai rahmatan lil ‘alamin—membawa damai, bukan memecah belah. Dakwah mereka harus menyejukkan, bukan menyalahkan; mengajak dengan kasih, bukan dengan amarah.
Selain itu, tantangan ekonomi digital juga tak bisa diabaikan. Menurut survei We Are Social (2025), lebih dari 73% Gen Z Indonesia bekerja atau berwirausaha melalui platform digital. Artinya, masa depan ekonomi umat akan sangat ditentukan oleh kemampuan adaptasi generasi muda terhadap teknologi. Kaum Nahdliyin perlu mengisi ruang ini agar tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga kreator dan inovator di dunia digital—mulai dari startup syariah, konten edukatif, hingga pengembangan ekonomi pesantren.
Spirit Gus Dur dan Etika Sosial Kaum Nahdliyin
Jika kaum muda Muhammadiyah memiliki sosok pembaharu seperti Buya Syafii Maarif yang menekankan rasionalitas dan kemajuan, maka kaum muda Nahdliyin memiliki Gus Dur sebagai ikon kemanusiaan dan keberagaman.
Bagi Gus Dur, masa depan Islam Indonesia harus dibangun di atas humanisme spiritual. Ia menolak Islam yang eksklusif, menolak kebencian, dan menolak kesombongan kultural. “Islam datang untuk membebaskan manusia, bukan memperbudaknya,” begitu tegasnya.
Prinsip ini menjadi dasar bagi kaum Nahdliyin Gen Z untuk tampil sebagai jembatan sosial—menyatukan, bukan memisahkan. Mereka harus berani menjadi pelopor moderasi beragama, menjunjung tinggi tasamuh (toleransi), tawassuth (jalan tengah), dan i’tidal (keseimbangan).
Dengan kata lain, tantangan Gen Z Nahdliyin bukan hanya di bidang teknologi, tetapi juga menjaga kesantunan sosial di tengah gempuran ideologi ekstrem dan materialisme global. Gus Dur sering menyebut, “Tugas santri itu dua: menjaga Indonesia dan menjaga akhlak.” Dua tugas itu kini berpindah ke tangan Gen Z.
Pakar generasi muda dan psikologi sosial, Dr. Nurul Fadilah (UI, 2024), menjelaskan bahwa Gen Z cenderung berpikir cepat, serba instan, dan gemar visualisasi. Untuk mendidik mereka, dibutuhkan pendekatan kreatif, bukan dogmatis.
Dalam konteks NU, hal ini berarti dakwah dan pendidikan pesantren harus dikemas dengan metode yang menarik: konten digital, film pendek, podcast dakwah, hingga virtual majelis ilmu. Dunia dakwah sudah berpindah dari mimbar ke layar. Siapa yang mampu menaklukkan layar, dialah yang akan menuntun umat di masa depan.
Menurut data Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LD UI, 2025), Gen Z akan menjadi 35% dari total tenaga kerja Indonesia pada 2030. Jika NU mampu membimbing mereka menjadi pekerja berintegritas dan spiritual, maka masa depan bangsa ini akan berada di tangan yang beriman dan berilmu.
Pakar lain, Dr. Ahmad Budi Santosa, menilai bahwa “masa depan umat Islam Indonesia akan ditentukan oleh kemampuan ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah dalam mendidik generasi digital yang tidak tercerabut dari akar moralnya.” Oleh karena itu, sinergi dua arus besar Islam Indonesia sangat penting untuk menghadirkan generasi yang cerdas spiritual dan modern secara intelektual.
Urgensi Menyatukan Tradisi dan Inovasi
Kaum Nahdliyin Gen Z memiliki dua warisan besar: tradisi keilmuan dan kekuatan moral. Namun agar warisan itu tidak membatu, ia harus disinergikan dengan inovasi.
Sebagaimana Buya Syafii Maarif menekankan pentingnya “iman yang mencerahkan akal,” dan Gus Dur mengajarkan “akal yang menyejukkan iman,” maka generasi muda NU dan Muhammadiyah sesungguhnya berada di satu jalan: jalan pembaruan yang beradab.
Menatap masa depan, kaum Nahdliyin Gen Z harus berani menulis sejarah baru Islam Indonesia—Islam yang ramah, berkemajuan, dan berbasis ilmu. M ereka bukan hanya pewaris masa lalu, tetapi juga pengarah masa depan.
Karena seperti kata Gus Dur: “Masa depan tidak akan datang kepada mereka yang hanya menunggu, tetapi kepada mereka yang menyalakan lentera di jalan gelap.” Lantas sudahkah kita mengimplikasikan dan menyiapkan generasi terbaik untuk negeri tercinta ini?
Wallahu Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq
Editor: Soleh

