Perspektif

Menata Ulang Perangai Ilmiah Masyarakat Indonesia

4 Mins read

Kendati telah menginjak usia tua, Indonesia tampak masih mengalami hambatan serius dalam proses memajukan ilmu pengetahuan. Merandeknya budaya ilmu pengetahuan itu berjalan seiring dengan melimpahnya pola fikir fatalistik, hoax, fitnah, dan ujaran kebencian yang bersebaran di ruang publik.

Bukan hanya itu, budaya ilmu pengetahuan yang minim juga berakibat pada rendahnya kemampuan untuk melahirkan inovasi baru. Dalam masalah itulah, dibutuhkan upaya untuk menata ulang perangai ilmiah masyarakat Indonesia sebagai azas membangun negara di masa mendatang. 

Perangai Ilmiah

Nehru (1946) memaknai perangai ilmiah (scientific temper) sebagai sikap saintifik yang digunakan untuk mencari kebenaran dan pengetahuan baru. Perangai ilmiah tidak menyandarkan sebuah jawaban pada otoritas dan ideologi tertentu, melainkan bertumpu pada bukti-bukti empiris yang telah dikumpulkan. Perangai ilmiah tersebut bertumpu pada sikap terbuka terhadap pandangan-pandangan baru. 

Istilah perangai ilmiah diperkenalkan oleh Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri pertama India. Istilah itu ia perkenalkan pertama kali di dalam bukunya, “The Discovery of India” yang ia tuliskan di dalam penjara selama empat tahun (1942-1946). Di kemudian hari, istilah ini diterjemahkan menjadi azas bangsa India. Hingga kini, setiap tanggal 20 Agustus, rakyat India merayakan National Scientific Temper Day (Rais, 2020). 

Di Indonesia, wacana serupa diperkenalkan Tan Malaka (1943), dalam buku Madilog, Tan menekankan pentingnya sains sebagai azas membangun negara Indonesia. Menurutnya, kendati Indonesia merupakan negara merdeka yang kaya, namun bila sains tidak merdeka, maka kekayaan negara tidak akan mendorong kesejahteraan dan kebahagiaan penduduk Indonesia.

Dalam konteks kekinian, perangai ilmiah dibutuhkan guna membantu masyarakat unutk memahami dunia secara logis dan empiris, mendorong lahirnya inovasi dan kemajuan, mengurangi penyebaran misinformasi (hoax). 

Baca Juga  Pandangan Dunia Charlie Hebdo

Masalah Perangai Ilmiah di Indonesia

Perangai ilmiah masyarakat Indonesia belum sepenuhnya menyentuh titik maksimal, rendahya perangai ilmiah tersebut setidaknya dilihat dari beberapa indikator:

Pertama, kian merebaknya hoax di ruang publik. Menyitir ungkapan Herlambang P. Wiratraman (2021) , minimnya perangai ilmiah di masyarakat selalu paralel dengan kian pesatnya industri hoax di negeri ini.  Indonesia dalam data Digital Civility Index (DCI) pada 2020 menyebut Indonesia adalah negara dengan indeks kesopanan digital paling buruk se-Asia Pasifik. Rendahnya kesopanan digital itu utamanya dipengaruhi oleh hoax dan penipuan (47%), resiko ujaran kebencian (27%) dan diskriminasi (13%). 

Kedua, rendahnya perangai ilmiah masyarakat Indonesia juga dilihat dari minimnya produksi jurnal ilmiah. Dalam data Scimago Journal & Country Rank, selama periode 1996-2022 Indonesia masih tertinggal di posisi buncit dalam soal produksi jurnal ilmiah. Pencapaian Indonesia berada di peringkat 39 dunia, tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia (peringkat 39 dunia) dan Singapura (peringkat 36 dunia).

Kondisi ini tentu mengkhawatirkan. Data lain menunjukkan peningkatan kuantitas produksi jurnal ilmiah di Indonesia, kendati demikian, kuantitas tersebut kerap bertabrakan dengan rendahnya kualitas publikasi ilmiah.

***

Banyak hal yang menjadi musabab terhambatnya produksi riset dan jurnal ilmiah di Indonesia. salah satunya ialah budaya teknokrasi yang kerap masih mendekap para ilmuan. Teknokrasi dalam hal ini dilihat dari aktivitas para ilmuan yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk urusan-urusan birokrasi, administrasi dan pelayanan terhadap pemerintah. Di antara berjibun ilmuan di Indonesia, terbilang sangat sedikit yang benar-benar menghibahkan pikiran dan tenaganya demi ilmu pengetahuan. Dalam logika teknokratisme, administrator lebih dihargai daripada para ilmuan, struktural dianggap lebih penting daripada fungsional (Burhani, 2021). 

Baca Juga  Hoax dalam Perspektif Al-Quran

Ketiga, minimnya perangai ilmiah masyarakat Indonesia juga dapat dilihat dari penurunan skor kemampuan sains pelajar. Laporan Programme for International Student Assesment (PISA) pada tahun 2022 menyebut pelajar Indonesia belum mampu menggunakan konsep-konsep abstrak untuk menjelaskan fenomena yang lebih kompleks, membuat hipotesis, prediksi atau mempertanyakan serta mengidentifikasi keterbatasan data ilmiah. 

Setumpuk data di atas sesungguhnya hanyalah titik puncak dari sekelumit masalah budaya ilmiah dalam masyarakat kita. Perguruan tinggi yang sungguh diharapkan menjadi pionir budaya ilmuah justru menghadapi fakta yang mengkhawatirkan lewat munculnya fenomena obral gelar, perjokian di kampus demi kenaikan pangkat, kasus plagiarisme, rendahnya profesionalitas para ilmuan, komersialisasi dan industrialsiasi lembaga pendidikan, atau dalam bahasa Ahmad Nadjib Burhani sedang terjadi insularitas akademik, yakni pengabaian terhadap ide, gagasan dan budaya (Burhani, 2023).

Menata Ulang Perangai Ilmiah Masyarakat

Jika visi Indonesia emas tahun 2045 hendak dijalankan, bangsa ini harus benar-benar serius untuk menata ulang perangai ilmiah masyarakat Indonesia. visi membangun perangai ilmiah itu sebangun dengan perintah konstitusi dalam UUD 1945, “memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. 

Sebagai manifestasi/perwujudan upaya membangun perangai ilmiah masyarakat, terdapat beberapa agenda strategis yang perlu dilakukan secara kolaboratif, agenda tersebut menyangkut:

Pertama, peningkatan kualitas ilmuwan Indonesia. Agenda ini niscaya dibutuhkan agar ilmuwan Indonesia tidak berhenti dalam bilangan angkat (kuantitas) belaka, melainkan termanifestasi dalam kualitas. Kualitas para ilmuwan tersebut dapat diukur dari kualitas publikasi ilmiah, raihan prestasi dan pengakuan dari lembaga-lembaga ilmiah terkemuka, keterlibatan aktif membangun kolaborasi penelitian dengan rekan sejarat di tingkat nasional maupun internasional serta daya manfaat dari publikasi yang dilahirkan. Agenda membangun kualitas ilmuwan Indonesia haruslah seiring dengan peningkatan kualitas finansial para ilmuwan.

Baca Juga  Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

***

Kedua, peningkatan kualitas tata kelola pemerintahan di bidang riset dan inovasi. Sebagai bagian dari pemangku kepentingan, pemerintah berperan besar untuk menyusun regulasi yang turun mendukung riset dan inovasi, menyediakan dana riset serta memfasilitasi kerja sama antar lembaga. Dalam konteks itu, dibutuhkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan akuntabel guna mendukung kelancaran dan kesuksesan pembangunan riset nasional. Perbaikan tata kelola pemerintahan dalam hal ini berkaitan dengan transformasi kelembagaan, peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan perencanaan anggaran dan program yang kompatibel dengan kebutuhan. 

Ketiga, mengembangkan budaya akademik di perguruan tinggi. Sebagai pusat pengetahuan dan inovasi,  perguruan tinggi mengemban amanah untuk terus mengembangkan budaya akademik utamanya dalam civitas akademika di kampus. Perguruan tinggi bertanggung jawab untuk secara intens melakukan penelitian yang berkualitas, melahirkan pengetahuan baru serta memproduksi ilmuan dan peneliti di masa depan. 

Keempat, peningkatan akses terhadap Iptek.  Upaya ini penting demi meningkatkan budaya ilmiah, membangun komunikasi akademik yang berkelanjutan. Perguruan tinggi dan institusi akademik bertanggung jawab untuk menyediakan akses terhadap sumber informasi, termasuk jurnal-jurnal ilmiah, buku elektronik dan hasil penelitian. Layanan informasi yang dibutuhkan dalam hal ini ialah layanan informasi yang terjangkau, mudah dan murah.

Editor: Soleh

Avatar
12 posts

About author
Ketua Bidang Riset Teknologi DPP IMM
Articles
Related posts
Perspektif

Nasib Antar Generasi di Indonesia di Bawah Rezim Ekstraktif

4 Mins read
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, telah lama bergantung pada sektor ekstraktif sebagai pilar utama perekonomian….
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds