Sebagian orang meyakini bahwa menghabiskan makanan hingga bersih tak tersisa adalah perilaku yang kurang baik, sebab menandakan sifat kerakusan atau betapa laparnya orang tersebut. Menariknya, fenomena kebiasaan ini sangat langka ditemukan di tengah masyarakat. Kalaupun ditemukan adanya perilaku tersebut, akan terkesan aneh karena diluar kebiasaan pada umumnya yang selalu menyisakan makanan meski hanya sebutir nasi. Namun, kebiasaan ini sangat disayangkan karena tidak sesuai dengan idiom para leluhur tentang nasi yang menangis jika disisakan.
Berbeda halnya dengan sebagian yang lain, meyakini bahwa menghabiskan makanan hingga bersih tak tersisa adalah perilaku terpuji, sebab menandakan kebersihan orang tersebut dan bentuk penghargaan pada orang yang memasak. Terlebih secara tidak langsung, sebagai bentuk pengamalan atas dogma leluhur di atas. Menariknya, karakteristik perilaku ini sangat spesial hingga sulit ditemukan. Sekalipun ditemukan, acap kali menimbulkan keanehan atau justru kekaguman tersendiri karena saking bersihnya. Kelakarnya, mungkin tidak perlu dicuci cukup dilap saja.
Dapat dibayangkan, jika karakteristik ini dimiliki oleh banyak orang, maka betapa senangnya pencuci piring, sebab tidak perlu lagi ada drama pipa tersendat karena menumpuknya sisa makanan, dan risi akan bekasnya. Begitupun westafel yang akan terjamin kebersihannya dalam jangka waktu yang panjang, serta efisien dalam membersihkannya. Hal ini menandakan bahwa menghabiskan makanan hingga tak bersisa ternyata memberikan manfaat bagi sesama.
Keberkahan dalam Islam
Dalam ajaran Islam, persoalan ini dapat dilihat dari sudut pandang teologi dan sosial. Dari sudut teologis memandang bahwa menghabiskan makanan hingga tak tersisa adalah upaya menyempurnakan pahala dan berkah saat makan. Karakteristik ini bisa dianalogikan dengan kebiasaan yang Rasulullah perintahkan untuk menjilati jari-jemari setelah makan. Rasulullah Saw bersabda, Apabila seseorang diantara kalian makan, maka jilatlah jemarinya, karena ia tidak mengetahui di bagian jari yang manakah keberkahan itu berada (HR. Muslim).
Disisi lain, kebiasaan ini juga menafikan kemubadziran pada makanan, sebab makanan yang tersisa tidak terbuang sia-sia. Karena makanan yang terbuang sia-sia akan dimakan oleh syetan. Rasulullah Saw bersabda, Apabila makanan salah seorang diantara kalian jatuh, maka bersihkanlah kotoran darinya, lalu makanlah dan janganlah membiarkannya untuk dimakan syetan (HR. Muslim). Allah Swt juga berfirman, “Sesungguhnya orang yang pemboros (mubadzir) itu adalah saudaranya setan” (QS. Al-Isra’: 27). Oleh karena itu, selagi mampu menghabiskan, maka habiskanlah makanan sisa agar berkah-Nya kelak bisa dirasa dan terhindar dari kemubadziran.
Imam an-Nawawi berkata dalam Âal-Minhaj, -wallaahu a’lam- bahwasanya makanan yang disediakan oleh seseorang itu terdapat keberkahan di dalamnya, namun ia tidak mengetahui ada di bagian manakah dari makanannya keberkahan tersebut, apakah pada apa yang telah dimakannya atau ada pada yan tersisa di tangannya atau ada pada sisa-sisa makanan di atas piring atau pada makanan yang jatuh, maka seyogyanya semua kemungkinan tersebut harus dijaga dan diperhatikan agar mendapatkan keberkahan makanan.
***
Pertanyaan kemudian, “Bagaimana jika menghindari perkara mubadzir itu justru jatuh dalam isrof (melampaui batas) ?. Hal ini tak bisa dihindari dan mungkin saja terjadi. Apalagi pada makanan yang kurang sedap dilidah atau dengan alasan kekenyangan. Jika makanan kurang sedap dilidah, maka dengan tidak memaksakan diri untuk menghabiskannya sudah termasuk mengamalkan sunnah yang lainnya. Karena –sekali lagi-, hal ini termasuk perkara sunnah bukan wajib, dan hanya sebagai pelengkap keberkahan saat makan. Dari Abu Hurairah ra, ia berkata Rasulullah saw sama sekali tidak pernah mencela makanan. Jika menyukainya beliau memakannya. Dan apabila tidak suka beliau tinggalkan (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Begitupun dengan alasan kekenyangan, kembali pada hukum asal sebagai sunnah, maka tak mengapa untuk ditinggalkan. Akan tetapi, menjadi pelajaran alangkah baiknya menakar makanan sebelum makan. Agar tidak terus menerus terulang dalam perkara kemubadziran. Takar menakar ini juga ternyata tak kalah pentingnya saat hendak makan, tak lain agar menghabiskan makanan sisa juga dapat diamalkan. Rasulullah saw bersabda, Takarlah makanan kalian, agar kalian diberkahi (HR. Bukhari).
Menggembirakan Sesama
Dari sudut sosial memandang bahwa karakteristik ini terdapat unsur saling tolong-menolong dan menyenangkan sesama. Kembali lagi, meminimalisir drama risi dan sendatnya aliran pipa. Bahkan jika menghabiskan makanan hingga tak tersisa terbukti menyenangkan dan membantu pencuci piring, maka dengan memudahkan dan menyenangkan itu pula mendapatkan surplus ganjaran pahala. Rasulullah saw bersabda, Sebaik-baik amal Shalih adalah agar engkau memasukkan kegembiraan kepada saudaramu yang beriman (HR. Bukhari). Dalam hadits lain, Allah senantiasa menolong hamba selama ia menolong saudaranya (HR. Muslim).
Terlebih bagi yang memasak, ada kepuasan tersendiri jika masakannya dilahap habis tak tersisa. Hal itu dapat dibuktikan pada orang disekeliling kita, betapa bahagianya jika makanannya habis tak tersisa. Dengan demikian, baik pencuci piring atau yang memasak sama-sama merasakan kesenangan karena perilaku/kebiasaan tersebut. Ini menandakan bahwa sendi sosial dapat tersentuh dengan perkara yang cukup sederhana, yaitu menghabiskan makanan yang tersisa.
Tak dapat dipungkiri, bahwa karakteristik ini bagi seorang Muslim khususnya patut dibudayakan dalam kehidupan sehari-hari (selain berdo’a sebelum dan sesudah makan) sebab melihat dari segi manfaatnya yang ternyata luar biasa. Sederhana dalam mengundang berkahNya.  Sederhana namun begitu bermakna. Sesederhana menghabiskan makanan hingga tak tersisa atau tetes terakhir!
Editor: Soleh