Kaunia

Menjadi Muslim, Menjadi Pelita dalam Kegelapan

4 Mins read

Seringkali zaman sebelum Islam di daratan Arab itu disebut sebagai zaman jahiliyah, zaman kegelapan. Kala itu wanita dianggap hina, nyawa manusia dipandang murah, dan ikatan darah yang primordial menentukan nilai individu dalam pergaulan sosial.

Menjadi Muslim

Risalah Muhammad kemudian mengubah secara radikal kondisi demikian. Wanita memiliki hak yang sama dan dilindungi, nyawa manusia dihargai tinggi-tinggi, pemerdekaan budak menjadi ajaran mainstream, dan orang-orang dipertalikan dalam persaudaraan spiritual-universal bernama Islam.

Seketika, manusia Arab yang sebelumnya jauh terbelakang, terkucilkan, menjadi bangsa pemenang. Dihempaskan olehnya pasukan-pasukan dua emperium besar, dan terkikis sedikit demi sedikit kekuasaan mereka oleh para penunggang unta. Hingga akhirnya, mereka sirna ditelan zaman.

Bangsa Arab dulunya tidak memiliki ilmu pengetahuan selain yang membantu navigasi mereka. Tentu, hal itu praktis bagi keberlangsungan kehidupannya. Namun yang mengherankan, beberapa abad kemudian bangsa dari daratan kering-gersang ini menjadi penguasa pusat ilmu pengetahuan.

Kekuatan apa yang sedemikian besar dan menyebabkan perubahan yang begitu dramatis kepada bangsa Arab? Kekuatan apa yang laksana cahaya mentari pagi, yang menyelinap diam-diam ke seluruh alam semesta tanpa bisa dihalangi? Kekuatan itu adalah iman Islam!

Islam adalah Cahaya

“Alim Lam Ra, (ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu (Muhammad) agar engkau mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa, Maha Terpuji.” (Q.S. Ibrahim [14],1).

Membaca ayat diatas, mungkin sebagian segera teringat kepada adagium terkenal yang dinisbahkan kepada Kartini. ‘Habis gelap, terbitlah terang’, demikian kata-katanya. Sederhana namun berdaya ubah luar biasa. Kata-kata itu memberi motivasi yang tak terkira kepada pejuang kemerdekaan untuk tak putus asa membebaskan Bangsa Indonesia dari kolonialisme.

Baca Juga  Dua Mahasiswa UMY Turut Berpartisipasi dalam Program Leadership Camp International Youth Leader 2021

Tentu terlalu sempit jika kolonialisme dipahami sebagai penguasaan secara geografis saja, melainkan juga kepada fisik dan mentalitas, raga dan jiwanya. Sehingga, semangat untuk menuntun umat kepada ‘cahaya yang terang benderang’ terus lestari pasca proklamasi.

Negara disusun dengan demokratis, pendidikan publik dirombak-dibenahi, dan yang paling penting bahwa agama dimuliakan sebagaimana seharusnya. Persamaan hak dan kewajiban manusia ditegakkan. Menjadi Bangsa Indonesia berarti menjadi bangsa yang berkeadaban, merdeka, dan siap untuk maju.

Disini dapat ditarik suatu hikmah yang mendalam. Bahwa bapak-ibu pendiri bangsa memahami Islam sampai ke hakikat. Mereka tahu bahwa yang Tuhan maksud dengan ‘zulumat’, atau kegelapan adalah tak lain segala kejahatan, keburukan, kebatilan yang menimpa manusia.

Begitupula pengertian mereka atas cahaya, bukan serta-merta sebagai satu upaya konversi keyakinan ajaran agama. Namun, cahaya juga bermakna segala kemungkinan yang membawa manusia semakin merdeka, beradab, dan secara sadar mengenali Tuhan serta makna kehadirannya.

Menjadi muslim dengan demikian melampaui sekat-sekat suku, bangsa bahkan agama itu sendiri. Menjadi muslim berarti menjadi agen-agen Tuhan yang melaksanakan tugas-tugas pembebasan konkrit di muka bumi.

Demikian ini menunjukkan bahwa para pahlawan itu telah sungguh-sungguh dalam menjalankan misi Tuhan untuk “…mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang…..” (Q.S. Ibrahim [14],1).

Isyarat Adanya ‘Kegelapan’ Lain

Salah besar jika Muslim kemudian mengira bahwa kegelapan itu sudah sirna di masa lalu, dan kini zaman telah memasuki titik cerah seutuhnya. Justru, kegelapan itu senantiasa bermetamorfosa di setiap zaman dan dengan demikian menuntut pemecahan dari setiap generasi.

Kerja-kerja kemanusiaan para pahlawan itu merupakan sebuah teladan, bagaimana keimanan menjadi penerang. Sehingga, dunia yang gelap gulita oleh penindasan manusia-manusia lain dapat ditangkap sebagai masalah yang harus diatasi, ketimbang diratapi.

Baca Juga  Jangan Jadikan Agama Sebagai Alat Pendangkal Akidah!

Maka sesungguhnya kegelapan ini adalah ujian atau tugas yang diberi Tuhan untuk menilai ketakwaan hamba-Nya (Q.S. Al-Anbiya [21], 87). Muslim yang memahami itu akan berusaha sekuat tenaga untuk menemukan dan berjuang melawan kegelapan-kegelapan itu.

Tugas itu, sayangnya, barangkali lebih berat hari ini, karena kegelapan itu bertingkat-tingkat dan manusia terlanjur lama diam atas kegelapan itu. Barangkali karena lalai atau enggan mengatasi kegelapan yang membutakan diri dari urjensi perjuangan.

Adapun kegelapan yang begitu kronis itu telah lama diperingatkan;

Atau seperti gelap-gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh gelombang demi gelombang, di atasnya ada (lagi) awan gelap. Itulah gelap gulita yang berlapis-lapis. Apabila dia mengeluarkan tangannya, hampir-hampir tidak dapat melihatnya…” (Q.S. An-Nur [24], 40).

Kegelapan Era Modern

Beberapa sarjana Muslim telah menunjukkan sebagian ‘kegelapan’ yang menjadi pekerjaan besar saat ini. Yang paling puncak tentu adalah terlepasnya ikatan manusia dengan sisi spiritual mereka sehingga tercerabut dari jati diri sebagai makhluk Tuhan yang transendental.

Dunia sekuler yang dipermukaan tampil dikotomis, sejatinya bersifat reduksionis bahkan eliminatif kepada unsur ruhaniyah manusia. Manusia-manusia dalam gelap sekularisme mudah jatuh kepada ateisme dan materialisme yang menjadikan keserakahan duniawi tujuan akhir hidup.

Bahaya darinya tidak hanya mengancam manusia. Dalam hal manusia semakin beringas tatkala berebut sumber daya demi kenyamanan hidup yang hanya sementara. Namun, bahaya itu juga menjangkau alam semesta tempat manusia berpijak dan menciptakan kerusakan.

Hasrat manusia untuk menguasai materi bagi dirinya pribadi mengakibatkan mereka terjebak dalam kecemasan eksistensial. Bahwa mengada berarti memiliki, namun memiliki tidak pernah cukup hingga segalanya dapat dimiliki. Dengan demikian, hingga seluruh alam semesta dilumat tak tersisa, manusia belum merasa mengada, dan kecemasan itu terjaga.

Baca Juga  Atom dalam Al-Quran dan Ilmu Kimia

Masalahnya bahwa, ketika seluruhnya telah ditelan, tidak ada lagi dunia yang tersisa. Saat itu semua telah sirna termasuk manusia sendiri.

Menjadi Pelita dalam Kegelapan

Maka sejatinya perintah ini sangat tegas, ketika betul-betul dipahami bahwa di ayat pembuka Surat Ibrahim itu Tuhan tidak sekedar memberi tugas kepada Nabi Muhammad. Tugas itu melainkan ditujukan juga kepada mereka yang mempercayai risalah yang dibawanya.

Sehingga bisa dibaca kembali ayat itu dengan kesadaran bahwa Tuhan sedang berbicara langsung kepada para manusia beriman (Muslim),”(ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu (segenap muslim) agar engkau mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang.”

Demikianlah berarti telah diperluas disini makna kehadiran manusia di muka bumi. Tidak hanya sebagai khalifah, wakil Tuhan di muka bumi, namun juga menjadi pelita yang menyelamatkan manusia dari kegelapan di setiap zaman.

“…Pelita itu dalam tabung kaca, (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api…” (Q.S. An-Nu [24], 35)

Editor: Nabhan

Avatar
31 posts

About author
Dosen Fakultas Psikologi UMM dan Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
Articles
Related posts
Kaunia

Ru'yat Ta'abbudi dan Penyatuan Kalender Islam

2 Mins read
Perkembangan pemikiran tentang kalender Islam di kalangan ormas Islam mengalami kemajuan baik dari segi pemikiran maupun instrumentasi astronomi yang dimiliki. Hal ini…
Kaunia

Menaksir Berat Sapi Secara Cepat

1 Mins read
Kaunia

Moderasi dalam Sidang Isbat

3 Mins read
Di Indonesia kehadiran sidang Isbat sudah lama diperdebatkan keberadaannya. Di satu sisi dianggap sebagai jembatan untuk mempertemukan perbedaan pandangan antara pendukung hisab…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *