Akidah

Jangan Jadikan Agama Sebagai Alat Pendangkal Akidah!

4 Mins read

Menjelang natal dan tahun baru, terutama di media sosial banyak bertebaran isu pendangkalan akidah umat Islam. Misalnya, disebutkan bahwa tahun baru termasuk serangkaian perayaan umat Kristiani yang meniru kebiasaan orang-orang Majusi dan Yahudi. Sebagian pendakwah juga memperingatkan umat Islam agar tidak merayakan tahun baru Masehi.

Pada teks-teks normatif, terutama Alquran dan hadis, mereka menganggap hal tersebut sebagai upaya non Muslim untuk mendangkalkan atau bahkan menghancurkan akidah umat Islam.

Lantas, bagaimana sebaiknya isu ini ditanggapi? Mungkin banyak yang telah menanggapi dengan memberikan kontra narasi tafsir teks Alquran dan hadis. Namun, penulis akan menanggapi isu ini dengan perspektif studi agama agar lebih memperkaya perspektif yang lainnya.

Agama sebagai Alat Pendangkal Akidah?

Agama di dunia ini mempunyai hal-hal yang dianggap suci (the Sacred), misalnya, kitab suci, nabi, dan lain-lainnya. The Sacred menurut M. Amin Abdullah, dalam bukunya Multidisiplin, Interdisiplin, dan Transdisiplin, merupakan Nonfalsifiable Postulated Alternate Realitie. Pada arti lain, disebut dengan hal yang tidak bisa dipermasalahkan, difalsifikasi, dan diverifikasi oleh siapapun.

Kenapa nabi dan rasul terakhir dalam Islam adalah Nabi Muhammad? Karena memang “dari sananya” begitu. Umat beragama lain tidak bisa membantah hal tersebut. Dalam pemikiran kalamiyyah Islam, hal ini diistilahkan dengan “bila kaifa” (tak boleh dipertanyakan whatness, howness, whereness, dan whyness-nya).

Singkatnya, setiap agama punya “urusan dapur”-nya sendiri-sendiri yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun. Kristen tidak bisa memprotes atau memverifikasi hal-hal yang dianggap suci oleh Islam. Begitu pula sebaliknya. Berbeda dengan keilmuan yang basisnya umum, dimana keilmuan tersebut masih bisa didiskusikan, karena sumbernya sesuatu yang sifatnya ilmiah dan objektif.

Asumsi-asumsi tentang agama tidak demikian, karena sangat subjektif dan penuh emosi. Memang yang demikian itu memang ciri khas agama, sehingga dari sinilah muncul klaim kebenaran dalam setiap agama.

Baca Juga  Jika Allah Maha Penyayang, Kenapa Masih Banyak Penderitaan?

Dari penjelasan tersebut, muncul pertanyaan penting untuk dijawab. Benarkah tahun baru merupakan rangkaian hari raya Kristiani yang dianggap suci, atau hanya asumsi (umat) Islam berdasarkan tafsiran secara sepihak? Pertanyaan tersebut harus dijawab terlebih dahulu sebelum menganggap bahwa hal tersebut merupakan pendangkalan akidah umat Islam.

Pada pembahasan ini juga berlaku untuk hal lainnya yang dianggap mendangkalkan akidah umat Islam. Misalnya perayaan kembang api, peniupan terompet, pengucapan selamat natal, dan seterusnya.

Seandainya, dalam Yahudi misalnya, peniupan terompet bukanlah hal yang dianggap suci (the Sacred). tentu anggapan pendangkalan akidah yang diisukan oleh sebagian pendakwah Islam menjadi “salah alamat”. Yahudi saja tidak menganggap peniupan terompet sebagai the Sacred, bagaimana mungkin (sebagian umat) Islam menganggap sebaliknya?

Secara tidak langsung, Yahudi dikambinghitamkan sebagai pendangkal akidah umat Islam. Hal ini selayaknya mendorong umat Islam, terutama kepada para pemukanya untuk memikirkan ulang penafsirannya terhadap teks-teks yang dianggap menyatakan pendangkalan akidah dengan menuding umat beragama lain sebagai penyebabnya.

Perbedaan The Sacred dan Non Sacred

Meskipun semua agama mempunyai the Sacred yang bersifat nonfalsifiable, ketika the Sacred ini dimaknai dan dipraktikkan oleh penganutnya. Pemaknaan dan praktik tersebut adalah wilayah yang bersifat falsifiable, bisa dipertanyakan, didiskusikan, atau bahkan dibantah.

Misalnya, Alquran ketika dimaknai oleh umat Islam melahirkan kitab-kitab tafsir, tauhid, fikih, dan lembaga-lembaga keislaman seperti Muhammadiyah, NU, atau MUI. Kedudukan Alquran dengan kitab-kitab dan lembaga-lembaga keislaman tersebut jelas berbeda.

Alquran adalah the Sacred dalam Islam yang bersifat nonfalsifiable, sedangkan kitab-kitab dan lembaga-lembaga keislaman bersifat falsifiable.

Pembedaan dua hal ini penting dilakukan. Harus jelas mana yang dianggap the Sacred dan non Sacred dalam agama. Menganggap hal yang Sacred sebagai non Sacred, atau sebaliknya, akan membawa konsekuensi tertentu.

Baca Juga  Melihat Pancasila di Pakelan: Sepenggal Kisah Merayakan Iduadha Bersama Non-Muslim

Menurut M. Amin Abdullah, pencampuradukan atau pemasukan Sacred ke non Sacred atau sebaliknya ini biasanya sarat dengan kepentingan-kepentingan tertentu.

Perayaan tahun baru, kembang api, peniupan terompet, dan lain sebagainya, apakah semuanya dianggap Sacred oleh agama Kristen, Majusi, dan Yahudi? Jika iya, apakah itu cukup untuk membuat seseorang menjadi bagian agama tersebut seperti halnya syahadat untuk masuk Islam? Jika tidak, apa yang menjadi sebab pernyataan bahwa itu sebuah pendangkalan?

Untuk tahu itu, umat Islam setidaknya memiliki dua opsi, yaitu mendengarkan para pendakwah Islam atau berdialog secara langsung, dan terbuka. Terlebih diskusi dengan umat beragama lain yang dituding sebagai pendangkal akidah umat Islam. Pengambilan opsi ini akan menentukan pola keberagamaan umat Islam dalam berhubungan dengan umat beragama lain.

Selain itu, para pendakwah yang menuding umat beragama lain sebagai pendangkal akidah umat Islam juga harus bertanggungjawab atas tudingannya. Dimana atas tafsirannya itu secara langsung atau tidak, akan membetuk pola hubungan umat Islam dengan umat beragama lain.

Dialog Kemanusiaan Universal Lebih Penting

Karena setiap agama mempunyai the Sacred-nya sendiri-sendiri, maka umat beragama selayaknya tidak perlu khawatir akan adanya “serangan” dari “pihak luar”. Yang perlu dilakukan adalah memperbanyak pengetahuan tentang the Sacred agama-agama dengan berdialog, agar mampu memahami penganggapan the Sacred atau bukan. Penghindaran dari sikap menuding orang lain sebagai penyebab lemahnya keyakinan kita sendiri.

Permasalahan klaim kebenaran yang seharusnya sudah jelas dengan cara pembedaan the Sacred dan non Sacred ini harus diselesaikan secepatnya. Pada yang demikian ini, pembahasan bisa lanjut kepada hal yang lebih penting untuk bahan berdialog.

Permasalahan kemanusiaan universal seperti kemiskinan, kelaparan, buta huruf, perubahan iklim, permusuhan, dan sebagainya, merupakan bagian yang layak untuk bahan berdialog. Permasalahan kemanusiaan universal tidaklah pandang bulu.

Baca Juga  Ibrahim al-Wasiti: Syahadat adalah Juru Selamat

Buta huruf bisa menimpa siapa saja apapun agamanya. Kelaparan tidaklah hilang hanya dengan mengganti identitas agama seseorang. Iklim di suatu wilayah tidaklah berubah hanya dengan mengubah identitas agama masyarakatnya, dan seterusnya.

Umat beragama harus berupaya dan senantiasa berdialog dengan nalar yang sehat, jujur, dan terbuka perihal the Sacred dan non Sacred untuk berhubungan dengan umat lain. Sehingga selanjutnya bisa mendialogkan permasalahan kemanusiaan universal yang lebih penting.

Maka permasalaha ini harus benar-benar diselesaikan. Jika tidak, permasalahan ini akan terhenti pada klaim kebenaran yang tidak berkesudahan, dan akhirnya bisa saja membuat kita “runtuh bersama.”

Konflik atas nama agama yang sering disebut-sebut demi menjaga iman telah banyak melahirkan rentetan permasalahan kemanusiaan universal. Karena inilah seharusnya kita bertanya pada diri masing-masing, “Apakah ingin mengakhiri semua ini atau melanjutkannya lagi atas nama menjaga iman?”

Editor: Azhar

Muhammad Alwi
10 posts

About author
Mahasiswa Studi Agama-Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Akidah

Ragam Makna Iman dan Tauhid, Mana yang Lebih Tepat?

3 Mins read
Tauhid merupakan prinsip dasar iman di dalam Islam yang membedakan dirinya dengan segenap agama lain. Bahwa Allah itu esa, tidak berbilang, tidak…
Akidah

Kesadaran Beriman Orang-Orang Modern

3 Mins read
Di era saat ini, teknologi mengalami perkembangan yang sangat luar biasa. Kemajuan teknologi merupakan bukti dari keberhasilan sains modern. Namun, dibalik kemajuan…
Akidah

Non-Muslim Juga Bisa Masuk Surga!

3 Mins read
Non-Muslim Tak Selamanya Masuk Neraka Umumnya, ulama atau orang awam menganggap bahwa jalan satu-satunya menuju surga adalah melalui agama Islam. Sehingga pada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *