“…, Semuanya ditulis di masa yang seperti kita alami sekarang, ketika Tuhan tak bisa ditolak dan agama bertambah penting dalam hidup orang banyak, memberi kekuatan, menerangi jalan, tapi juga membingungkan dan menakutkan.” Begitulah kalimat akhir pada sinopsis buku ini dituliskan.
Saat musim hujan mulai menyapa bulan November, saya baru saja menyelesaikan buku yang ditulis oleh Goenawan Mohamad yang berjudul Tuhan dan Hal-hal Yang Tak Selesai. Buku ini dikemas dengan sampul depan bergambar dua tangan dengan ujung jari telunjuk yang tertutupi kata “DAN”. Dari covernya saja saya sudah dibuat berfikir, apakah gambar jari telunjuk itu bersentuhan atau hanya dekat tapi tidak saling menyentuh.
Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai
Setelah membuka lembar ke-2 pada buku ini, saya juga dibuat penasaran yang kedua kalinya. “Untuk L dan N”, begitulah tulisan itu. Dalam pengantar edisi revisi yang ditulis oleh Tia Setiadi juga menyebutkan bahwa dari 99 esai terdapat dua puluh “tatal” yang diganti, sehingga tidak mengurangi jumlahnya. Angka 99 lagi-lagi membuat tanda tanya besar bagi saya. Setiap pergantian tulisan diberikan penomoran di atasnya dari nomor 1 hingga 99. Tidak ada judul yang mewakili setiap pergantian nomor.
Dalam buku ini terkesan seperti tulisan orang yang sedang nglantur atau dat nyeng dalam bahasa Ponorogonya. Saya menyebutnya nglantur karena terkadang berisi tentang kritikan, renungan, saran dan tidak runtut namun ada juga yang lemah lembut dan mendayu seperti puisi cinta-cintaan. Juga terdapat bahasa Inggris, Indonesia, dan Jawa masuk dalam buku ini.
Kritikan terlihat menohok pada tulisan yang ke-59. “Yang dirayakan dalam Ramadhan adalah kekosongan. Tapi kata ini memang terdengar buruk di zaman ini. Jalanan telah sesak, etalase meriah, ruang tamu ramai perabot, hutan tak punya pertapa, dan orang bersaing menyatakan kesalehan dengan pengeras suara. Puasa kini proses menunggu tubuh yang bertalu-talu. Kita telah merubah maghrib jadi isyarat merayakan makan. Menjelang saat itu, lapar ibarat 12 jam transit.”…Dst. Hlm.119
Dari kritikan di atas tentu saya yakin Goenawan Mohamad mempunyai alasan tersendiri mengatakan hal itu. Jika hanya menelan mentah-mentah kata-kata itu dan tanpa merenunginya maka akan membuat kita memaki-maki penulis dan sentimen terhadapnya. Kecuali di masing-masing rumah kita jauh dari kaca, mungkin kritik ke luar akan lebih lantang seperti corong bersuara daripada kritik ke dalam yang diam tapi mencari makna.
Kritik Tajam Dikemas secara Halus
Pada sisi kritik yang tajam terdapat juga kata-kata yang dikemas dengan halus dan enak jika dibacakan dengan musik instrumental dalam keheningan malam ditemani hujan bulan November. Tulisan ini terdapat pada tulisan yang ke-63.
“…, Senja itu saya berjalan di sana, di tepi telaga di perbukitan Bali Utara itu, menembus semak, entah berapa kilometer, dalam kesepian yang hanya terusik oleh bunyi langkah sendiri. Jauh di timur, di tepi danau, tampak sebuah pura kecil yang nyaris terlindung. Di saat itu, di separuh gelap yang hijau itu, yang kekal hadir. Keabadian bergerak. Tiap detik seakan-akan menyelinap menyatu dalam klorofil dun damar. Abad seakan bergetar di ruas batang trembesi”. Hlm. 128
Bahasa jawa yang dituliskan oleh Goenawan Mohamad dalam buku ini salah satunya terdapat pada tulisan ke-52. Yaitu,…, “manusa tinitah luwih, apa ingaken rahsa, murya dhewe sakingkang dumadi…,”. Hlm. 104. Sebenarnya masih banyak lagi kata-kata jawa yang dilontarkan dalam buku ini, namun lebih lengkapnya saya menyerahkan kepada anda, apakah ingin memiliki dan membacanya atau cukup tahu dan menganggapnya sebagai hal yang tidak terlalu serius.
Buku ini bisa menjadi katarsis permenungan kita. Meskipun pada beberapa bagian kadang terlalu abstrak atau terlalu berat di beberapa bagian, buku ini cocok sebagai kawan terbaik dalam berbagi kontemplasi ketika sedang mengalami kesepian. Namun ada Satu tulisan yang saya menyatakan diri sulit memahaminya. Yaitu tulisan ke-8, “…, Tuhanku, apatah kekal?”. Hlm. 25
Pada tulisan itu disebutkan “apatah”. Awalnya saya menganggap tulisan itu typo atau salah ketik dari kata “apakah”, ternyata menurut KBBI “apatah” berarti kata tanya untuk menanyakan sesuatu yang tidak memerlukan jawaban. Ini yang membuat saya kebingungan mencari makna dibalik kata tanya dalam tulisan itu. Kata itu dituliskan setidaknya ada empat kali secara bersambung dari baris kesatu hingga keempat.
Mencari Tuhan dalam Buku Goenawan Mohamad
Dari beberapa tulisan yang kaya akan makna dalam buku ini saya menemukan kesalahan dalam penulisan yang mungkin bisa diperbaiki untuk penerbitan selanjutnya. Kesalahan itu terdapat pada tulisan ke-89. Yaitu sebagai berikut:
“…, Ia kosong yang selaik kolong kosong yang dapat diberi nama dan ditunjuk…”. Hlm. 182
Kemungkinan dari kita yang membaca buku ini akan keberatan atau menganggapnya abstrak jika tidak memiliki modalitas bacaan yang cukup. Namun bagi saya pribadi hal itu tidak terlalu menjadi masalah, karena setiap orang mempunyai cara tersendiri dalam memahami suatu teks. Meskipun ada banyak hal yang belum saya pahami, buku ini setidaknya menunjukan kepada saya untuk membaca lebih banyak karya-karya besar tentang suatu teori dari berbagai tokoh yang mewarnai konsep-konsep dasar dalam memahami realitas kehidupan.
Kiranya secara tidak langsung kita seperti disarankan mencari rujukan induk dari yang dituliskan oleh Goenawan Mohamad. Seperti pada tulisan yang ke-91 yang menyitir tentang Senjakala Berhala dari Nietzsche dan banyak tokoh lain yang dielaborasikan dalam bentuk kata-kata yang kaya akan makna. Intinya jangan menunda-nunda membaca buku, karena menunda membaca bisa jadi menunda-nunda diri kita untuk dekat dengan Tuhan. Barangkali dengan rajin membaca, Tuhan akan menyelesaikan tentang banyak hal yang belum selesai.
Identitas Buku
Judul Buku | : Tuhan Dan Hal-Hal Yang Tak Selesai |
Penulis | : Goenawan Mohamad |
Penerbit | : DIVA pers |
Kota Terbit | : Yogyakarta |
Cetakan, Tahun Terbit | : Cetakan Edisi Revisi, 2019 |
Tebal Buku | : 200 hlm |
ISBN | : 978-602-391-660-3 |
Editor: Nabhan