Sabtu lalu, tanggal 10 Februari 2024, kami mencoblos. Mengapa kami yang kukuh bahwa Pemilu 2024 adalah Pemilu yang tidak demokratis, namun kami tetap memberikan pilihan dari bilik suara?
Kami sudah sejak tahun lalu mendaftar untuk ikut Pemilu. Akhirnya, kami terdaftar di DPTLN Victoria, Australia. Beberapa hari sebelum hari-H, kami mendapat Email dan SMS Undangan Pencoblosan dari panitia Pemilu.
Dari berbagai grup media sosial, kami menerima informasi bahwa untuk mencoblos, kami harus membawa undangan, screenshot terdaftar di website KPU dan paspor.
Lokasi pemilihan suara sebenarnya tidak terlalu jauh dari rumah kami, sekitar 17 Km. Namun, karena sistem transportasi sangat teratur, maka menuju ke lokasi memakan waktu 1 jam 30 menit.
Kami harus naik bis menuju ke stasiun kereta Glen Waverley, lalu berganti tram saat tiba di Glen Irish dan berhenti di St Kilda. Lalu, kami jalan kaki 300an meter tepat ke KJRI Melbourne.
Saat itu kami berangkat jam 13:00, sepulang istri saya bekerja dan saya menyelesaikan tugas-tugas bagian dari disertasi. Suhu udara panas sekali. Mungkin 40an°C. Terlebih, kami mengajak dua putra kami yang masih kecil.
Di bis, kereta dan tram, penuh sesak. Memang hari ini bertepatan dengan Hari Raya Tionghoa, tahun Naga Merah. “Rasanya mabuk,” kata Si Sulung. Tapi ketika melewati kecamatan Prahran, kami terkesan. Ini adalah kota tua yang hidup, penuh dengan orang-orang yang punya gaya tersendiri.
Ketika sampai di perhentian tram di St Kilda, kami berjalan kaki di bawah terik yang menyengat. Ini wajar, karena merupakan wilayah pantai. Setelah di KJRI panitia dengan sangat ramahnya mengecek dokumen yang kami bawa. Namun, karena kami membawa balita yang duduk di stroller, kami mendapatkan prioritas.
Saat itu, kami langsung diarahkan ke bilik suara. Setelah memverifikasi dokumen, kami mencoblos. Kami mengingat kembali perkembangan pembicaraan kami berbulan-bulan lamanya mengenai nomor 1, 2 atau 3.
Karena kami berpikir ketiganya bagus semua, (meskipun kali ini kami menganggap kehilangan nilai demokratisnya, terutama karena soal cawe-cawe entahlah), hati nurani kami menyarankan untuk memilih semuanya. Lalu, kami menyelupkan jari kelingking kami ke wadah tinta, menandai bahwa kami sudah memilih.
Tapi inti perjalanan kami bukan ini. Kami bekerja dan belajar terus-menerus hingga lupa diri, keluarga, anak-anak dan liburan. Nah, bagi kami, coblosan Pemilu adalah momen liburan.
Dengan adanya Pemilu ini, kami terhibur sekali. Bukan hanya karena bisa menonton para elit saling beradu argumentasi (mengkritik, berolok-olok dan bahkan bertengkar, sebagaimana yang kami tonton secara rutin di YouTube), namun juga di KJRI terdapat warung musiman yang menyajikan makanan Indonesia.
Kami saat itu dengan lahap menikmati Lumpia, Pempek Kapal Selam, dan Es Kopyor Kelapa Muda. Di samping itu, kami bisa bersilaturrahmi dengan sesama orang bangsa dari berbagai kota di tanah air.
Saat kami di pintu keluar, ada bapak-bapak yang bertugas untuk mensurvei kami. Ia menawari kami dan kami menyambutnya dengan mengisi survei itu memakai ponsel pintarnya. Ternyata ia bertugas di Exit Poll dan menjanjikan akan menunjukkan hasilnya hari itu juga via website.
Sekedar sebagai catatan, hasil sudah dirilis, persentase dipresentasikan. Tapi saya bingung kenapa di website Kominfo hasil rilisnya disebut hoax? Terserah lah, karena bagi kami, siapa yang akan jadi pemimpin akan sama saja: tidak terlalu berhubungan dengan hajat hidup rakyat.
Akhirnya, kami melanjutkan perjalanan ke kota, menuju Flinders St. Kami berhenti di dekat Queens Bridge St di Southbank, untuk menikmati pinggiran sungai Yarra yang indah. Sesaat kemudian, kami melanjutkan perjalanan melalui De Capitol, China Town, dan berhenti di State Library di Swanston St yang punya halaman luas, teduh, dan nyaman.
Ada banyak orang yang juga berlibur di sana. Sekedar duduk-duduk, tiduran, makan siang, bercengkrama sambil menikmati angin sepoi-sepoi dan melihat burung-burung dara yang akrab dengan manusia.
Pemilu bagi kami adalah liburan keluarga. Kami terhibur dan kami senang. Menurut kami, kegembiraan seperti ini mungkin juga dirasakan oleh banyak orang lainnya di mana-mana. Tapi kami tidak yakin, kegembiraan ini berkaitan dengan demokratisasi, apalagi masa depan bangsa. Bagi kami, yang penting sehat secara fisik, akal, psikis dan spiritual. Dari kesehatan inilah maka kebahagiaan kami terpelihara.
Editor: Soleh