Feature

Mendalami Kajian Ekstremisme di Mesir

2 Mins read

Mesir, IBTimes.ID | Sekitar seminggu yang lalu, saya mengomentari salah satu postingan Pak Pradana Boy ZTF (Wakil Dekan I FAI UMM) di akun Instagram-nya mengenai keterlibatannya dalam program Global Exchange on Religion in Society di Maroko. Persisnya saya mengatakan seperti ini, “Pengen banget ke Maroko. Jalan-jalan, short course, atau kuliah”.

Ternyata satu minggu kemudian meskipun bukan ke Maroko, namun saya sekarang sudah berada di Mesir sebagai salah satu delegasi dari Indonesia untuk membicarakan tentang sikap para pemimpin agama melawan aksi-aksi terorisme dan ekstremisme di berbagai belahan dunia.

Saya tidak cukup memahami, apakah komentar itu dapat saya sebut sebagai doa yang terkabul karena memang keinginan itu murni dari dalam hati.

Saya bersyukur, akhirnya bisa ke Mesir, apalagi dengan tujuan akademis dalam rangkaian kegiatan International Conference on Religious Extremism: The Intellectual Premises and Counter-Strategies (7-9/6).

Saya selalu termotivasi untuk mengunjungi Mesir sejak tinggal di pesantren. Itu semacam cita-cita, apalagi bisa berkuliah di Universitas Al-Azhar. Pasti sebuah kemewahan. Sebab, kampus tersebut telah melahirkan banyak ulama yang berkontribusi mereformasi pembaruan pemikiran Islam.

KH. Ahmad Azhar Basyir, Prof. Baroroh Baried, Prof. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Prof. Quraish Shihab adalah sejumlah alumni Universitas Al-Azhar. Bahkan, Prof. Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) dan para cendekiawan Muslim lainnya di negeri ini pernah mendapatkan gelar Honoris Causa dari universitas tertua di Mesir tersebut.

Nah, tepat di seberang jalan hotel yang saya tinggali sekarang ini, tidak lain adalah Universitas Al-Azhar. Meski hanya satu minggu beracara di Kairo, namun itu cukup mengobati keinginan besar saya waktu di pondok.

Terorisme Musuh Dunia

Berbeda dengan para ulama yang saya sebut di atas, mereka pergi ke Mesir untuk belajar dan menguatkan kepakaran di bidang Ushul Fikih, Dirasah Islamiyah, Tafsir atau Ilmu Hadist, saya sendiri (mungkin) bisa disebut seperti kursus singkat untuk mendalami kajian ekstremisme keagamaan.

Baca Juga  'Adik Pingin Jadi Imam', Pengalaman Ibadah di Rumah

Pada hari pertama konferensi, saya bertemu dengan Grand Mufti Mesir Prof. Dr. Shawki Ibrahim Allam. Saya menyimak paparannya yang luar biasa mendalam dengan menyatakan bahwa terorisme adalah musuh agama dan musuh dunia. Tidak ada tempat bagi ideologi ekstremisme dan terorisme.

Perlawanan terhadap ide dan pergerakan kelompok ekstremis itu penting dan mutlak dilakukan oleh negara, pemimpin agama, para cendekiawan, dan masyarakat sipil.

Dia menyebutkan, Islam merupakan agama yang humanis. Karena itu, terorisme yang menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuannya, tidak mendapatkan tempat dalam doktrin Islam.

“Tindak ekstremisme berbaju agama tidak lain sebagai manifestasi kelompok tertentu yang berhati kejam, berjiwa sombong, dan berpikiran menyimpang,” sebutnya dengan tegas.

Menurut Shawki Allam, gempuran radikalisme dan terorisme di Mesir belum akan berhenti. Ancaman mereka ini masih sangat nyata yang merusak sendi ekonomi, sosial dan ketahanan nasional. Atas dasar itulah, pemerintah Mesir menginisiasi berdirinya Salam Center for Extremism Studies.

“Salam Center menginisiasi sejumlah program untuk meminimalisir pemikiran ekstremis, dan bisa berkontribusi bagi dunia internasional dalam memerangi terorisme,” ujar Shawki Allam.

Di Mesir sendiri, ancaman terhadap terorisme masih sangat tinggi. Pada 2020, sebanyak 19 anggota teroris terbunuh di medan pertempuran di Sinai. Sementara tentara militer Mesir meninggal 5 orang setelah pertempuran satu minggu di sekitar Kota Bir al-Abd, Sheikh Zuweid, dan Rafah di Sinai Utara tersebut.

***

Pada diri tersangka, berbagai persenjataan ditemukan seperti senjata otomatis, amunisi, granat, dan amunisi RPG. Dengan berbagai senjata tersebut, para ekstremis tidak saja menyerang anggota militer, tapi juga dipakai untuk menakut-nakuti warga sipil.

Konferensi yang disponsori oleh Uni Emirat Arab (UEA) dan Pemerintah Mesir ini, berupaya mengevaluasi berbagai program pemberantasan terorisme selama dua dekade terakhir. Apalagi, jaringan terorisme global telah memanfaatkan internet, dan khususnya media sosial untuk melakukan propaganda ide-ide ekstremisme.

Baca Juga  Al-Hanafiyyah Al-Samhah, Toleransi Antar Umat Beragama di Indonesia

Indonesia menghadapi persoalan yang sama, di mana diseminasi pemikiran ekstremis telah menyasar generasi muda melalui pemanfaatan media sosial. Sebab itulah, pemerintah dan masyarakat sipil Islam khususnya perlu merumuskan berbagai strategi baru dalam memerangi terorisme dan ekstremisme.

*Penting diketahui bahwa keterlibatan Nafik dalam konferensi tersebut merupakan afirmasi dari kerjasama antara Institute Leimena, Ma’arif Institute, Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah, dan RBC Institute A. Malik Fadjar dalam Program Internasional Peningkatan Kapasitas Guru Madrasah/Pesantren dan Ismuda dalam Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB).

Editor: Yahya

Avatar
3 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam, Sekretaris Pusat Studi Islam dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Malang
Articles
Related posts
Feature

Kedekatan Maulana Muhammad Ali dengan Para Tokoh Indonesia

3 Mins read
Ketika kita melakukan penelusuran terhadap nama Maulana Muhammad Ali, terdapat dua kemungkinan yang muncul, yakni Maulana Muhammad Ali Ahmadiyah Lahore dan Maulana…
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…
Feature

Sidang Isbat dan Kalender Islam Global

6 Mins read
Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *