Belajar dari pengalaman penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia yang sudah berlangsung sejak tahun 1955 hingga Pemilu Serentak 2019. Kita mencoba membandingkan berbagai sistem pemilu yang digunakan dalam pesta demokrasi di tanah air.
Di masa orde baru pemilu hanya memilih anggota legislatif – DPR/DPRD – dengan peserta tiga partai politik (PPP, Golkar dan PDI) serta menggunakan sistem proporsional tertutup. Selama masa orde baru pemilu digelar pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997.
Penulis merasakan langsung suasana pemilu pada tahun 1992 dan 1997, pada saat itu masa kampanye pemilu terasa lebih mencekam dan menegangkan karena penguasa sangat refresif, namun saat di TPS pemilih lebih gampang mencoblos surat suara yang lebarnya tak lebih seukuran kertas A4.
Pada pemilu serentak 2019 kita merasakan pemilu dengan 5 jenis surat suara yang ukurannya bervariasi, bahkan ada yang selebar kertas koran. Surat suara untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD berukuran paling besar. Modelnya vertikal, dengan ukuran 51×82 cm dan yang paling kecil tentu saja surat suara untuk pilpres, ukurannya 22×31 cm atau sedikit lebih besar ketimbang kertas A4.
Ukuran yang jumbo itu tidak lepas dari banyaknya partai yang berpartisipasi dalam pemilu 2019. Yakni 16 partai nasional dan 4 partai lokal khusus untuk Provinsi Aceh. Pemilih, khususnya kaum lansia merasakan kesulitan untuk membuka dan melipat kembali surat suara. Ukuran surat suara yang lebih lebar adalah konsekwensi dari sistem proporsional terbuka, dimana pemilih dapat langsung mencoblos nama calon anggota legislatif yang tercantum dalam surat suara.
***
Tahapan pemilihan umum memang sangat panjang; mulai dari penyusunan daftar pemilih, proses pencalonan, masa kampanye sampai dengan pemungutan dan penghitungan suara. Dalam tulisan ini saya hanya ingin menyoroti proses pemungutan dan penghitungan suara yang berlangsung pada hari pencoblosan.
Seperti dikemukakan di awal tulisan, saya mencoba membandingkan bahwa sistem pemilu yang diterapkan akan berkaitan dengan format/ukuran surat suara yang digunakan oleh pemilih. Pada prinsipnya adalah bagaimana menghadirkan pemilu yang lebih praktis dan sederhana tanpa mengurangi esensi demokrasi yakni one man one vote.
Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago berpandangan sistem pemilu secara proporsional tertutup dinilai akan mendorong masuknya wakil rakyat terbaik di parlemen. Kelebihan sistem proporsional tertutup memastikan bahwa masyarakat cukup memilih partai dan partai yang berkewajiban memilih dan mengirimkan kader-kader terbaiknya ke parlemen, sebab partai tahu betul siapa kader yang punya kapasitas, integritas, narasi struktural dan kultural.
Melalui sistem proporsional tertutup, selain berbiaya lebih murah, juga dapat menghidupkan kembali fungsi partai politik yakni menyiapkan kader menduduki jabatan kepemimpinan di parlemen. Selama ini melalui sistem pemilu proporsional terbuka, muncul kegelisahan yang mengelitik bagi kader yang sudah berjuang membesarkan partai, namun tidak terpilih dalam pemilu legislatif. Sistem proporsional terbuka menyebabkan cost politic menjadi lebih mahal karena pertarungan bukan hanya antar partai tapi juga antar kandidat dalam internal partai.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan sistem proporsional terbuka memberikan sejumlah keuntungan, diantaranya; Meningkatkan keterkaitan hubungan antara caleg dengan pemilih. Dalam sistem proporsional terbuka pemilih dapat langsung memilih caleg sesuai dengan yang diinginkannya tanpa ditentukan dengan partai politik. Artinya hubungan antara caleg dan pemilih akan semakin erat.
Proses rekrutmen caleg di internal partai politik masih bersifat tertutup, jika sistem pemilu yang digunakan adalah sistem proporsional tertutup maka tidak ada ruang bagi pemilih untuk menyeleksi secara langsung caleg yang diinginkan, sementara dengan sistem proporsional terbuka pemilih dapat memutus oligarki partai tersebut.
***
Berdasarkan realita kekinian secara obyektif dapat dipahami, apapun sistem yang digunakan dalam pemilu, baik proporsional terbuka maupun proporsional tertutup akan menghasilkan wakil rakyat yang harus patuh dan terikat dengan kebijakan fraksi atau partai politik yang menaungi.
Dalam menselaraskan kepentingan Anggota Dewan yang beragam, perlu dibentuk fraksi atau kelompok Anggota DPR yang memiliki pandangan politik yang sejalan. Dengan adanya fraksi memungkinkan Anggota Dewan untuk dapat menjalankan tugas dan wewenangnya secara maksimal. Setiap Anggota Dewan wajib menjadi anggota salah satu fraksi.
Fraksi bertugas mengkoordinasikan kegiatan anggotanya demi mengoptimalkan efektivitas dan efisiensi kerja Anggota Dewan. Fraksi juga bertanggungjawab untuk mengevaluasi kinerja anggotanya dan melaporkan hasil evaluasi tersebut kepada publik. Bahkan dalam pengambilan keputusan, sikap dan pandangan fraksi yang menentukan bukan pendapat akhir dari setiap anggota legislatif.
Jelasnya, keterpilihan calon anggota legislatif meskipun dengan suara terbanyak sekalipun, pada saat memperjuangkan aspirasi konstituennya tetap harus sesuai dengan koridor dan kebijakan partai politiknya. Sehingga kita tidak melihat adanya perbedaan kinerja wakil rakyat di zaman orde baru yang dipilih dengan sistem proporsional tertutup, maupun dengan anggota DPR/DPRD di masa sekarang ini yang dipilih dengan sistem proporsional terbuka.
Sangat aneh jika ada anggota DPR/DPRD yang berani melawan keputusan/kebijakan fraksi dan partainya. Sebab jika hal itu yang terjadi maka partai mempunyai kewenangan untuk memberhentikannya sebagai anggota partai dan kemudian menjadi alasan untuk melakukan pergantian antar waktu. Bahkan, pada Pemilu 2019 yang lalu, ada caleg yang meraih suara terbanyak justeru dipecat dengan berbagai alasan sehingga yang bersangkutan gagal dilantik.
Berkaca dari hal tersebut, maka hemat penulis akan lebih baik jika sistem proporsional tertutup yang diterapkan dalam pemilu legislatif berikutnya. Partai politik memang memiliki kewenangan dan kontrol terhadap kinerja anggotanya di parlemen. Hal ini selaras dengan mandat yang diberikan oleh pemilih saat mencoblos nomor atau tanda gambar parpol dibilik suara.
***
Sistem proporsional tertutup akan memberi keuntungan, secara teknis ukuran surat suara tidak terlalu lebar sehingga lebih mudah bagi pemilih untuk mencermatinya. Biaya pencetakan surat suara tentunya jauh lebih murah dibandingkan dengan format surat suara yang ada pada Pemilu Serentak 2019.
Selanjutnya proses penghitungan suara menjadi tahapan krusial yang harus di benahi. Jika kita merujuk pada kasus perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Sebagian besar permohanan mendalilkan adanya pengurangan dan penambahan suara maupun pengalihan suara yang terjadi pada proses rekapitulasi ditingkat badan pelaksana adhoc.
Sebagai contoh, di Kabupaten Bekasi dari tujuh gugatan PHPU yang diajukan semuanya mempermasalahkan proses rekapitulasi yang dilakukan oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). Putusan akhir MK hanya mengabulkan gugatan Partai Nasdem, yakni dengan memerintahkan KPU melakukan penyandingan data hasil suara DPRD Kabupaten Bekasi di TPS-TPS Desa Telaga Murni, Kecamatan Cikarang Barat.
Maka akan lebih baik proses rekapitulasi penghitungan suara dengan memanfaatkan teknologi informasi yang memungkinkan petugas KPPS bisa melakukan input data secara langsung hasil perolehan suara di TPS masing-masing. Langkah ini dapat meminimalisir adanya praktek penyimpangan dan manipulasi dalam proses rekapitulasi.
Kita sangat setuju dan mendorong KPU untuk menerapkan e-rekap yang akan menggantikan salinan rekapitulasi di TPS. Dengan sistem e-rekap, KPPS tinggal mengirimkan foto plano ke aplikasi atau server yang sudah disiapkan. Jika e-rekap dapat diterapkan sesuai dengan regulasi dipastikan hasil penghitungan pemilu akan lebih cepat dan akurat.
Kabarnya, proses pembahasan RUU Pemilu akan segera dilakukan oleh DPR, wacana yang berkembang nantinya ada dua jenis pemilu serentak, yaitu Pemilu Nasional untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR dan DPD (3 jenis surat suara) sesuai dengan putusan MK dan Pemilu Lokal untuk memilih Gubernur, DPRD Provinsi, Bupati/Walikota, DPRD Kabupaten/Kota.
***
Untuk Pemilu lokal saya mengusulkan akan lebih efektif cukup dengan 3 jenis surat suara; yaitu untuk memilih Gubernur, Bupati/Walikota dan satu surat suara untuk memilih DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Sekali lagi pemilih akan lebih mudah jika dengan proporsional tertutup karena di surat suara hanya ada nomor dan lambang parpol yang tertera.
Maka, ke depan pemilu serentak akan digelar dua kali (pemilu nasional dan pemilu lokal) dalam rentang waktu lima tahunan. Dengan sistem proporsional tertutup lebih praktis dan sederhana. Dengan menggunakan e-rekap akan mengurangi penggunaan kertas (paperless) sehingga lebih ringkas dan hemat biaya. Semoga.