Pembicaraan tentang kesetaraan gender tak pernah seramai ini di masyarakat. Tanpa ada batas, semua orang membicarakan gender. Mulai dari aktivis, influencer, pejabat pemerintah, hingga tokoh-tokoh terkenal. Banyak topik yang dibicarakan, tentu dari mereka ada yang mendukung dan ada yang menolak. Kemudian ada juga yang menganggap tak penting bahkan dianggap sebagai konspirasi barat untuk meruntuhkan budaya Indonesia. Semua hal tersebut ikut mewarnai wacana gender Indonesia, sehingga seringkali informasi tentang gender simpang siur dan dipenuhi kesalahpahaman.
Wacana gender sendiri sebenarnya bukan hal yang negatif. Mansour Fakih dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi Sosial mengemukakan bahwa gender adalah konsep sifat yang dilekatkan pada laki-laki maupun perempuan secara sosial atau kultural.
Jika diartikan secara kasar, gender adalah pelabelan bahwa laki-laki harus begini dan perempuan harus begitu. Di luar itu adalah salah dan harus dihukum dengan norma sosial. Pembicaraan gender biasanya fokus kepada ketidaksetaraan yang dialami perempuan di masyarakat yang dianggap patriarkis.
Banyak yang merasa empati dan menyatakan bahwa mereka sudah membela serta melaksanakan kesetaraan gender. Gender layaknya pohon berbuah di tengah kompleks perumahan, semua orang mulai membicarakannya, mengaku memilikinya, lalu berebutan memanen tanpa peduli kondisi pohonnya.
Tak jarang isu gender diperjualbelikan kemudian dibungkus sesuai pasar yang menikmatinya. Di satu sisi, isu gender digaungkan sebagai kebutuhan semua masyarakat sehingga perlu diperjuangkan. Aktivis akan mencoba menyuarakan kepentingan mereka yang tertindas, pejabat akan membuktikan bahwa mereka membela perempuan, dan tokoh-tokoh terkenal akan mencoba mencontohkan bagaimana mereka adalah panutan dari kesetaraan gender.
Di sisi lain, gender juga dicemooh dengan perkataan menyimpang dari budaya, adat, bahkan agama. Gender dikatakan adalah buatan barat untuk menyerang moral budi pekerti masyarakat. Padahal sebenarnya gender hanya memperjuangkan kesetaraan bagi mereka yang membutuhkan.
Ramainya Pembicaraan Gender
Apakah dengan ramainya pembicaraan gender ini adalah hal yang baik? Belum tentu. Menurut saya, perbedaaan kompetensi mereka yang bicara soal gender membuat stigma gender di masyarakat menjadi simpang siur. Pembahasan soal gender yang sedang diperjuangkan menjadi dangkal dan masyarakat menganggap hal tersebut sudah tidak perlu lagi dilanjutkan.
“Perempuan sudah boleh bekerja dimana-mana lho”. “Enak ya perempuan sekarang bisa jadi apa pun, kesetaraan gender udah terwujud deh”. Dua ungkapan tersebut menandai perjuangan gender telah menuai hasilnya, namun masih banyak problem yang luput dibicarakan di masyarakat.
Misalnya, stigma perempuan hanya boleh di rumah dan harus cepat menikah masih banyak tertanam di benak warga. Dalam rumah tangga pun, angka kekerasan masih tinggi akibat relasi kuasa yang timpang antara suami dan istri.
Apalagi kalau kita berbicara di sosial media, candaan seksis dan pelecehan terhadap perempuan tidak pernah sebebas ini. Perempuan masih di-judge berdasarkan pakaian/aksesoris yang dikenakan, diberikan stereotipe negatif, bahkan dihujat serta divonis masuk neraka. Semua hal tersebut menandakan pembicaraan gender belum selesai dan salah satu faktor yang menghambatnya adalah, menurut saya, karena mereka yang tidak kompeten ketika bicara gender.
Inkompetensi terjadi ketika mereka yang bicara soal gender sesungguhnya belum paham terkait kesetaraan gender yang diperjuangkan. Hal ini dapat terjadi karena beberapa alasan, di antaranya;
Pertama, mereka sebenarnya tidak peduli dan hanya ikut-ikutan agar dipandang mendukung gender. Kedua, mereka memang tidak paham dan hanya sok tau saja karena takut dipandang bodoh oleh masyarakat. Golongan pertama dan kedua ini banyak menjangkiti tokoh masyarakat atau influencer sehingga banyak yang ikut memberikan kesalahpahaman. Ketiga, mereka yang memang tidak ingin belajar secara mendalam terkait gender dan hanya mengutarakan yang mereka ketahui saja. Keempat, yang paling buruk adalah mereka yang bicara gender dan malah melakukan tindakan kejahatan atas gender itu sendiri. Sebut saja pelecehan, kekerasan dan lain-lain.
Perlukah Semua Orang Bicara Soal Kesetaraan Gender?
Di tengah ramainya pembicaraan soal gender, perlukah kita membiarkan setiap orang untuk bicara gender? Masihkah kita percaya mereka yang bercanda seksis itu layak bicara gender? Hanya karena mereka berpangkat ataupun pejabat tinggi pemerintah atau institusi lain. Akankah kita akan percaya pada tokoh-tokoh terkenal yang bicara gender secara bias? Padahal kelakuan mereka dibalik itu menodai martabat gender itu sendiri. Mereka menilai seakan-akan wajar apa yang dibicarakan dan apa yang dilakukan sangat berbeda. Terlepas dari semua kepentingan mereka, tetapi yang jelas jalan perjuangan kesetaraan gender akan terhambat.
Menurut saya, tak sembarang orang bisa bicara soal gender. Sebab kesalahpahaman sedikit saja akan membuat orang menancapkan stigma negatif pada wacana gender. Kesetaraan gender adalah soal empati dan kepedulian terhadap sesama manusia. Ketika dua hal tersebut hilang berganti dengan kepentingan semata, maka wajar kesetaraan yang didambakan tidak akan pernah terwujud. Hanya sekadar berhenti dalam diskusi dan pembicaraan isu belaka.
Tidak ada orang suci tanpa salah di dunia ini, lalu siapa yang layak bicara gender? Apakah pembicaraan terkait gender juga harus dibatasi? Saya rasa yang perlu kita lakukan adalah memilih dan memilah siapa yang bicara, apa isinya dan tentu saja apa kepentingannya berbicara dalam isu tersebut. Dalam isu kesetaraan gender yang sedang diperjuangkan ini, menurut saya, tak semua orang layak bicara gender. Apalagi mereka yang tak punya empati serta tak paham siapa yang tertindas dan siapa yang menindas!.
*Artikel ini adalah hasil kerja sama antara IBTimes.ID dan PP Aisyiyah
Editor: Soleh