Tak bisa dipungkiri bahwa ada kecenderungan di Barat khususnya, untuk memandang kebangkitan Islam sebagai kembali pada iman, iman pada Tuhan dan hari Akhir. Ia disamakan misalnya dengan cara bagaimana orang ateis atau agnostik kadang-kadang menemukan Tuhan kembali melalui Kristus.
Akan tetapi, apa yang terjadi dalam dunia Islam sangatlah berbeda. Kaum muslim tidak pernah benar-benar kehilangan kepercayaan (iman) pada Tuhan. Bahkan, elit yang terbaratkan yang mungkin lalai dalam kewajiban-kewajibannya sebagai muslim, tetap mempertahankan keimanan mereka pada Tuhan.
Kita tahu, bahwa kebangkitan Islam diawali dengan suatu gerakan yang dikenal sebagai revivalisme awal pada abad ke-19. Gerakan ini lebih memfokuskan perhatiannya pada persoalan-persoalan keagamaan internal umat Islam.
Praktek-praktek keagamaan yang banyak berlaku dalam masyarakat tradisional yang dianggap tidak memiliki dasarnya dipandang suatu bid’ah.
Misalnya, dalam konteks Indonesia, Muhammadiyah dengan gerakan anti TBC (takhayul, bid’ah, dan khurafat)-nya, kiranya bisa diletakkan dalam kelompok ini. Gerakan ini menekankan perlunya ijtihad, dan berusaha mengembalikan paham dan praktek keagamaan pada posisi yang moderat.
Syahdan. Rupanya, interaksi dunia Islam dengan Barat modern lewat kolonialisme membuka mata kaum Muslim untuk memperluas gerakan kebangkitan mereka, tidak hanya dengan membenahi persoalan-persoalan keagamaan yang bersifat internal, tapi juga dengan gerakan politik untuk merebut kemerdekaan dari Kolonialisme Barat.
Dan bersamaan dengan itu, kaum Muslim yang belajar di Barat menangkap bahwa, yang menjadi elan vital kemajuan Barat adalah pandangan dunianya yang menekankan sentralnya peran akal atau rasio, kebebasan dan otonomi manusia.
Kelompok ini yang kemudian dikenal sebagai modernisme Islam meyakini bahwa pemikiran liberal dan pendidikan modern (Barat) sebagai suatu keniscayaan dari keislaman.
Tradisi-tradisi pemikiran liberal dan rasional dalam Islam seperti, teologi Mu’tazilah dan filsafat kembali mendapat tempat dan menjadi relevan bagi umat yang ingin menciptakan masyarakat modern. Dalam hal ini, tokoh Muhammad Abduh, banyak memiliki pengaruh yang kuat dalam kelompok ini.
Masih dengan Barat. Dengan terinspirasi atas gerakan Marxisme atau neo-Marxisme yang kritis terhadap modernisasi atau pembangunan kapitalis, telah menumbuhkan gerakan-gerakan radikal yang menyatakan dirinya sebagai Islam Kiri atau Transformisme.
Pembangunan oleh gerakan ini dipandang sebagai ekspansi kapitalisme dunia, dan pelaksanaan kapitalisme di dunia ketiga atau masyarakat Muslim ternyata menimbulkan persoalan yang kompleks. Karena itu, apa yang dikumandangkan oleh kelompok ini adalah transformasi global, menciptakan tata dunia baru yang non kapitalis.
Itu artinya, tokoh-tokoh semacam Hassan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Ali Syariati, Chandra Muzaffar, Dawam Rahardjo, Mansour Fakih, pada beberapa aspek bisa dikategorikan pada kelompok ini.
Tentang Muhammad Abduh. Ia bisa dikatakan sebagai orang Mesir pertama yang menunjukkan keterbelakangan masyarakat Mesir dan fakta bahwa, masyarakat Mesir telah kehilangan kapasitas untuk memperbaharui dirinya. Problem sosial dan politik Mesir, katanya, terjadi karena warisannya sendiri, yang telah membuat Mesir tak mampu menanggapi tantangan zaman.
Menurutnya, kelemahan umat Islam disebabkan oleh perpecahan internal umat, yakni umat Islam terpecah belah menjadi bangsa-bangsa yang kecil yang beragama sekte dan keyakinannya, yang saling bertikai demi kesetiaannya pada pemimpin. Pun, disebabkan oleh kebodohan dan salah memahami iman, tertutupnya pintu ijtihad, dan kekeliruan kebijakan pemimpin.
Tak hanya itu, kritik terhadap kecenderungan menguatnya dominasi peradaban Barat modern yang materialistik ini juga telah memunculkan kelompok yang disebut neo tradisionalisme yang dimotori diantaranya oleh Sayyed Hossein Nasr.
Manusia modern menurut kelompok ini sudah menjadi aspek materi dan sejarah hingga semakin jauh dari asal atau tradisinya, yakni kemenyatuan dengan Tuhan, Realitas asali, universal, dan abadi (perenial).
Maksudnya, tawaran dari kelompok ini bahwa apa yang diperlukan manusia modern agar tidak mengalami kehancuran adalah menanamkan pada dirinya pengalaman-pengalaman transendental, metafisika, atau hikmah seperti yang dipraktekkan dalam taraket atau tasawuf. Tokoh-tokoh terdepan lainnya yang bisa dimasukkan dalam kelompok ini yaitu, F. Schoan. Hamid Algar, Roger Garaudy, Martin Lings, dan Naquib al-Attas.
Menariknya lagi, bersamaan itu, muncul lagi suatu gerakan yang dikenal sebagai neo Revivalisme yang dimotori oleh antara lain Hasan al-Banna di Mesir, Maududi di Pakistan, dan Khomeini di Iran. Gerakan ini muncul sebagai reaksi terhadap para modernisme klasik yang menurut hemat mereka telah terbaratkan (westernized).
Bahwa, yang ditekankan oleh kelompok ini, bahwa Islam merupakan ideologi yang dari situ seluruh tatanan kehidupan diturunkan secara utuh. Islam adalah khas, beda dengan ideologi-ideologi lainnya. Dan ia dipandang sebagai alternatif bagi seluruh umat manusia.
Kelompok ini umumnya berpandangan bahwa, umat Islam dalam mencapai kemajuannya tidak perlu meminjam sistem apapun dari Barat. Umat Islam harus membangun sendiri peradabannya berdasarkan ortodoksi Islam sendiri. Sebab, al-Qur’an telah mencakup petunjuk yang dibutuhkan dalam membangun peradaban itu.
Sebagai reaksi atas gerakan neo revivalis ini memunculkan gerakan neo modernisme Islam yang dimotori oleh Fazlur Rahman. Kaum neo modernisme ini memberikan sumbangan mendasar yang belum terumuskan kaum modernisme klasik.
Kelemahan modernisme klasik, menurut Rahman terletak pada tidak adanya sistem dalam gerakan yang dapat menyatukan secara organik antara wahyu (al-Qur’an), tradisi, dan realitas kontemporer umat. Dalam menangkap pesan moral al-Qur’an yang merupakan pesan etika sosial al-Qur’an dapat dilakukan dengan menelaah konteks sosio-historis dari ayat-ayat al-Qur’an tersebut.
Tentu saja, apa yang dikemukakan di atas adalah sebagian aspek kecenderungan pemaknaan kebangkitan Islam yang muncul dipermukaan. Ada aspek-aspek lain lagi yang bisa dikemukakan, yang bisa dianggap sebagai bagian dari fenomena kebangkitan Islam ini.
Pertama, kelompok-kelompok terorganisir dan berpolitik, misalnya Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Jamaat Islam di Pakistan. Kedua, kelompok-kelompok terorganisir, tetapi tidak berpolitik, seperti jamaah tabligh dan kelompok salafi. Ketiga, kelompok bebas yang tidak berafiliasi pada suatu organisasi. Keempat, kelompok-kelompok yang tidak terorganisasi dan tidak berpolitik.
Menariknya, kelompok terakhir ini direpresentasikan oleh umat Islam yang sedang dalam proses pertumbuhan keimanan. Lapisan ini berkembang secara cepat dan mengarahkan dirinya secara esensial. Mereka tidak mempunyai sistem apa pun, baik dalam pemahaman ataupun eksperimen keberagamaan.
Mereka meletakkan seluruh aspek kehidupan di bawah pedoman. Mereka inilah sebagaimana diungkapkan oleh Fahmi Huwaidi sebagai fondasi real bagi kebangkitan Islam. Wallahu a’lam bisshawab.
Referensi:
1. Chandra Muzaffar, “Kebangkitan Islam: Suatu Pandangan Global dengan Ilustrasi dari Asia Tenggara”, dalam Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Editor Saiful Muzani LP3ES, Jakarta, 1993.
2. Yvonne Haddad, “Muhammad Abduh Perintis Pembaruan Islam”, dalam Ali Rahmena (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, Mizan, Bandung, 1996.
3. William Montgomery Watt, “Fundamentalisme Islam dan Modernitas”, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.
4. Fahmi Huwaidi, “Kebangkitan Islam dan Persamaan Hak Antarwarga Negara”, dalam Kebangkitan Islam dalam Perbincangan para Pakar, GIP, Jakarta, 1990.
Editor: Soleh