Dalam setiap kajian keagamaan, Tuhan selalu menarik untuk diperbincangkan. Hampir tak ada wacana yang begitu intens dan mendalam diperbincangkan dari waktu ke waktu selain wacana tentang ketuhanan. Mengapa persoalan mengenai Tuhan menjadi begitu istimewa dalam perbincangan setiap insan manusia?
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab begitu istimewanya posisi Tuhan untuk diperbincangkan. Salah satunya bahwa kodrat manusia itu adalah homo religious, makhluk yang memiliki naluri religious. Di antara pengamat yang mengutarakan pendapat itu adalah Karen Amstrong. Dalam bukunya A History of God, Karen Amstrong menulis bahwa ada alasan kuat untuk mempercayai kodrat religius manusia. Mereka menyakini bahwa dibalik alam semesta ini terdapat kekuatan supranatural yang mengatur dan menciptakan mereka (al-Fayyad, 2012).
Dengan kodratnya sebagai makhluk yang religius, maka tidak heran jika dari waktu ke waktu perbincangan mengenai Tuhan selalu istimewa. Termasuk berbagai buku yang membahas mengenai Tuhan menurut berbagai perspektif, salah satunya adalah Allamah Thabathaba’i. atas dasar itu maka melalui buku yang berjudul “Tuhan dalam Filsafat Allamah Thabathaba’i”, Achmad Muchaddam Fahham mencoba melihat bagaimana Thabathaba’i memaknai Tuhan.
Buku ini sendiri diterbitkan oleh penerbit Teraju Mizan pada tahun 2004. Buku setebal 150 hlm ini, terdiri dari tiga bab, yakni; 1). Pendahuluan, 2). Allamah Thabathaba’i, 3). Tuhan dalam Filsafat Allamah Thabathaba’i. Meski buku ini tergolong sangat lama secara waktu, tetapi wacana yang dibicarakannya tidak akan pernah sirna. Karena bagaimana manusia hidup tak lepas dari yang namanya peran Tuhan. Sebagaimana dikatakan oleh Dr. Mulyadhi Kartanegara bahwa masih relevankah bicara tentang Tuhan pada masa ketika bagitu banyak orang mencoba membunuh-Nya?
Jawabannya, masih. Sebab Ia tidak akan mati, sekalipun seluruh manusia menolak keberadaan-Nya. Karena Tuhan yang sejati adalah Tuhan yang kehadiran-Nya sangat dibutuhkan justru sebagai syarat keberadaan alam semesta.
Filsafat Ketuhanan Allamah Thabathaba’i
Meski karya ini tidak secara halaman tidak terlalu besar jumlahnya, tetapi topik-topik yang dibahas lumayan luas mengenai ketuhanan. Sebab penulis melalui buku ini tidak hanya membahas argument tokoh utama saja, Thabathaba’i. Tetapi juga melengkapinya dengan diskusi-diskusi yang tidak kalah menariknya tentang bukti-bukti adanya Tuhan oleh para filosof, seperti Al-Kindi, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, dan Mulla Sadra yang mendahuluinya dan yang cukup mempengaruhinya. Setidaknya dalam perbincangan mengenai Tuhan menurut Thabathaba’i, penulis dalam buku ini membaginya dalam empat tema, yakni: 1). Bukti adanya Tuhan, 2). Keesaan Tuhan, 3). Sifat-sifat Tuhan.
Bukti Adanya Tuhan
Dalam pandangan Thabathaba’i keberadaan Tuhan dapat dibuktikan pada kesadaran manusia akan realitas dunia yang mengitarinya dan realitas dirinya sendiri. Manusia yang menyadari bahwa dunia sekitarnya adalah riil adanya akan mengantarkannya pada satu kesimpulan, bahwa meskipun dunia sekitarnya adalah nyata tapi tidaklah abadi. Sebab dunia ini bukan merupakan hakikat dari realitas yang tidak bisa hancur. Begitu juga halnya dengan manusia yang tidak nyata dan pasti hancur.
Lantas jika realitas dan dirinya sendiri bukan merupakan hakikat yang abadi, lalu kemana dua realitas itu akan menyandarkannya keberadaannya? Kata Thabathaba’i bersandar pada realitas yang tetap, yakni Tuhan.
Keesaan Tuhan
Bukti keesaan Tuhan yang diajukan oleh Thabathaba’i adalah: pertama, Tuhan itu tunggal dalam artian tidak tersusun dari bagian apapun. Kedua, Tuhan itu tidak memiliki sekutu. Ketiga, keesaan Tuhan sebagai pemelihara alam. Dari keseluruhan mengenai keesaan Tuhan, Thabathaba’i sangat mendukung konsep tanzih atau penyucian zat Tuhan dari keserupaan-Nya dengan makhluk. Tetapi meskipun Tuhan begitu transenden, Tuhan ternyata juga omnipresent (Maha hadir) yang dibuktikan melalui perhatian-Nya (inayah) dalam memelihara segala bentuk ciptaan-Nya.
Sifat-sifat Tuhan
Dalam membicarakan sifat-sifat Tuhan Thabathaba’i mengklasifikasikan menjadi dua, yakni sifat-sifat tetap (al-shifat al-tsubutiyah) dan sifat-sifat negatif (al-shifat al-salbiyyah). Dan ini masih dibagi lagi menjadi sifat-sifat zat Tuhan (al-shifat al-dzatiyyah) dan sifat-sifat perbuatan Tuhan (al-shifat al-fi’liyyah).
Pengetahuan Tuhan
Tiga bentuk pengetahuan Tuhan itu adalah: pertama, pengetahuan Tuhan identic dengan Zat-nya. Kedua, pengetahuan Tuhan yang disebut sebagai pengetahuan sebelum mengada (qabl al-ijad). Tuhan berdasarkan zat-Nya dan dalam tingkatan zat-Nya mengetahui segala sesuatu yang mawjud. Pengetahuan Tuhan dalam bentuk kedua ini bersifat global. Ketiga, pengetahuan Tuhan yang disebut sebagai pengetahuan setelah mengada (ba’d al-ijad). Pengetahuan Tuhan yang demikian, merupakan pengetahuan tentang segala sesuatu selain zat-Nya dalam tingkatan zat segala sesuatu itu.
Yang berada diluar zat Tuhan yang transenden. Pengetahuan dalam bentuk yang ketiga ini bersifat terperinci/partikuler (tafshili). Adapun cara Tuhan mendapatkan pengetahuan adalah bahwa pengetahuan Tuhan, baik dalam bentuk apapun merupakan pengetahuan langsung (ilm hudhuri). Dalam arti, Tuhan tidak butuh seperangkat alat inderawi untuk mendapatkan pengetahuan.
Hubungan Kehendak Tuhan dengan Manusia
Thabathaba’i memandang bahwa manusia sesungguhnya tidak bebas. Karena kebebasan yang dimiliki manusia sesungguhnya terikat oleh satu prinsip sebab-akibat yang tidak bisa dihindari. Dengan kata lain, kebebasan manusia itu terbatas. Berdasarkan kebebasan manusia yang terikat oleh prinsip sebab-akibat itu, Thabathaba’i kemudian menyatakan bahwa, manusia itu bebas tapi tidak mandiri. Dalam artian manusia tidak dapat mandiri, tanpa bergantung dengan sesuatu yang lain, dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Kebaikan dan Kejahatan
Kajian Thabathaba’i mengenai kebaikan dan kejahatan setidaknya menghasilkan dua kesimpulan, yakni: pertama, bahwa segala apapun yang ada di dunia ciptaan adalah kebaikan. Kejahatan yang muncul sesungguhnya adalah ketiadaan zat atau ketidaksempurnaan zat. Menyatakan kejahatan sebagai ketiadaan zat dan ketidaksempurnaannya tidak dimaksudkan sebagai penyengkalan terhadap berbagai bentuk kejahatan di dunia ciptaan. Kedua, kejahatan merupakan bagian dari ketentuan (qadha) Tuhan.
Dalam pengertian itu, ada contoh yang dapat digunakan seperti bencana alam, gempa bumi, dan kekeringan. Keberadaan semua bentuk bencana ini, pada dirinya sendiri bukanlah sebuah kejahatan. Sebab, keberadaan semua hal tersebut pada dirinya adalah kebaikan.
Di samping itu, keberadaan gempa bumi dan gunung meletus sesungguhnya merupakan gerakan normal hukum alam yang sudah semestinya terjadi. Karena, ketentuan absolut Tuhan memang telah menentukan hukum alam yang demikian. Dari sini kemudian dikatakan bahwa kejahatan masuk dalam ketentuan absolut Tuhan.
Daftar Referensi
al-Fayyad, M. (2012). Teologi Negatif Ibnu Arabi. Yogyakarta: Lkis.
Editor: Soleh