Penamaan Bulan Safar
Sebelum tahun hijriyah dimulai, orang-orang Arab terbiasa menamai suatu waktu berdasarkan peristiwa penting yang terjadi di waktu tersebut. Misalnya, yang paling terkenal, adalah Tahun Gajah, tahun di mana Nabi Muhammad Saw lahir ke dunia. Dinamakan Tahun Gajah dikarenakan pada tahun itu Abrahah berniat menghancurkan Ka’bah dengan menggunakan pasukan bergajah.
Pun demikian dengan penamaan bulan dalam tradisi Arab. Bulan-bulan hijriyah yang kita kenal sekarang sejatinya telah memiliki namanya masing-masing sebelum tahun hijriyah dimulai. Penamaan bulan-bulan tersebut didasarkan pada kebiasaan atau kondisi yang sering terjadi di masyarakat Arab.
Di antara bulan yang dinamakan dengan kondisi yang biasa terjadi di Arab adalah Safar. Safar (Shafar) secara bahasa terdiri dari huruf yang sama dengan arti kata “kosong” dalam bahasa Arab, yaitu Shifr. Dalam kitab Lisaan al-`Arab (juz IV, hal. 462) dijelaskan bahwa dahulu orang-orang Arab sering melakukan perjalanan di bulan ini, menyebabkan perkampungan yang mereka tempati seakan kosong karena ditinggalkan penduduknya.
Kebiasaan ini berkaitan erat dengan tiga bulan sebelum Safar, yaitu Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharam. Ketiga bulan tersebut termasuk dalam al-syuhuur al-hurum, yaitu bulan-bulan suci atau mulia. Di antara sikap untuk memuliakan bulan-bulan tersebut adalah kewajiban untuk melakukan genjatan senjata atau pun tidak diperbolehkan memulai peperangan.
Setelah berdiam diri di perkampungan dan dilarang berperang selama tiga bulan lamanya, orang-orang Arab sering melakukan perjalanan dan peperangan begitu bulan Safar tiba. Karenanya, perkampungan yang ditinggalkan pun memberikan kesan “kosong”.
Asal-Usul Mitos Bulan Safar
Adanya anggapan kesialan di bulan Safar telah muncul sejak masa jahiliyah. Orang-orang Arab terdahulu percaya bahwa pada bulan ini terdapat banyak musibah, penyakit, hingga malapetaka. Mereka menghindari berbuat sesuatu yang besar di bulan Safar, seperti pernikahan, perjalanan jauh, dan perdagangan.
Hal ini juga dijelaskan oleh al-Ghunaiman dalam kitabnya Syarh Fath al-Majiid (juz 10, hal. 79) ketika memberikan syarah (penjelasan) akan hadis Nabi Muhammad tentang bulan Safar. Dia menyebutkan tiga tafsir mengenai pandangan orang-orang Jahiliyah di atas;
Pertama, orang jahiliyah meyakini bahwa bulan Safar adalah bulan sial. Apa pun yang dilakukan di bulan Safar diyakini tidak akan memberikan hasil sebaik pekerjaan di bulan lainnya.
Kedua, orang jahiliyah pernah mendahulukan bulan Safar daripada Muharam. Hal ini dilakukan agar mereka dapat lebih cepat melakukan peperangan. Sebab, sebagaimana telah dijelaskan, Safar didahului oleh tiga bulan suci/mulia, yang menyebabkan orang jahiliyah terlalu lama berdiam diri di perkampungan (lihat QS. Al-Taubah; 37).
Ketiga, bulan Safar diyakini sebagai waktu di mana akan muncul hewan melata (sejenis ular hitam) yang membawa penyakit yang sangat menular. Penyakit tersebut diyakini lebih menular daripada lepra atau kusta, penyakit yang sedari dulu dianggap sangat menular.
Adanya anggapan banyak kesialan atau musibah di bulan Safar juga sering dimiliki oleh kaum muslim hingga kini. Di kalangan muslim, anggapan ini didasarkan pada perkataan sebagian ahli kasyaf (orang yang telah dibukakan penglihatan gaib oleh Allah).
Syekh Abdul Hamid dalam kitab Kanz al-Najaah wa al-Suruur mengutip perkataan Imam al-Dairabi:
“Sebagian orang ‘arif dari ahli kasyaf menyebutkan bahwa setiap tahun turun 320 ribu bala` (ujian, cobaan), yang semuanya terjadi pada hari Rabu Terakhir bulan Safar. Maka, itulah hari paling berat dalam setahun.”
Bantahan Terhadap Mitos Bulan Safar
Bantahan nyata terhadap kesialan yang terjadi khusus di bulan Safar dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Salah satu sabdanya yang terkenal berbunyi:
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ
“Tidak ada wabah yang menular (tanpa izin Allah), tidak pula ada tanda kesialan, tidak juga ada burung (penanda datangnya kesialan), serta tidak ada juga (kesialan) di bulan Safar.” (HR. al-Bukhari, no. 5757).
Beberapa penulis kitab syarah hadis menjelaskan bahwa maksud dari tiada kesialan di bulan Safar pada redaksi di atas berkaitan dengan kemunculan ular yang membawa wabah penyakit menular. Al-Mubarakfuri dalam Tuhfah al-Ahwadzii (juz 6, hal. 295), syarah Sunan al-Tirmidzi, menyebut bahwa Imam al-Bukhari memegang pendapat ini, mengingat dalam hadis tersebut disebutkan juga mengenai penyakit menular.
Selain berasal dari ucapan sebagian ahli kasyaf, ada juga yang menyakini kesialan di hari Rabu terakhir berdasarkan sebuah hadis. Hadis tersebut menyatakan bahwa:
آخر أربعاء فِي الشهر يوم نَحس مستمر
“Rabu terakhir di setiap bulan adalah hari nahas yang terus menerus.”
Ibnu al-Jauzi menyertakan hadis ini pada kitabnya yang membahas-hadis palsu, yaitu al-Maudhuu`aat. Artinya, hadis di atas termasuk hadis palsu. Dia menjelaskan bahwa pada riwayat tersebut terdapat Maslamah bin al-Shalt dan al-Abzari yang dinilai oleh ulama hadis sebagai pendusta.
Terhadap hadis di atas, al-Sakhawi sebagaimana dikutip oleh Syekh Abdul Hamid menjelaskan bahwa seandainya hadis di atas sahih atau dapat diterima, maka maknanya adalah “kesialan bagi pelaku tathayyur (percaya bahwa benda atau waktu tertentu membawa kesialan).”
Selain melalui ucapan, Nabi Muhammad Saw juga membantah anggapan orang-orang Jahiliyah terkait ketidak efektifan perbuatan di bulan Safar melalui beberapa tindakan. Habib Abu Bakar al-‘Adniy menuliskan beberapa peristiwa penting dalam hidup Rasulullah Saw yang terjadi di bulan Safar.
Di antaranya adalah pernikahan beliau dengan Sayyidah Khadijah yang terjadi di bulan Safar. Beliau juga menikahkan putrinya, Sayyidah Fatimah, dengan Sayyidina Ali di bulan tersebut. Selain pernikahan, beberapa peperangan yang dipimpin langsung oleh Rasulullah juga terjadi di bulan Safar, seperti Perang Abwa dan Perang Khaibar.
Para ulama pun mengingatkan bahwa waktu itu netral, dapat menyebabkan keburukan atau kebaikan hanya atas izin Allah dan didasarkan pada perbuatan masing-masing individu. Jika seseorang mendapatkan kesialan atau keburukan di waktu tertentu, bisa jadi disebabkan oleh perilakunya sendiri. Dan berlaku sebaliknya bahwa perbuatan positif di waktu tertentu dapat membawa kebaikan.
Editor: Soleh

