Kehidupan santri di ruang lingkup pesantren tidak terlepas dengan problematika kehidupan yang dihadapi. Hal ini tentu terjadi karena aktivitas para santri di pesantren selama 24 jam setiap harinya dalam lingkungan yang sama dan latar belakang kehidupan santri yang berbeda-beda dan mengandung intensitas interaksi sosial dalam lingkungan pesantren itu sendiri. Oleh karena itu, pesantren akan selalu melibatkan civitas pesantren, baik santri, ustadz dan pembina pesantren untuk menciptakan lingkungan yang aman, nyaman, tentram dan tertib dengan aturan dan disiplin yang efektif.
Disiplin di Pesantren Modern
Di lembaga pendidikan khususnya di pesantren modern, sudah pasti menerapkan kedisiplinan. Pada umumnya, yang menjadi ciri khas pesantren modern ada yang masih menggunakan kultur klasikal dalam penerapan disiplin kepada para santrinya. Namun ada juga yang memperbaharui disiplin itu sendiri dengan menerapkan inovasi baru yang disebut disiplin positif.
Salah satu yang menerapkan disiplin positif terhadap para santri-santrinya adalah Pesantren Muhammadiyah Al-Furqon Tasikmalaya, Jawa Barat. Sebagai Lembaga Pendidikan yang modern dan islami, tentu saja menerapkan disiplin kepada santri-santrinya supaya mewujudkan santri yang berakhlakul karimah, tertib dan ta’at terhadap aturan syariat dan aturan negara, agar santri-santrinya kelak menjadi insan rabbani dengan rahmatan lil’alamin sesuai dengan visi pesantren.
Penerapan disiplin positif di lingkungan sekolah atau pesantren, memang bukan perkara yang mudah. Sebab sebelumnya, apabila ada seorang santri/siswa melanggar sebuah aturan, maka akan mendapat hukuman. Mungkin dengan memberikan hukuman akan memberikan efek jera bagi pelanggar, akan tetapi, efek dari hukuman tersebut tidak akan berdampak secara berkepanjangan.
Menurut riset yang dilakukan oleh Dr. Vincent J Felitti dan Centers for Disease Control, pendekatan hukuman (punishment) tidak efektif dalam menumbuhkan kedisiplinan. Terinspirasi dari riset tersebut sekolah menengah di Walla Walla, Washington di bawah pimpinan James Spolander, mengganti hukuman dengan disiplin positif. Hasilnya, mereka berhasil menurunkan tindak perkelahian dan disiplin hingga 75% (Disiplin+ 7 Prinsip welas asih tanpa hadiah dan hukuman. Irfan Amalee)
Maka dari itu, perlu adanya konsekuensi logis. Konsekuensi logis berbeda dengan hukuman. Hukuman, berarti memberikan vonis kepada pelaku. Sedangkan konsekuensi, berdasar pada kesepakatan yang telah dibuat secara bersamaan. Seperti, apabila seseorang menumpahkan air di lantai, maka konsekuensinya adalah orang tersebut harus membersihkan bekas air tumpahan yang tadi dia tumpahkan.
Mengapa harus diadakannya konsekuensi logis? Karena disiplin positif hanya mengandalkan sebuah kesadaran, maka yang terjadi adalah sebuah kesalah pahaman. Sehingga orang akan cenderung untuk melanggar sebuah aturan, beranggapan disiplin positif hanya tentang kesadaran diri dan permasalahannya adalah mereka sadar atau tidak bahwa melanggar peraturan adalah sebuah kesalahan.
Pembelajaran dalam Disiplin Positif
Oleh karena itu, harus diadakannya pemahaman tentang apa itu disiplin positif. Memberikan edukasi kepada santri/siswa, bahwa konsekuensi logis merupakan pola konsekuensi yang mengikuti hukum alam yang bersifat logis. Salah satu contohnya yakni, Jika seorang anak memecahkan gelas, maka dia harus mengganti dengan yang baru. Konsep “Jika-Maka” dapat diterapkan pada seluruh lembaga pendidikan untuk bisa mendisiplinkan anak didik dengan konsep disiplin positif. Karena sejatinya, sekolah atau madrasah bukanlah tempat untuk mengadili yang melakukan kesalahan.
Tiga Jenis Konsekuensi Logis
1. Break it = Fix it
Contoh: jika merusak atau menghilangkan, maka harus memperbaiki atau mengganti.
2. Abuse it = Lose it
Contoh: jika menyalahgunakan waktu belajar, maka kehilangan waktu bermain untuk belajar
3. Negative attitude = Positif time out
Contoh: jika mengganggu secara berulang, maka harus dipisahkan dari grup untuk sementara.
Dengan menggunakan 3 cara tersebut, lambat laun anak didik akan mulai merasa sadar tentang kedisiplinan.
Untuk menerapkan disiplin positif memanglah bukan perkara yang mudah. Membutuhkan waktu yang lama agar proses penerapan disiplin dapat diraih secara utuh atau sempurna, tidak bisa serentak dalam waktu yang singkat. Sebab, untuk menyadarkan seseorang mesti menemukan tombol minat dalam diri mereka. Apabila sesuatu yang dipaksakan tidak akan berefek lama atau berkepanjangan, yang mungkin hanya saat mereka terpaksa akan hal tersebut.
Maka dari itu lah, Pesantren Muhammadiyah Al-Furqon memberikan suatu keluasan bagi para pelajar atau santri, supaya mereka lebih leluasa dalam mengemukakan pendapat mereka. Sebab secara tidak langsung, pesantren menjadi wadah untuk menampung mereka serta mengarahkan mereka kepada hal-hal kebaikan. Juga, pesantren tidak bisa selalu terpaku pada peraturan klasik yang hanya memberikan efek sesaat dan itu pun tidak memberikan efektif untuk pemahaman kepada santri/siswa pada zaman sekarang.
Editor: Rivan