“Selamat Hari Guru Nasional bagi yang memperingatinya. Semoga dengan Hari Guru Nasional, pengabdian guru dan jajarannya semakin ikhlas dan semakin diridhoi Allah Swt (minad dun-ya ilal akhirah). Semoga pula pendidikan di Indonesia semakin lancar dan makin berprestasi membentuk akhlak bangsa yang bermartabat”.
Pendidikan Berbasis Hati
Sesuai dengan tema “Bergerak dengan Hati, Pulihkan Pendidikan”, perlu kita garis bawahi bahwa pendidikan itu lebih menekankan pada aspek spiritual berupa kecerdasan hati dibandingkan aspek lainnya. Allah lebih melihat isi hati manusia daripada fisiknya, dan hati adalah sumber sehat manusia. Jika hatinya sehat, maka semua akan sehat.
Rasulullah bersabda;
اِنَّ ﷲَ لَايَنْظُرُ اِلَى سُوُرْكُمْ وَلَكِنْ يَّنْظُرُ اِلَى قُلُوْبُكُمْ
(Allah tidak akan melihat pada tampang fisikmu, tetapi Dia melihat pada hatimu.)
Hadits Qudsi: Rasulullah bersabda;
الَا وَاِنَّ فِيْ الْجَسَدِ مُضْغَةٌ اِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَاِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كًلُّهً اَلَا وَهَيَ اَلْقَلْبُ
(Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal darah. Apabila dia baik, maka baik pula semua anggota tubuhnya. Dan apabila rusak, maka menjadi rusak pula semua anggota tubuhnya. Ketahuilah, dia itu adalah hati.) (HR. Muttafaqu ‘alaihi).
Hati (bukan pengertian fisik) adalah indra keenam, melengkapi panca indra yang kita miliki (mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit telapak tangan). Hati merupakan pasangan otak sebagai alat berpikir. Kerja otak bersifat logis dan faktual, sedangkan kerja hati bersifat emotif. Al-Qur’an dan Hadits lebih banyak menyebut hati sebagai pengendali daripada otak.
Pendidikan berbasis hati akan membentuk suasana hati yang aman dan senang bagi peserta didik. Rasa aman dan senang tanpa paksaan dan intimidasi/ancaman, ini menjadi modal utama. Sehingga apa yang disampaikan guru akan mudah dicerna, diterima, dan dipahami secara wajar dan alami.
Pendidikan Berbasis Hati ala Rasulullah
فَبِما رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran: 159)
Inilah enam sifat kepemimpinan beliau yang wajib diturunkan kepada peserta didik. Beberapa sifat hati yang beliau miliki adalah: a) sifat rahmat, b) sifat lemah lembut, c) sifat tidak bersikap kasar dan berhati keras, d) sifat mudah memaafkan dan memohonkan ampun, e) sifat suka bermusyawarah, f) sifat tawakal kepada Allah.
***
Rahmat adalah pemberian Allah. Sifat rahmat adalah sikap mau bersyukur atas pemberian Allah, apa adanya dan apa yang diharapkannya. Inilah sikap utama seorang pemimpin. Sifat rahmat itu pulalah yang mempengaruhi sikap beliau dalam memimpin. Selain itu, sikapnya yang lemah-lembut, tidak lekas marah kepada ummat-Nya yang tengah dituntun dan dididiknya iman mereka lebih sempurna.
Pemimpin yang kasar dan berkeras-hati atau kaku sikapnya, akan seganlah orang menghampiri. Orang akan menjauh satu demi satu, sehingga dia “akan menggantang asap” sendirian. Kalau orang telah lari, janganlah orang itu disalahkan, melainkan selidikilah cacat dan salah pada diri kita sendiri.
Ketika para sahabat ada yang bersalah, karena menyia-nyiakan perintah yang diberikan oleh Rasulullah kepadanya sebagai pemimpinnya, Rasulullah yang berjiwa besar itu memberi maaf. Dalam pada itu, mereka dengan pelanggaran itu telah berdosa kepada Allah. Oleh sebab itu, Rasulullah sendirilah yang memohonkan ampun Tuhan untuk mereka, niscaya Allah akan memberi ampun, sebab dosa mereka sangkut-bersangkut dengan beliau.
Rasulullah juga suka bermusyawarah. Semua urusan, beliau tegaskan pembagiaannya, yaitu urusan agama dan urusan dunia. Mana yang mengenai urusan agama, yaitu lbadat, Syariat dan Hukum Dasar, itu, adalah dari Allah. Muhammad memimpin dan semua wajib tunduk. Tetapi urusan yang berkenaan dengan dunia, misalnya perang dan damai, menjalankan ekonomi, ternak, bertani dan hubungan biasa antara manusia (Human Relation), hendaklah dimusyawarahkan. Berdasar kepada pertimbangan maslahat (apa yang lebih baik untuk umum) dan mafsadat (apa yang membahayakan).
***
Setelah semua pertimbangan beliau dengarkan dan pertukaran pikiran tentang mudharat dan manfaat sudah selesai, barulah beliau mengambil keputusan “ya” atau “tidak”. Sebab keputusan terakhir itulah yang menentukan dan itulah tanggung jawab pemimpin. Pemimpin yang ragu-ragu mengambil keputusan adalah pemimpin yang gagal.
‘Azam adalah bulat hati. Setelah timbul kebulatan hati dan keputusan diambil, pantanglah bermata ke belakang, pantangkan berbalik surut dan serahkan diri kepada Allah. Itulah tawakal. Semua hal kita perhitungkan, tetapi dengan tawakal kita selalu ingat, bahwa ada hal-hal yang terletak di luar perhitungan kita.
Maka orang-orang yang tetap bertawakkal itu akan selalu dikasihi Allah. Tidaklah dia akan merasa kehilangan akal, jika ada sesuatu yang mengecewakan dan sekali-kali tidak pula akan bersombong diri ketika apa yang direncanakan itu sesuai dengan taufik Allah. Dan dengan sebab tawakkal pula, maka hati akan selalu terbuka untuk memperbaiki mana yang kurang, menyempurnakan mana yang belum sempurna untuk zaman yang akan datang.
Episode Mini Perang Badar
Sebuah riwayat mengisahkan episode Perang Badar. Setelah sampai di medan perang timbul sebuah musyawarat. Sahabat-sahabat beliau telah mengerti, bahwa dalam urusan yang mengenai agama semata, hendaklah patuh mutlak. Tetapi dalam hal ini yang mereka ragu, apakah itu termasuk wahyu atau termasuk siasat perang semata-mata, mereka tanyakan kepada Rasul.
Demikianlah yang dilakukan oleh Al-Habbab bin Al-Mundzir bin Al-Jumawwah seketika angkatan perang diperintahkan berhenti oleh Rasul di tempat yang jauh dari sumber air. Lalu dia bertanya: “Ya Rasul Allah! Seketika tempat ini engkau pilih, apakah dia sebagai perintah dari Allah, sehingga kami tidak boleh mendahuluinya atau membelakanginya, atau ini hanya semata-mata pendapat sendiri dalam rangka peperangan dan siasat? Rasululah menjawab: “Cuma pendapat sendiri, dalam rangka berperang dan siasat.”
Al-Habbab menyambut lagi: “Kalau demikian, ya Rasul Allah, tempat ini tidaklah layak. Marilah perintahkan orang semua, kita pindah ke tempat yang berdekatan dengan sumber air, sebelum musuh itu datang, sehingga kitalah yang menentukan.” Rasulullah menjawab: “Usulmu itu sangat tepat.” Lalu beliau perintahkan segera menguasai tempat itu sebelum musuh mendudukinya.
Demikian sedikit renungan, semoga bermanfaat.
Editor: Saleh