Inspiring

Mengapa Kristen jatuh Sekuler dan Islam tetap Autentik?

4 Mins read

Terdapat dua gerakan dominan yang sempat mengisi panggung intelektual Indonesia pada satu dekade silam. Mereka adalah gerakan progresif dan gerakan purifikatif.

Pada yang pertama, dipahami bahwa Islam membutuhkan pembaharuan secara radikal pada bangunan ilmunya. Hanya dengan demikian, maka Islam dapat menjawab berbagai tantangan kehidupan modern.

Sebaliknya, di sisi lain adalah yang memahami Islam telah sempurna dan memiliki segala hal yang mencukupi untuk menjadi solusi permasalahan kemanusiaan bagi setiap masyarakat di seluruh penjuru dunia.

Ketimbang pembaharuan, gerakan ini mengumandangkan pemurnian pemahaman. Bahwa bukan Islam telah lapuk, melainkan Islam yang sejatinya telah terdistorsi.

Yang menarik adalah bahwa perdebatan soal penerimaan akan pembaharuan atau pemurnian agama sebenarnya telah dialami oleh umat atau peradaban Kristen di masa lalu. Syed Muhammad Naquib Alattas menggambarkan hal itu dalam bukunya yang jadi salah satu rujukan utama gerakan anti-liberalisme, yaitu, Islam dan Sekulerisme.

Esai ini akan menjabarkan bagaimana sejarah pergulatan pemikiran keagamaan Kristen dan pemikiran sekuler di Barat, mengilhami Alattas membangun suatu kritik kunci kepada gerakan Islam progresif.

Kematian Kristen, Kematian Tuhan

“Tuhan telah mati” yang didengungkan oleh Nietzhe sejalan dengan keyakinan Auguste Comte bahwa zaman dominasi agama hanyalah merupakan zaman primitif yang akan menjadi pijakan bagi revolusi menuju dunia modern tanpa Tuhan.

Menurut Alattas, demikian itu merupakan suatu obituari, sebuah ramalan akan kematian agama di Barat!

Maka tidak mengherankan jika kematian itu segera diikuti oleh kelahiran gerakan Protestan. Gerakan ini mengumandangkan ketidaksesuaian Kristen dengan semangat baru zaman.

Bahwa Kristen telah lapuk dan suatu tindakan yang radikal diperlukan untuk menyelamatkannya. Walhasil, gerakan ini memiliki satu visi besar: merombak Kristen secara total.

Gerakan “neo-Kristen” para Protestan kenyataannya bukan mengembalikan Kristen kepada wibawanya. Yang terjadi malah Protestan menghancurkan Kristen dari akar-akarnya untuk diganti dengan sekulerisme itu sendiri. Sebagai dalih, mereka katakan sekulerisme lahir dari ajaran-ajaran injil yang murni. Singkatnya, bagi Protestan sekulerisme adalah ‘hakikat dan tujuannya (Kristen) yang benar’ (Al-attas, 1993, p. 3).

Baca Juga  Empat Karakter Nabi Muhammad yang Harus Diamalkan

Sudah tentu bukan Kristen yang otentik yang akhirnya mereka dapati. Melainkan kejatuhan Kristen ke dalam proses sekulerisasi ke tingkatan yang semakin dalam.

Sekulerisasi ujungnya mengobrak-abrik Kristen, dari dasar keyakinan tentang dunia dan Tuhan, hingga pada klimaksnya jatuh dalam relativitas ajaran.

Meskipun banyak agamawan dan sarjana Kristen yang bertahan dalam agamanya, namun mereka ternyata ikut mendukung pembaharuan (baca: sekulerisasi) Kristen.

Ini adalah suatu fenomena yang kala itu oleh Maritain disebut sebagai ‘kemurtadan yang terpendam’. Mereka adalah orang-orang yang secara bertahap membunuh Kristen dari dalam tubuh Kristen sendiri. Selayaknya belatung dalam mayat.

Bagi Alattas ambruknya peradaban Kristen Barat dapat dijelaskan dari kerapuhan internal ajaran agamanya. Doktrin-doktrin Kristen pada hakikatnya bersifat temporer dan arbitrer.

Bahwa setiap pemahaman hanya berlaku sementara waktu, oleh kesepakatan-kesepakatan rohaniawan. Demikian itu dimaklumi karena jangankan pada ajarannya, pada teks agamanya sendiri tidak terdapat kepastian.

Kesimpulan Alattas mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi di Barat. Bukan Kristen yang mengubah Barat (sekularisme), namun Barat lah yang mengubah Kristen.

Kristen dan Benih Ateisme

Kondisi yang kronis dialami oleh masyarakat Kristen di Barat. Gejala utamanya tidak lain adalah ateisme yang tumbuh subur karena kegagalan mereka dalam menjawab soal eksistensi Tuhan.

Berdasar prinsip Parmenidean, kebenaran adalah kesamaan antara apa yang dinyatakan dengan realitas eksternal. Prinsip ini kemudian diberlakukan juga kepada Tuhan.

Masalahnya begini: Tuhan sebagai dzat dapat dipikirkan, namun kenyataan eksistensi Tuhan sulit untuk dibuktikan langsung. Membuktikan Tuhan sebagai dzat yang eksis tidak sesederhana membuktikan bahwa kebenaran proposisi-proposisi sehari-hari.

Usaha untuk membukti eksistensi dzat dapat dilakukan, sayangnya, hanya pada diri manusia itu sendiri. Melalui ‘dialektik cogito’ yang masyhur itu Descartes, dapat dibuktikan bahwa diri manusia (atau setidaknya dirinya sendiri) memang eksis.

Baca Juga  Mahmoud Darwish, Memperjuangkan Palestina Lewat karya Sastra

Tapi cogito hanya mampu membuktikan objek yang memang eksistensinya berada di dalam pikiran, itulah si ‘aku’. Dengan menolak ‘aku’, setiap orang juga dapat menyimpulkan bahwa ‘aku’ mustahil tidak nyata. Sebabnya semakin menolak keberadaan ‘aku’ maka semakin jelas bahwa ‘aku’ itu ada. ‘Aku’ adalah sang subjek yang sedang berusaha menolak keakuanku.

Ironisnya, pembuktian Descartes hanya memuaskan hingga pada taraf eksistensi diri. Eksistensi Tuhan tetap tidak dapat dicerap oleh rasionalisme yang diagung-agungkan Barat. Jatuhlah Kristen dalam ateisme (al-Attas, 1993, p. 12-15).

Universalitas dan Otentisitas Islam

Meskipun Kristen bertekuk lutut kepada sekulerisme, bukan berarti Islam musti turut pula mengalami nasib serupa.

Kristen dan Islam memiliki kemampuan yang berbeda ketika berhadapan dengan sekulerisme. Masalahnya, muslim kadang tidak memahami bahwa Kristen tidak bisa disejajarkan dengan Islam dan bahwa Islam telah melakukan proses ‘sekulerisasi’ sedari dini tanpa kemudian menjadi sekuler (ini akan kami jelaskan pada tulisan berikutnya).

Suatu ironi jika Islam mengikuti langkah jejak Kristen di Barat yang menyerah dan mengadopsi sekulerisme dalam pandangan alam mereka. Islam tidak seperti Kristen yang meragukan otentisitas teks keagamaan. Dalam Islam, baik Al-Qur’an maupun hadis semua dapat diuji dan ditemukan validitasnya sebagaimana apa adanya mereka.

Persoalan bahasa dan upaya penafsiran atas kedua teks itu juga tidak sekompleks Kristen. Islam tidak terlalu membutuhkan hermenutika karena bahasa Arab—yang merupakan bahasa Al-Qur’an—juga turut mengalami proses Islamisasi (Al-Attas, 1997).

Medan semantik atau ragam dan tingkatan makna dari kata-kata dalam bahasa Arab telah didokumentasikan secara baik oleh berbagai sarjana muslim dan terjaga sampai sekarang.

Eksistensi dan bahkan esensi Tuhan juga tuntas di dalam Islam. Bahwa Tuhan itu adalah Allah, yang namanya jelas diterangkan dalam Al-Qur’an.

Baca Juga  Membaca Sejarah Munculnya Tasawuf dalam Islam

Tuhan Allah itu esa, bukan tiga yang satu atau satu yang tiga. Allah adalah eksistensi yang wajib yang mengizinkan eksistensi makhluk yang sifatnya mungkin.

Ia tidak bermula dan tidak berakhir, tidak ada apapun yang menyamai dirinya. Ia bisa menyatakan ‘jadilah’ maka apapun itu akan menjadi. Ke’maha’an Tuhan Allah tidak memiliki tandingan sebagaimana selayaknya Tuhan yang sejati pastilah demikian sifat-Nya.

Kesimpulan Alattas

Jelas sudah bahwa Islam tidak rapuh seperti Kristen. Justru, Islam adalah agama yang begitu kokoh dan segenap bangunannya dapat diujikan. Tidak perlu Islam latah mengikuti jejak Kristen yang akhirnya mengalami sekularisasi.

Maka tinggal yang jadi pertanyaan apakah nilai-nilai Islam yang universal dan murni itu? Nilai-nilai yang mana dan seperti apa? Itulah nilai-nilai yang dibutuhkan oleh Muslim untuk mereka pahami.

Namun dari uraian ini jelas pula bahwa bersamaan dengan eksistensi nilai-nilai Islam otenik, harus pula diketahui nilai-nilai sekuler yang berusaha merasuk ke dalam Islam. Entah apakah melalui agen-agen sekuler di luar atau bahkan agen-agen sekuler di dalam diri umat Islam sendiri.

Mengetahui kedua nilai itu akan membantu muslim dalam dua hal. Pertama, mempertahankan nilai-nilai Islam yang mereka miliki yang murni dari sejak kehadiran nabi Muhammad dan proses Islamisasi Arab dan bahasanya. Kedua, untuk menghindari dan menolak nilai-nilai sekuler yang berbahaya yang dapat mendekonstruksi Islam menjadi agama yang relativistik.

Pustaka

Al-Attas, M. N. (1993). Islam and Secularism.

Al-Attas, M.N. (1997). The concept of education in Islam: A framework for an Islamic philosophy of education.

Editor: Yahya FR

Avatar
31 posts

About author
Dosen Fakultas Psikologi UMM dan Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
Articles
Related posts
Inspiring

Imam Al-Laits bin Saad, Ulama Besar Mesir Pencetus Mazhab Laitsy

3 Mins read
Di zaman sekarang, umat Islam Sunni mengenal bahwa ada 4 mazhab besar fiqh, yang dinisbahkan kepada 4 imam besar. Tetapi dalam sejarahnya,…
Inspiring

Ibnu Tumart, Sang Pendiri Al-Muwahhidun

4 Mins read
Wilayah Maghreb merupakan salah satu bagian Dar al-Islam (Dunia Islam) sejak era Kekhalifahan Umayyah. Kebanyakan orang mengenal nama-nama seperti Ibnu Rusyd, Ibnu…
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds