Tasawuf

Mengapa Muhammadiyah Memakai Hisab?

7 Mins read

Oleh Djarnawi Hadikusuma

Di dalam organisasi Muhammadiyah ada satu majelis bernama Majelis Tarjih yang anggotanya terdiri daripada ulama yang tergabung dalam Muhammadiyah. Majelis ini dibentuk di pusat, wilayah, dan daerah. Dahulu, setiap Muhammadiyah bermuktamar diadakan pula di sana Musyawarah Tarjih dengan mengundang juga para ulama di lingkungan Muhammadiyah. Maka dalam Muktamar di Makassar (sekarang Ujung Pandang) pada tanggal 1-7 Mei 1932, diadakan Musyawarah Tarjih yang acaranya, antara lain: Masalah Hisab dan Ru’yah. Musyawarah memutuskan sebagai berikut:

As-shaumu wal fithru birru’yati wa laa maani’a bil hisaabi, li hadiitsi. Shuumuu liru’yatihi wa aftiruu li ru’yatihi wa in ghubiya ‘alaikum fa akmiluu ‘iddata Sya’baana tsalaatsiin (rawaahul Bukhaari) wa qaulihi ta’aalaa: Huwalladzii ja’alas-syamsa dliyaa’an wal qamara nuuran wa qaddarnaahu manaazila li ta’lamuu ‘adadas-siniina wal hisaaba (Surat Yunus : 5). Idzaa tsabatal hisaabu ‘adama wujuudil hilaali au wujuudahu ma’a ‘adami imkaanir-ru’yati wa ra’al mar’u iyyaahu fil lailati nafsihaa fa ayyuhumal mu’tabaruu qarrara majlisut tarjiihi annal mu’tabara huwar ru’yatu (Kitab Himpunan Putusan Majelis Tarjih halaman 297)—versi cetakan lama (ed.).

Ru’yah dan Hisab

Menilik bunyi keputusan itu, ternyata bahwa Muhammadiyah sama sekali tidak mengabaikan ru’yah seperti yang disangka oleh sementara orang, tetapi juga tidak mengabaikan hisab yang telah difirmankan oleh Allah Pencipta sekalian alam, termasuk benda-benda di langit. Dengan lain perkataan, Muhammadiyah berpendirian bahwa ru’yah dan hisab merupakan dua macam cara yang dapat dipakai karena masing-masing mempunyai dasar yang kuat, dan apabila ru’yah mendahului ketentuan hasil perhitungan hisab, maka ru’yah-lah yang dipakai. Semakin jelas bahwa Muhammadiyah sama sekali tidak meninggalkan ru’yah.

Dalam praktiknya, jauh sebelum datangnya bulan Ramadhan, Ahli Hisab Muhammadiyah yang terhimpun dalam Majelis Tarjih bersama-sama telah menyelesaikan hisabnya lalu ditanfidzkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang kemudian mengumumkanya kepada cabangnya serta dimuat dalam Kalender atau Almanak yang tiap tahun diterbitkan.

Sebenarnya, penanggalan yang memuat hisab tidak hanya diterbitkan oleh Muhammadiyah, terutama sekarang ini bertambah banyak macamnya penanggalan yang memuat hisab itu. Setiap penanggalan Muhammadiyah selalu dicantumkan di bawah hasil perhitungan hisab, kata-kata : Apabila ru’yah mendahului hisab, maka ru’yah-lah yang dipakai.

Keputusan Majelis Tarjih sebagai tercantum di atas mengandung kesan bahwa hisab harus dihitung sebelum jatuhnya bulan Ramadhan, tidak pada hari tanggal 29 Sya’ban atau 29 Ramadhan setelah ternyata hilal tidak kelihatan.

Keputusan Tarjih dan Taqlid

Keputusan Majelis Tarjih, termasuk soal hisab dan ru’yah adalah keputusan musyawarah yang berpedoman kepada firman Allah dan Sunnah Rasul dengan mengambil pertimbangan pendapat para ulama serta pembahasan dalam musyawarah itu sendiri. Setiap keputusan dilandasi dan disiarkan dengan dalil-dalilnya, sehingga orang dapat mengetahui dalil-dalil itu dan dapat pula mengusulkan perubahan dengan mengajukan dalil-dalil pula untuk nantinya dibicarakan dalam musyawarah berikutnya.

Kepada warga Muhammadiyah dituntunkan pelaksanaan keputusan itu, dan kepada warga yang belum atau tidak bersedia mengikutinya tidak dikenakan sanksi apa-apa. Tetapi memang pada umumnya setelah mereka membaca dan mempelajari dalil dan tuntunan itu, lalu menjadi paham, tambah pengetahuan dan bersedia mengikutinya. Maka adalah janggal sekali jika ada orang yang mengatakan bahwa mengikuti putusan Tarjih adalah “taqlid yang diorganisir,seolah-olah taqlid itu ada dua macam, yang liar dan yang diorganisir.

Baca Juga  Anjar Nugroho: Bapak Paradigma IPM

Demikian pula keputusan Tarjih tidak khusus untuk orang awam, tetapi juga tidak khusus untuk cendikiawan dan ulama. Putusan Tarjih adalah tuntunan untuk warga Muhammadiyah dengan memberikan pengertian dan umumnya kepada Umat Islam yang bersedia memahaminya, tanpa paksaan. Awam dan tidak awam dipersilahkan mempelajari, dan kepada ulama serta cendikiawan diharap ikut memusyawarahkan, mengoreksi dengan mengajukan dalil yang dianggap lebih rajih serta pertimbangan dan saran-saran sesuai dengan ketidakawamannya.

Andaikata benar (tetapi tidak) bahwa mengikuti putusan Tarjih itu taqlid, toh masih lebih baik daripada taqlid kepada perseorangan dengan diorganisir atau tidak.

Ufuq Haqiqi dan Mar’i

Ahli Hisab mempunyai cara-cara yang berbeda di dalam menentukan tanggal 1 bulan Qamariyah. Antaranya ialah: berdasar ijtimak, berdasarkan wujudnya hilal di atas ufuq haqiqi dan berdasar imkanur-ru’yah. Di dalam hisab ijtimak, orang mencari saat terjadinya ijtimak, ialah apabila bulan di dalam peredarannya mengelilingi bumi telah mencapai kedudukan atau posisi di antara bumi dan matahari. Jadi, bulan ada dalam jarak yang terdekat dari matahari. Pada saat ijtimak itu terjadi, berakhirlah bulan Qamariyah.

Setelah terjadi ijtimak, mulailah bulan baru. Terjadinya ijtimak ini setiap saat, artinya kadang-kadang pagi hari, atau sore atau malam. Dengan keadaan demikian itu, maka menurut Ilmu Falak saja saat pergantian bulan itu dapat terjadi sebelum matahari tenggelam atau sesudahnya, dan saat itu dimulailah “new moon” menurut istilah astronomi. Umpama ijtimak terjadi pada tanggal 29 Sya’ban jam 12 malam, maka pada saat imsak orang harus sudah mulai berpuasa karena memang sudah tanggal 1 Ramadhan.

Akan tetapi, para Ahli Hisab menyesuaikan perhitunganya dengan kelaziman yang berlaku pada kehidupan manusia, yaitu menentukan mulainya tanggal baru itu sesudah tenggelamnya Matahari. Dengan demikian, maka apabila terjadi ijtimak sebelum matahari tenggelam, barulah pada malam harinya dihitung tanggal satu. Besok pagi orang sudah harus mulai berpuasa atau berhari raya. Akan tetapi, apabila ijtimak terjadi sesudah matahari tenggelam, maka bulan itu digenapi 30 hari dengan tanggal satu dihitung mulai lusa. Tentang ini umumnya Ahli Hisab yang menggunakan dasar Hisab Ijtimak tidak ada perlainan pendapat. Hanya akhir-akhir ini timbul pendapat baru yang menghendaki permulaan bulan Qamariyah itu tidak ditentukan oleh ijtimak qablal ghurub, tetapi oleh ijtimak qablal fajri. Alasannya ialah karena saat terjadinya ijtimak tidak ada sangkut pautnya dengan saat matahari terbenam.

Ragam Ahli Hisab

Teranglah, bahwa hisab-ijtimak tidak mengaitkan dapat atau tidak dapat dilihatnya hilal pada akhir bulan menjelang matahari terbenam, tetapi secara murni menghitung peredaran bulan mengelilingi bumi. Bila bulan telah sempurna mengedari bumi satu kali edaran, dengan menentukan batasnya pada saat ijtimak, berakhirlah bulan yang lama dan dimulailah bulan yang baru, sesuai dengan istilah “new moon” di dalam Ilmu Falak.

 Ahli Hisab yang berpegang pada hisab wujudul hilal menentukan posisi bulan pada akhir bulan Qamariyah pada saat matahari terbenam terhadap ufuq haqiqi. Di dalam istilah astronomi, hal itu dinamai true altitudeialah tinggi pusat bulan di atas ufuq haqiqi, yakni bidang datar yang melalui pusat bumi dan tegak lurus kepada vertikal dari si peninjau. Apabila true altitude, yakni posisi bulan di atas ufuq haqiqi itu terdapat positif pada akhir bulan Qamariyah menjelang matahari terbenam, maka dimulailah tanggal 1 bulan Qamariyah, karena bulan sudah wujud. Dapat atau tidaknya dilakukan ru’yah pada saat itu, tidak dikaitkan didalam perhitungan tersebut. Inilah yang dijadikan dasar Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Tarjih di dalam hisabnya untuk menentukan bulan baru Qamariyah.

Baca Juga  Al-Mutanabbi, Penyair yang Mengaku Nabi

 Ada pula Ahli Hisab yang berpegang pada ufuq haqiqi tetapi mengaitkan kemungkinan dapat tidaknya dilakukan ru’yah. Ada yang memberi batas harga minimal untuk true altitude, misalnya 12 atau 10 derajat untuk kemungkinan dapat dilakukan rukyat.

Ahli Hisab yang berpegang pada pada ufuq mar’i, menghitung posisi bulan terhadap parallaxis dan tinggi tempat sipeninjau, di samping itu menambahkan refraksi. Tinggi bulan terhadap ufuq mar’i ialah sama dengan tinggi bulan terhadap ufuq haqiqi dikurangi dengan parallaxis dan ditambah dengan tinggi tempat dari sipeninjau. Mula-mula yang dihitung oleh ahli hisab ufuq mar’i adalah tepi bulan yang ada di bagian atas. Mereka berpendapat apabila tinggi bulan dengan perhitungan-perhitungan itu ada di bawah ufuq mar’i, maka bulan baru belum dapat dimulai dan apabila ada orang yang menyatakan dapat melihat, penyaksiannya tidak boleh dipercaya. Hal semacam itu terjadi pada tahun 1969. Padahal oleh Dr. Bambang Hidayat (Kepala Observatorium Bosscha ITB) diterangkan, bahwa pada tahun 1969 pada tanggal 9 Desember (29 Ramadhan) bulan sudah positif di atas horizon, dan mungkin dapat dilihat.

Imkanur-Ru’yah dan Wujudul Hilal

Menentukanimkanur-ru’yah tidak harus dari ufuq mar’i karena ufuq itu hanyalah merupakan batas bidang dari benda atu cahaya di langit yang mungkin dilihat mata, sekalipun koreksi-koreksi masih diperlukan yang berhubungan dengan cuaca dan sebagainya. Sebagaimana yang telah berlaku selama ini ketinggian sesuatu benda di langit adalah diukur dari ufuq haqiqi. Ketinggiannya dari ufuq mar’i dapat diketahui dengan memperhitungkan parallaxis yang membedakan kedua ufuq tersebut dari ketinggian tempat sipeninjau.

Para ulama berlainan pendapat tentang ketinggian bulan di atas ufuq haqiqi untuk memungkinkan imkanur-ru’yah. Ibnu Syathir mengatakan 12 derajat, Bamakhomah berpendapat 8 derajat, Kiai As’ariPasuruhan berpendapat cukup 6 derajat. Semakin batas minimal ketinggian imkanur-ru’yah itu dikaitkan dengan keadaan cuaca, lamanya hilal kelihatan dan sebagainya, maka semakin bermacam-macam pula pendapat yang berlainan itu. Dan kalau batas ketinggian imkanur-ru’yah itu ditetapkan terlalu tinggi sebenarnya sudah tidak sesuai lagi dengan apa yang dimaksud, yaitu mencari batas minimal. Artinya di bawah itu hilal ‘tidak mungkin’ kelihatan jadi malam itu belum tanggal satu. Batas yang terlalu tinggi selalu menyebabkan keterlambatan.

Umpamanya pada tahun 1952, pada hari Ahad tanggal 22 Juni 1952 yang bertepatan pada tanggal 29 Ramadhan, menurut perhitungan Ahli-ahli Hisab tinggi hilal baru 1 derajat lebih sedikit. Oleh karena itu, umumnya berpendapat bahwa hilal tidak mungkin kelihatan sehingga mereka berpendirian bahwa Hari Raya Idul Fitri jatuh pada 24 Juni, hari Selasa. Tetapi Menteri Agama  Republik Indonesia memerintahkan untuk meninjau ru’yah.Peninjauan itu berhasil dengan adanya persaksian atau syahadah ru’yah dari beberapa tempat.

Baca Juga  Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

Persaksian itu diterima oleh Kementerian Agama, maka Menteri Agama dengan Surat Penetapan No. 13 Th. 1952 menetapkan Hari Raya Idul Fitri tahun 1952 jatuh pada hari Senin tanggal 23 Juni 1952. Namun demikian, masih banyak orang yang tidak berhari raya pada hari itu, tetapi pada hari berikutnya, yaitu Selasa 24 Juni 1952. Syukur alhamdulillah, waktu itu tidak kedengaran orang yang menuduh mereka dengan tuduhan yang bukan-bukan. Tetapi pada tahun 1962 Menteri Agama memutuskan dengan Surat Keputusan No.6/1962 bahwa imkanur-ru’yah minimal hilal harus sudah setinggi 2 derajat 15 menit dari ufuq haqiqi menurut markaz Jakarta, yakni dua kali lipat dari ketinggian hilal yang dapat dilihat pada tahun 1952.

Sebagian Ahli Hisab termasuk yang tergabung dalam Majelis Tarjih Muhammadiyah berpendirian bahwa lebih tepat dan praktis pedoman yang digunakan untuk menentukan tanggal satu ialah wujudul-hilal, dan yang lebih objektif pula. Bagaimanapun, kelihatan atau tidak, apabila hilal sudah wujud pasti saat itu sudah masuk tanggal satu bulan baru. Sah wujudnya sesuatu benda adalah tidak disyaratkan mungkin untuk dilihat mata.

Banyak hal-hal yang ternyata ada atau wujudnamun tidak tidak dilihat oleh mata atau tidak dirasa oleh indera manusia. Dan ini sejalan dengan ilmu tauhid. Apalagi hilal adalah benda yang kongkrit bukan abstrak. Tidak kelihatannya hilal yang sudah wujud, tidaklah menganulir wujudnya hilal itu. Alangkah sayangnya jika kita memegangi imkanur-ru’yah sehingga esok harinya kita belum berpuasa atau belum berhari raya, tahu-tahu lusa malamnya kita lihat bulan sudah tinggi (tanggal 2).

Pada tahun 1969, dalam kalangan Muhammadiyah terjadi sedikit kehebohan karena beberapa orang anggota Pimpinan Pusatnya memilih berpegang kepada imkanur-ru’yah dengan dasar ufuq mar’i. Maka dalam rapat Pleno Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta telah diputuskan penegasan bahwa bahwa Muhammadiyah berpedoman kepada wujudul-hilal dan ufuq-haqiqi, tetapi memberi kebebasan kepada warganya untuk berpendirian lain dengan menjaga saling-mengerti dan toleransi.

***

Pendirian Muhammadiyah sebagaimana diuraikan di atas adalah pandangan yang moderat, masak, serta dipertimbangkan dari segala segi! Mempedomani hisab haqiqi dan tidak mengesampingkan ru’yah yang dianggapnya lebih sah jika ru’yah itu mendahului hisab, baik hisab itu menentukan hilal sudah wujud atau belum maupun sudah wujud dengan tidak memungkin untuk dilihat. Hisabnya mendasarkan kepada kepada wujudul-hilal karena wujud adalah kenyataan dan haq.

Dan hisabnya itu tidak dilakukan oleh satu/dua orang melainkan oleh banyak Ahli Hisab yang tergabung dalam Majelis Tarjih. Hasilnya masih harus dimusyawarahkan dan disahkan oleh Majelis Tarjih serta berlakunya harus pula setelah ditanfidzkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Wallahu a’lamu bisshawab!

*) Sumber: SM No. 4  & 5 Th. Ke-53/1973 dengan penyuntingan

Editor: Nabhan

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Tasawuf

Tasawuf di Muhammadiyah (3): Praktik Tasawuf dalam Muhammadiyah

4 Mins read
Muhammadiyah tidak menjadikan tasawuf sebagai landasan organisasi, berbeda dengan organisasi lainnya seperti Nahdlatul Ulama. Akan tetapi, beberapa praktik yang bernafaskan tentang tasawuf…
Tasawuf

Tasawuf di Muhammadiyah (2): Diskursus Tasawuf dalam Muhammadiyah

4 Mins read
Muhammadiyah pada awal mula berdirinya berasal dari kelompok mengaji yang dibentuk oleh KH. Ahmad Dahlan dan berubah menjadi sebuah organisasi kemasrayarakatan. Adapun…
Tasawuf

Urban Sufisme dan Conventional Sufisme: Tasawuf Masa Kini

3 Mins read
Agama menjadi bagian urgen dalam sistem kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, pasti memiliki titik jenuh, titik bosan, titik lemah dalam…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds