Salah satu saat Muhammadiyah trending di media massa adalah ketika menjelang Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Hal ini dikarenakan Muhammadiyah yang memakai metode hisab dikenal selalu mendahului pemerintah yang memakai metode rukyat dalam menentukan masuknya bulan Qamariah. Ini menyebabkan kemungkinan 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 1 Zulhijah versi Muhammadiyah berbeda dengan pemerintah.
Hal ini pula yang menyebabkan Muhammadiyah banyak menuai kritik. Mulai dari tidak patuh kepada pemerintah, tidak menjaga ukhuwah Islamiyah, tidak mengikuti Rasullullah Saw yang jelas memakai ru’yat al-hilal. Bahkan di kalangan masyarakat umum yang tidak tahu tentang Muhammadiyah berpendapat bahwa mereka mengenal Muhammadiyah karena mempunyai ciri hari raya yang suka mendahului pemerintah.
Pada umumnya, mereka yang tidak dapat menerima hisab karena mereka yang berpegang pada salah satu hadits yaitu “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan bebukalah (idul fitri) karena melihat hilal pula. Jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban tigapuluh hari” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Hadits tersebut sangat jelas memerintahkan penggunaan rukyat. Hal itu mendasari adanya pandangan bahwa metode hisab adalah suatu bid’ah yang tidak punya referensi pada Rasulullah Saw. Lalu, mengapa Muhammadiyah bersikukuh memakai metode hisab?
Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al-hilal. Yaitu metode hisab yang menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter. Tiga parameter tersebut adalah telah terjadi konjungsi atau ijtimak, ijtimak itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk. Sedangkan argumen mengapa Muhammadiyah memilih metode hisab, bukan rukyat, ada beberapa poin yaitu sebagai berikut :
Semangat Al-Quran adalah Menggunakan Hisab
Didalam QS Ar-Rahman ayat 5 dijelaskan bahwa “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS 55:5). Ayat ini bukan tidak hanya sekedar menginformasikan kepada kita semua bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau juga dapat diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Jika spirit Qur’an adalah Hisab, Mengapa Rasulullah SAW Menggunakan Rukyat?
Rasyid Ridha dan Mustafa Az-Zarqa berpendapat, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber ilat (beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi Muhammad SAW adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim,“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”.
Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Tetapi jika tidak ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qaradawi menyebutkan, rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang Al Qaradawi disebut seorang salafi murni menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat yang tidak ada orang mengetahui hisab.
Dengan Rukyat, Umat Islam Tidak Akan Bisa Membuat Kalender
Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada saat H-1. Dr .Nidhal Guessoum menyebutkan, suatu ironi yang begitu besar bahwa umat Islam hingga saat ini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal pada saat 6000 tahun yang lalu di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.
Rukyat Tak Dapat Menyatukan Awal Bulan Islam Secara Global
Rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah, karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama terdapat muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat.
Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajat dan di bawah lintang selatan 60 derajat adalah kawasan yang tidak normal, dimana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan Lingkaran Arktik dan Lingkaran Antartika yang siang pada musim panas melebihi 24 jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.
Jangkauan Rukyat Terbatas
Jangkauan rukyat itu terbatas, hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang yang berada di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya.
Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis. Di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan, jelas sekali pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.
Rukyat Menimbulkan Masalah Pelaksanaan Puasa Arafah
Bisa saja terjadi di Makkah belum terjadi rukyat, sementara di kawasan sebelah barat sudah terjadi. Atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah.
Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau.
Pendapat diatas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang komprehensif. Karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat muslim secara selaras diseluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian sistem waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita menggunakan hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat.
Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko, mempunyai kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at Tausyiyah) yang isinya adalah :“Masalah penggunaan hisab: para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariahdi kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat”.
editor: Yusuf R Y