Partai Ummat (PU), partai yang akan didirikan Amien Rais (AR) dan para loyalisnya, harus bekerja ekstra keras untuk sekedar lolos Parliamentary Threshold (PT). Asumsinya, partai ini bisa menjadi peserta Pemilu 2024. Perlu diketahui, PT pada Pemilu 2019 lalu sebesar 4% dan ada kemungkinan PT akan meningkat pada Pemilu 2024.
Peningkatan PT itu memang urgent, untuk terbentuknya konfigurasi politik yang sederhana, dengan jumlah partai politik yang tidak terlalu banyak, agar sistem kepartaian bisa kompatibel dengan sistem presidensialisme. Partai-partai, khususnya partai besar dan partai menengah, juga mempunyai kepentingan penyederhanaan partai, untuk meminimalisasi kompetisi pada saat Pemilu.
Karena itu, beberapa saat lalu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melakukan lobi politik terhadap Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk membuat kesepakatan menaikkan PT menjadi 5 % pada Pemilu 2024 guna menghadapi pembahasan Rancangan Undang Undamg (RUU) Pemilu. Arah PKS ini bisa ditafsirkan, agar tercipta penyederhanaan konfigurasi partai Islam, hanya menjadi dua partai yang lolos PT, yakni PKS (mewakili Islam modernis) dan PKB (mewakii Islam tradisional).
Jika skenario ini benar, PT pada Pemilu 2024 menjadi 5 %, maka posisi Partai Ummat akan kian sulit lolos. Karena kehadiran Partai Ummat ditokohi Amien Rais dan sosok tokoh gerakan reformasi tahun 1998 tersebut dijadikan sebagai menu utama marketing politiknya, maka rekam jejak prestasi elektoralnya dapat digunakan sebagai pijakan mempredeksi nasib PU.
Dalam perspektif prestasi elektoral, AR tidak mempunyai success story yang cemerlang . Realitas politik dalam Pemilu, sejak Pemilu pertama pada era reformasi (1999) hingga Pemilu 2019, ketokohan AR tidak mampu mendongkrak suara Partai Amamnat Nasional (PAN).
Pada Pemilu 1999, Pemilu pertama era reformasi, PAN hanya memperoleh 7,3%. Melihat jeblognya suara PAN tersebut, para elite PAN menjadi shock (Muhammad Najib, 2006). Ketokohan AR dalam gerakan reformasi dan saat itu belum mempunyai “dosa politik”, tidak mampu “meluluhkan” hati rakyat sampai pada TPS (Tempat Pemungutan Suara) untuk memilihnya. Rakyat tampaknya masih pengin bukti bahwa AR konsisten dengan yang diucapkan saat menggulingkan Soeharto dari kursi presiden.
Masa Depan Partai Ummat
Dalam pemilu-pemilu berikutnya, suara PAN justru mempunyai kecenderungan menurun, atau paling tidak stagnan. Artinya tingkat kepercayaan publik terhadap AR juga turun atau stagnan. Pada pemilu 2004, PAN memperoleh 6,44% , 6,01% (Pemilu 2009), 7.57% (Pemilu 2014) dan 6.84% (Pemilu 2019). Di Jawa Tengah, dalam Pemilu 2019, PAN tidak memperoleh satu kursi pun untuk DPR RI.
Dalam kontestasi pemilihan presiden 2004, pasangan AR-Siswono Yudo Husodo (tokoh nasionalis) memperoleh 14,65%, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla memperoleh 33.57%, Megawati-Hasyim Muzadi memperoleh 26.60%, Wiranto-Sholahuddin Wahid memperoleh 22.15% dan Hamzah Haz-Agum Gumelar memperoleh 3%.
Melihat fakta rekam jejak elektoral tersebut, menjadi amat sulit mencari dalil-dalil bahwa PU mempunyai masa depan. Masyarakat tampaknya juga tidak antusias menunggu statement AR melalui kanal Amien Rais Official di Youtube yang disampaikan secara berkala. Saat launching Mukaddimah Partai Ummat telah berlalu sekitar satu minggu, video ini baru dibuka hanya sekitar 35 ribu pemirsa.
Bandingkan dengan kanal youtube milik Refly Harun. Dalam waktu yang sama sekitar satu minggu diunggah, video dengan tema Benar-Benar UU Cilaka, sudah dibuka oleh sekitar 644 ribu pemirsa. Itu artinya, masyarakat jauh lebih menunggu nunggu statement Refly Harus atas berbagai persoalan bangsa ini.
Berbeda dengan PAN yang bersifat inklusif (terbuka), modern dan didesain sebagai catch-all party (partai ambil semua), dan menjunjung tinggi pluralisme, PU didesain menjadi partai tertutup, konservatif dan membidik pemilih yang segmented. Pilihan kata Ummat sudah dapat ditangkap arah pemilih mana yang akan diambil. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ummat berarti para penganut (pemeluk, pengikut) suatu agama; penganut nabi. Karena PU didirikan oleh AR dan para loyalisnya, tentu yang dimaksud ummat tersebut adalah Ummat Islam.
Padahal, perolehan suara partai-partai islam dan partai berbasis massa islam dalam Pemilu 2019 lalu, total hanya sekitar 29,05%, yakni PKS 7,21%, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 4,52%, Partai Bulan Bintang (PBB) 0,79%, PKB 9,69% dan PAN 6,84%. Bandingkan perolehan suara partai nasionalis yang sebesar 70,95%.
Partai Ummat Banyak Mudharat
Munculnya partai-partai baru yang akan berkontestasi pada Pemilu 2024, semua berasal dari pecahan dari partai Islam. Partai Gelora, pecahan dari PKS. Masyumi Reborn pecahan dari PBB, dan Partai Ummat pecahan dari PAN. Artinya, kehadiran PU hanya akan menambah perpecahan partai-partai Islam.
Dalam konteks ini, jika boleh berpendapat, kehadiran PU justru hanya akan membuat beban ummat, malah lebih banyak mudharatnya. Cita-cita persatuan ummat (Islam politik) akan kian sulit digapai, dan yang memprihatinkan, Islam bisa hanya dijadikan komoditas politik untuk kepentingan elektoral.
Karena kehadiran PU merupakan sempalan dari PAN, dan AR juga pendiri partai berlambang matahari bersinar tersebut, maka PU akan memperebutkan suara ceruk yang sama. Perolehan suara PAN pada Pemilu 2019 yang hanya 6.84% tersebut akan dibagi dua. Implikasi logisnya, PU dan PAN sama-sama tidak lolos PT, alias dikubur sendiri oleh pendirinya. Mungkin PU bisa menarik kembali pemilih PAN yang kecewa, dan pada pemilu 2019 menitipkan suaranya ke PKS. Namun suara tersebut tidak akan mampu mendongkrak suara PU.
Ada kaidah ushul fiqh yang mungkin perlu direnungi. Mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat (Dar-ul mafaashid muqoddaman ‘ala jalbil masholih). Maksudnya, mencegah fragmentasi politik ummat Islam itu mestinya lebih didahulukan daripada usaha mengambil manfaat dengan mendirikan PU.
Editor: Dhima Wahyu Sejati