Menjadi hal yang wajar pada saat itu bahwa para ulama Islam bukan hanya menguasai ilmu-ilmu ke-Islaman semata – yang notabene sudah hal yang wajib dan biasa bagi pada saat itu – namun juga menguasai ilmu-ilmu eksak, filsafat, astronomi, sejarah, serta berbagai disiplin ilmu lainnya. Embrionya pada masa Dinasti Umayyah dan mencapai puncaknya pada rentang waktu Dinasti Abbasiyah. Masa puncak-puncaknya adalah saat masa Kekhalifahan Harun ar-Rasyid (w. 809 M) dengan membangun Bait al-Hikmah (House of Wisdom) di Baghdad.
Berbagai institusi untuk kepentingan masyarakat didirikan. Mulai dari rumah sakit, sekolah, lembaga farmasi, hingga kesusastraan, serta digairahkannya iklim literasi umat. Putra mahkota Harun ar-Rasyid, yaitu al-Ma’mun (w.833 M) yang menggantikannya juga tak kalah hebat menjadi penerus semangat visi ayahandanya. Al-Ma’mun adalah pemimpin yang cinta ilmu, berbagai sumber literatur Yunani diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab dengan menggaji penerjemah-penerjemah non-muslim sekalipun.
Para bangsawan Abbasiyah memang menaruh apresisasi pada ide-ide (ilmu) dari berbagai wilayah di dunia. Karya-karya dari Yunani, China, Persia ataupun dengan bahasa Sansekerta semuanya berusaha diterjemahkan. Para penerjemah bebondong-bondong menuju Baghdad untuk digaji tinggi atas setiap kompetensinya menerjemahkan suatu buku. Konon mereka digaji 500 dinar atau sekitar 2 kg emas untuk setiap buku yang mereka terjemahkan.
Kepopuleran Baitul Hikmah pada kisaran abad ke-8 Masehi bukan saja milik peradaban Islam semata, melainkan milik dunia. Meski keberadaan remah-remah bangunan fisiknya belum bisa dipastikan, jejak warisan keilmuannya masih nyata dan dirasakan hingga saat ini. Ketika pusat-pusat studi dunia pada saat itu mulai remang-remang tenggelam, peradaban Islam justru sebaliknya, menjadi awal episentrum keilmuan dunia (Islamic Golden Age).
Titik Awal Ilmu Pengetahuan
Hari ini, diakui atau tidak siapa yang tak kenal Ibnu Sina (Avicena), Ibnu Rusyd (Averos), Ibnu Haytham, Al-Kindi, Al-Khawarizmi, Ibnu Hayyan, dan yang lainnya. Mereka dikenal sebagai punggawa-punggawa ilmu filsafat, astronomi, kedokteran, matematika, kimia dan sebagainya yang berasal dari dunia Islam. Mereka lahir dari tradisi kelimuan yang begitu pekat pada zamannya yaitu tradisi yang dibangun oleh Kalifah Harun ar-Rashid. Baitul Hikmah menjadi titik awal berkecambahnya ilmu-ilmu matematika, astronomi, astrologi, kedokteran, filsafat, sastra hingga kimia.
Diketahui bersama, awalnya Baitul Hikmah dibangun hanya sekedar untuk koleksi bacaan pribadi Khalifah Harun ar-Rashid. Sang Khalifah memang begitu keranjingan dengan berbagai literatur peradaban Islam maupun Yunani (Helenistik). Akhirnya sekitar 30 tahun setelah berdiri, Harun ar-Rashid menjadikan Baitul Hikmah sebagai milik publik dan digunakan untuk pusat kajian akademis. Bukan hanya para ilmuwan muslim saja, khalifah juga dengan tangan terbuka memberi akses kepada siapapun, para akademisi Yahudi maupun Nasrani untuk datang dan mengkaji ilmu di Baitul Hikmah
Hal tersebut membuat nama Baghdad semakin moncer bak putik bunga yang menarik sekawanan lebah. Para akademisi dunia terdorong untuk berbondong-bondong menuju Baitul Hikmah di Baghdad. Efek dari hal tersebut, di masa yang akan datang ternyata mampu memberi sumbangsih bagi sistem angka yang dikenal dan digunakan oleh dunia saat ini.
Fibonacci Berkunjung ke Timur
Kegemilangan Baitul Hikmah berlangsung cukup lama. Hingga pada kisaran abad ke-12 Masehi, Leonardo Pisano atau populer disebut Leonardo Fibonacci seorang yang dikenal sebagai akademisi matematika asal Italia berkunjung ke dunia timur. Dimana embrio gelombang renaissance di Eropa pada saat itu mulai nampak. Fibonacci yang saat itu baru berusia 20 tahunan sempat melakukan perjalanan ke Timur Tengah.
Sekembalinya dari penjelajahannya dari Timur Tengah, ia kemudian menulis buku Liber Abbaci pada tahun 1202. Karya tersebut secara tak langsung merupakan bentuk refleksi keterpesonaanya terhadap gagasan-gagasan yang datang dari dunia timur. Liber Abbaci merupakan karya pertama kali yang dikenalkan di Eropa yang menjabarkan tentang sistem angka Hindia-Arab. Dimana sistem angka tersebut pada saat itu hanya dikenal oleh sedikit dari kalangan akademisi dan intelektual Eropa. Bahkan sebagian besar akademisi dalam sistem perdagangan masih nyaman dengan sistem angka Romawi yang tidak efisien.
Tak berselang lama, karya Fibonacci tersebut menjadi booming karena mengenalkan operasi teknik aritmatika yang sangat berguna bagi aktivitas perdagangan, bisnis, atau menghitung laba. Liber Abbaci mengenalkan bilangan angka dari 1 hingga 9 dan diakhiri dengan 0 (zephyr). Akhirnya sistem angka tersebut menjadi standar baku yang diaplikasikan oleh hampir seluruh masyarakat Eropa hingga dunia.
Kejeniusan Fibonacci melalui Liber Abbaci, banyak pihak percaya bahwa karya terebut ada keterkaitan dengan ide-ide yang sebelumnya telah ditulis oleh ilmuwan besar Islam abad ke-9 Masehi yaitu Al-Khawarizmi. Pada kisaran Tahun 821 Masehi, Al-Khawarizmi selain seorang matimatikawan, ia saat itu juga merupakan seorang Kepala Baitul Hikmah. Salah satu risalah ringkas Al-Khawarizmi yang berjudul Al-Jabr wa Al-Muqabala menjelaskan tentang konsep Al-Jabar (Algebra). Karya tersebut dianggap telah menjadi revolusi pertama kali konsep penyelesaian bilangan persamaan kuadrat.
Karena kejeniusannya tersebut, tak salah sistem penyelesaian persamaan kuadrat dinisbatkan atas namanya “Al-Jabar”. Al-Khawarizmi memperkenalkan umat muslim dunia sistem penomoran desimal dan kemudian melalui “dakwah” Fibonacci, konsep angka dan matematika modern dikenal ke seluruh ke Eropa. Jika demikian, maka tak salah bahwa sistem angka yang Eropa bahkan dunia kenal saat ini – yang diawali dengan karya Liber Abbaci – merupakan ide-ide dasar yang Fibonacci ambil dari dunia Islam, Baitul Hikmah di Baghdad.
Editor: Dhima Wahyu Sejati