Perspektif

Mengenal Perbedaan dengan Pemikiran Kalam Ibnu Qayyim

3 Mins read

Manusia memiliki eksisnya masing-masing dalam menjalankan sebuah kehidupan, sehingga manusia cocok untuk dijadikan sebuah objek dalam mengkaji berbagai hal.  Segala sesuatunya itu terdapat campur tangan manusia sendiri, sehingga manusia adalah objek kajian ilmiah yang tidak ada habisnya.

Ketika manusia memiliki eksisnya maka mereka akan mengeluarkan eksis itu dengan hal yang menurut mereka adalah sebuah kebenaran. Hal ini untuk menunjukkan kepada alam bahwa mereka eksis (ada) dan tidak mau mengakui keberadaan atau eksis-eksis yang lain selain mereka. Inilah yang menjadi penyebab adanya kekacauan di dunia, yaitu mereka tidak mau mengakui eksis lain selain mereka.

Di Indonesia sendiri banyak orang yang bentrok terhadap keimanan dalam beragama khususnya dalam agama Islam. Mereka selalu menunjukkan eksisnya seolah-olah mereka itu benar, mengkafirkan satu sama lain dan lain sebagainya. Hal ini diperkirakan karena minimnya pengetahuan mereka tentang kajian keislaman khususnya dalam kajian kalam.

Dari sana muncul perbedaan di antara mereka tentang kebenaran. Maka di dalam karya ilmiah ini kita akan belajar tentang kalam dari pemikiran Ibnu Qoyyim dan bagaimana relevansinya terhadap era milenial saat ini.

Belajar Ilmu Kalam ala Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah adalah seorang ilmuan muslim yang terkenal pada zamannya. Ia lahir di Damaskus yaitu di Suriah tepatnya pada  tahun 681 hijriah dan wafatnya juga di tanah kelahirannya tepat pada tahun 751 hijriyah (Na’mah,2015:67-68). Ibnu Qayyim dikenal sebagai sosok ulama besar, sebagai ahli fiqih, ahli agama, ahli kalam dan sebagainya. Dia adalah tokoh peneliti yang hebat sehingga banyak karya-karya yang telah diciptakan yaitu tentang ushul, fiqih, kalam dan sebagainya seperti karya terkenalnya Zad Al-Ma’had dan Madarijus Salihin (Saifullah, 2018).

Baca Juga  Tunisia dan Indonesia: Jauh Secara Jarak tapi Dekat Secara Kebudayaan

Ibnu Qoyyim memiliki banyak guru, salah satunya yang terkenal adalah Ibnu Taimiyah dan dia juga memiliki banyak karya diberbagai keilmuan yang sampai sekarang masih digunakan sebagai rujukan kajian ilmiah. Banyak yg dia pelajari pada guru-gurunya tentang agama maupun keilmuan lain. Begitu juga tentang kalam yang tidak lain terpengaruh dari pemikiran Ibnu Taimiyah.

Sang guru ini cenderung memiliki prinsip yang keras, dia beranggapan bahwa segala sesuatunya harus dari Al Qur’an dan As-sunah. Dia juga memiliki pemikiran bahwasannya Islam yang sebenarnya itu adalah islam Salafisme. Islam yang merujuk kepada Nabi SAW, sahabat, dan tabiin dia menganggap bahwa tabiin-lah generasi terakhir. Maka dari itu Ibnu Taimiyah ingin merujuk pada paham Salafisme dalam beragama islam (Na’mah,2015:70).

Perbedaan Konsep Ulama

Pemikiran Ibnu Qayyim tentang kalam tidak luput dari pemikiran sang pendahulunya yaitu sang guru Ibnu Taimiyah. Konsep dari Ibnu Taimiyah ini lebih ke pengkeritikan terhadap paham kalam sebelumnya seperti syiah,muktazilah dan lain sebagainya.

Dia juga berpendapat bahwa ajaran agama Islam yang terbaik itu terletak pada 3 generasi  yaitu pada zaman Nabi Muhammad SAW, sahabat, dan tabi’in, dia juga mengkritik pemikiran kalam filsafat seperti pemikiran Aritoteles yang dianggap tidak konsisten (inconsistence) pada pemikiran kalamnya.

Menurut Washil (2018:325) pemikiran kalam Ibnu Taimiyah itu memiliki ciri khas tersendiri, istilahnya lebih memilih jalan tengah, salah satu contoh pemikirannya yaitu tentang kehendak Allah SWT dan kebebasan manusia. Di sini Ibnu Taimiyah sepertinya memiliki pemikiran (pendapat) yang sejalan dan juga bertentangan. Di lain sisi dia berpendapat bahwa Allah SWT adalah sang maha pencipta, sang maha mengatur atas segala kehendaknya terhadap apa yang di ciptakan-Nya. Di lain sisinya lagi dia mengatakan bahwa manusia memiliki hak untuk bebas memilih jalan hidupnya.

Baca Juga  Pendidikan Bukan untuk Dikambinghitamkan

Pendapat ini menurut saya ada di tengah-tengah di lain sisi dia sejalan di lain sisi bertentangan. Pendapatnya yang sejalan itu mirip dengan pemikiran  jabbariyah dan qodariah yang dijadikan satu di lain sisi pendapatnya adalah bertentangan atas keduannya.

Nah, ini hampir mirip antara sejalan dan bertentangan karena pendapatnya terletak di tengah-tengah, seperti pendapat yang lainnya juga. Pemikiran Ibnu Qayyim pun tidak jauh dari sang guru bahkan sama akan tetapi perbedaan yang sangat signifikan. Di terlihat sini bahwa Ibnu Qoyyim memiliki sifat yang lebih luwes dibanding gurunya yang memiliki sifat keras.

Berilmu dan Beragama

Di era milenial ini banyak sekali generasi-generasi yang memiliki banyak  keahlian di berbagai bidang namun banyak juga yang tidak paham akan simbolisme agama apakah yang mereka gali selama ini hanyalah saintifik belaka? mengingat apa yang di katakan oleh Albert Einstein “Agama tanpa Ilmu adalah Buta dan Ilmu tanpa Agama adalah Lumpuh” di sini sudah jelas sekali bahwa ilmu dan agama itu harus terintegrasi.

Banyak contoh kasus  agama tanpa ilmu, seperti di Indonesia terdapat bentrok dalam memahami agama, hanya gara-gara perbedaan pemikiran tentang simbolisme agama dan perbedaan lainnya. Padahal mereka dalam agama yang sama, ini persis sekali seperti perang-perang dahulu yang disebutkan dalam ilmu kalam yaitu tentang perbedaan pendapat seperti syi’ah dan khawarij . Mereka satu akan tetapi karena perbedaan pendapat akhirnya sebagian keluar dan menjadi khawarij. Untuk meminimalisir hal seperti ini kita harus mengintergrasikan ilmu Kalam dengan agama.

Seperti yang dapat kita ambil dari pemikiran Ibnu Taimiyah dan keluwesan Ibnu Qoyyim bahwasanya setiap pemikiran itu dapat kita ambil dan kita olah lagi untuk mendapatkan suatu hal yang lebih baik. Suatu jalan tengah antar kedua pemikiran yang saling berbenturan. Maka hal ini menunjukkan bagaimana pentingnya ilmu kalam dalam era modern. Yaitu untuk jalan keluar dari perbedaan pendapat, karena agama dan ilmu harus terintegrasi untuk menciptakan suatu hal yang lebih baik.

Baca Juga  Viral Lalu Minta Maaf, Tradisi Barukah?

Editor: RF Wuland

Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds