Jurnalisme Kritis – Bukan rahasia lagi, bahwa media telah menjadi bagian dari instrumen kontrol para penindas. Segera tengok saluran atau channel apapun yang kamu suka. Perhatikan baik-baik bagaimana siaran yang ditayangkan melayani kepentingan politik elit yang berkompetisi memoles citra sembari menciptakan perpecahan di tengah massa ini.
Jika demikian caranya, maka demokrasi semakin terancam. Sebabnya, media yang bias itu menghalangi massa dari pengetahuan sejati mengenai dunia di mana mereka berpijak. Jadilah massa tidak mampu untuk memproduksi suatu keputusan yang objektif dan terukur. Segala keputusan mereka berangkat dari fakta yang kabur.
Belum lagi faktanya, banyak persoalan sosial-kemanusiaan (termasuk lingkungan dan kebudayaan) yang saat ini luput untuk diperhatikan. Media pro-rezim jarang mengambil peran untuk menyoroti dan membangun kesadaran mengenai urgensi penyelesaian isu-isu itu. Kondisi demikian membuat manusia tidak menyadari kehancuran dunia karena dirinya sendiri.
Berangkat dari keresahan itu, maka lahir jurnalisme mazhab kritis. Disebut kritis, karena ia bekerja keras menghancurkan ilusi demi menghadirkan kebenaran sebagai pijakan berpikir masyarakat. Menjadi kritis juga karena ia memungkinkan tercipta perubahan sosial yang nyata dan menyasar langsung kepada kondisi aktual masyarakat.
Meski demikian, makna kritis itu akan jauh lebih dapat dipahami dengan mempertimbangkan beberapa prinsip dasar dan penunjang. Prinsip itu terdiri dari keyakinan ontologis (fitrah) manusia, dualisme aksi humanisasi-dehumanisasi, ruang atau arena jurnalisme kritis, tindakan jurnalisme kritis hingga perkaderan kritis.
Hakikat Manusia dan Dualisme Aksi Jurnalistik
Dalam paradigma kritis, manusia dipandang sebagai makhluk dengan tiga sifat niscaya, yang pantang dilanggar. Bahwa manusia memiliki kehendak bebas untuk menentukan pilihan, memiliki kesadaran sehingga mampu memanipulasi realitas, dan setara satu sama lain (egaliter). Ketiga sifat itu secara sekaligus mendefinisikan manusia.
Atas dasar itu, jurnalisme kritis memahami dualisme aksi humanisasi-dehumanisasi. Suatu pelaporan berita yang membingkai manusia sebagaimana apa adanya dia (yang bebas, berkesadaran dan egaliter), atau mendorong kritik dan melawan usaha pengingkaran atas fitrah itu, dapat disebut sebagai suatu aksi jurnalisme humanis-kritis.
Adapun yang sebaliknya, suatu aksi jurnalisme yang membuat manusia ragu pada kemampuannya untuk memilih, lalu menumpulkan kesadaran dan menjustifikasi hierarki (privilege sebagian, misalnya) merupakan aksi yang bernilai dehumanis-mekanis.
Hal-hal ini seperti liputan yang menormalisasi keyakinan, bahwa perbaikan hanya dapat dicapai melalui kekuasaan pemerintah, elit korporasi besar, atau proses politik rutinan. Juga termasuk dehumanis, pemberitaan yang mengelabui massa dengan menutup sebagian atau seluruh fakta-fakta kunci hanya demi ‘stabilitas sosial’.
Tindakan Jurnalisme Kritis
Kausalitas ontologis tersebut memungkinkan formulasi atas tindakan jurnalisme kritis. Tujuannya agar media yang berkomitmen pada paradigma kritis dapat melahirkan tindakan yang tepat menyasar ke jantung dehumanisasi. Tindakan itu ada tiga yang paling utama yaitu literasi, advokasi, dan oposisi.
Pertama, Literasi. Literasi bermakna sebagai pembangunan wawasan dan—yang terpenting—kesadaran kritis manusia atas kehidupan. Literasi diarahkan pada pengungkapan pengetahuan kunci yang menjadikan massa tahu bahwa kondisi kehidupan semakin tergerus.
Namun, “pengungkapan kehancuran” itu bukan untuk jadi pesimis, melainkan justru agar timbul keinginan dan tindakan konkrit dari massa untuk melawan. Termasuk literasi adalah edukasi terkait opsi-opsi mengatasi permasalahan yang telah diketengahkan.
Kedua, Advokasi. Berikutnya jurnalis kritis berkomitmen untuk melakukan advokasi. Advokasi itu berlaku baik dalam makna membela atau melindungi kelompok massa yang lemah dan hidup di pinggiran kehidupan.
Advokasi itu bermaksud bukan untuk memimpin gerakan secara heroik, namun menumbuhkan kesadaran kritis massa tanpa menciptakan ketergantungan. Disini advokasi akan dianggap sukses tatkala massa dapat berdiri tegak secara mandiri dalam menghadapi penindasan di sekitar mereka.
Ketiga, Oposisi. Yang paling akhir bahwa jurnalisme kritis menuntut untuk selalu berseberangan dengan penindasan sekaligus beraliansi dengan kebenaran. Jurnalisme kritis memposisikan diri sebagai media yang secara konsisten membangun kontra narasi atas peliputan yang bias dengan kepentingan elit.
Setelah mengidentifikasi tindakan kritis yang lekat dalam paradigma ini, berikutnya ia juga mengidentifikasi ruang sosial dimana para jurnalis bergelut. Ruang sosial itu disebut disini sebagai arena kritis.
Tiga Arena Kritis
Arena kritis itu dibagi ke dalam tiga wilayah yang sejatinya saling berhubungan. Masalah yang terkait di arena yang lebih kecil seringkali merupakan akibat dari ketentuan atau tindakan dehumanis yang diatur di arena yang lebih besar. Dari situlah, jurnalisme kritis harus pula mempertimbangkan aksi yang bersifat multi-arena.
Adapun pembagian atas arena-arena kritis itu cenderung terjadi karena pertimbangan luasan, di mana luasan yang lebih bawah adalah lebih kecil ketimbang—namun menjadi bagian dari yang di atas. Tapi tidak sekali-kali arena bawah lebih remeh. Justru arena paling bawah itu seringkali mengandung masalah yang paling kompleks.
Pertama, Arena Industrial. Arena paling bawah itu meliputi tempat di mana media bernaung. Ia bisa jadi lingkungan keprofesian jurnalisme secara umum maupun lingkungan fakultas-universitas, dalam hal media ini digerakkan oleh mahasiswa. Fokus utama dari arena ini adalah aksi humanisasi pada kehidupan dan lingkungan sekitar yang begitu dekat dengan para jurnalis kritis.
Kedua, Arena Lokal-Nasional. Disitu wilayahnya cukup luas dalam hal geografi karena meliputi masalah yang terjadi di desa, kota hingga kebijakan pemerintahan pusat. Sehingga termasuk rekan-rekan kritis itu adalah masyarakat kaum miskin, orang-orang pedalaman, kelompok buruh, hingga LSM dan lembaga riset nasional.
Ketiga, Arena Global. Arena yang paling tinggi ini meliputi isu-isu kemanusiaan yang terjadi di negara lain yang relevan (karena terjadi juga) di Indonesia. Arena global juga termasuk mencurigai bagaimana kepentingan luar negeri negara maju-menindas sedang menyetir negara-negara berkembang nan lemah.
Agensi Jurnalisme Kritis
Pergulatan kemanusiaan akan selalu hadir sepanjang manusia itu ada. Maka, merupakan kewajiban bagi jurnalisme kritis untuk mempersiapkan agen-agennya di masa depan. Hal itu penting untuk menghadapi penindasan yang beranak-pinak serta berevolusi menjadi semakin canggih dan halus dalam praktiknya.
Sebab itulah, dirumuskan pula agensi kritis atau prinsip dasar dalam mengembangkan manusia-manusia yang siap menanggung tugas transformasi sosial. Prinsip dasar itu meliputi pengakuan dan internalisasi pada semua konsep paradigma kritis yang telah disebutkan, serta pendekatan belajar yang sepaket dengan aksi-aksi jurnalis yang kritis.
Pendekatan belajar itu menekankan pada pembacaan atas kondisi sosial, memasuki refleksi untuk mengidentifikasi akar masalahnya, lalu memproduksi tindakan kritis yang tepat. Karena ia jurnalis, maka tulisan atau liputan merupakan tindakan kritis yang paling minimal yang bisa dilakukan. Tentu saja karena tujuan akhirnya adalah penciptaan dunia yang lebih manusiawi, maka tindakan selain menulis atau jurnalisme yang berorientasi pada perubahan juga diterima.
Selain proses membaca-refleksi-menulis/beraksi yang berulang-ulang itu menajamkan kapasitas kritis, mereka sekaligus menjadi bentuk konkrit keterlibatan seorang jurnalis dalam membangun peradaban yang humanis. Demikianlah, seorang jurnalis kritis adalah mereka yang terus belajar dan beraksi membela kemanusiaan dalam keabadian.
Editor: Saleh