Perguruan Tinggi Keagaaman Islam (PTKI) merupakan wadah tertinggi dalam jenjang pendidikan islam. Sebagai lembaga pendidikan tinggi yang konsentrasinya dalam bidang keislaman, sudah seharusnya PTKI menjadi garda terdepan dalam literasi keislaman. Literasi keislaman akan merujuk kepada sumber-sumber literasi yang tak terlepas dari tradisi “turats”.
Tradisi turats atau yang disebut dengan tradisi mengkaji kitab-kitab islam klasik sudah sejak lama ada. Kegiatan tersebut bahkan sudah ada sebelum lembaga pendidikan formal lahir. Sejarah mencatatkan bahwa tradisi mengkaji kitab klasik islam sudah ada pada lembaga-lembaga pendidikan awal islam di Indonesia, seperti masjid, surau, langgar dan pengajian-pengajian yang diadakan di rumah-rumah, begitu juga lembaga pendidikan lainnya pada saat itu.
Di masa awal, lembaga pendidikan formal seperti pesantren, madrasah dan maktab, kegiatan mempelajari kitab turats atau dalam tradisi kita di Indonesia disebut dengan kitab kuning jamak dilaksanakan lembaga-lembaga pendidikan tersebut pada saat itu.
Hal ini dapat kita telusuri dari tradisi tersebut berlangsung hingga kini. Tidak hanya kitab-kitab yang disusun oleh para ulama salaf terdahulu, dapat juga kita temukan para ulama yang lahir di Indonesia juga membuat dan menyusun kitab-kitab dasar bagi para pelajar. Sebagai contoh ulama yang lahir di Indonesia yang menyusun kitab kuning dan kitabnya masih dipelajari di beberapa lembaga pendidikan pesantren, yaitu Syekh Muhammad Nawawi Al Bantani, Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan, dan ulama-ulama lainnya.
Keberlanjutan Tradisi Turats
Agaknya tradisi turats pada pendidikan tinggi tidak berlanjut dari pendidikan islam sebelumnya seperti pesantren. Di perguruan tinggi keislaman, tradisi mengkaji dan mempelajari kitab-kitab klasik islam tidak begitu masif dilakukan. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan: apakah tradisi tersebut tidak lagi relevan, atau kitab-kitab klasik yang disusun oleh para ulama terdahulu tidak lagi cocok dengan konteks kekinian?. Bahkan pertanyaan yang ekstrem lagi: apakah ilmu-ilmu keislaman terdahulu telah usang dan tidak dapat menjawab kompleksitas kehidupan sekarang?.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sebenarnya tidak seharusnya muncul, dikarenakan kitab-kitab yang ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu yang disusun oleh para ulama masih sangat relevan dikaji dengan konteks zaman sekarang. Maka sudah seharusnya mengembalikan dan menjaga tradisi turats dilaksanakan oleh perguruan tinggi keislaman. Jangan sempat perguruan tinggi keislaman melahirkan para sarjana yang tidak pernah bersentuhan dengan kitab-kitab kuning dan klasik.
Sebab itu, keberlanjutan tradisi ini harus tetap eksis, mengingat sebagai sumber ilmu dalam islam, karya-karya para ulama dan magnum opusnya seyogyanya tetap lestari sampai ke anak cucu kita nanti. Perguruan tinggi keislaman selayaknya membangkitkan tradisi ini dengan memasukan kurikulum turats sebagai mata kuliah dasar, agar nantinya para mahasiswa dapat merujuk sumber-sumber dari kitab klasik sebagai referensi dalam tugas-tugasnya.
Penguatan Ilmu Alat
Salah satu kelemahan dalam tradisi turats adalah kompetensi dalam ilmu alat seperti Nahwu, Sharaf, Balaghah, Mantiq. Perguruan tinggi dapat memfasilitasi peguatan ilmu alat ini bagi para pelajar dengan membangun tradisi Halaqah. Halaqah atau belajar dengan duduk berkeliling di depan para guru/Masyaikh dapat dilakukan di masjid atau tempat-tempat lainya. Ilmu alat ini dapat dijadikan prasyarat untuk mengikuti mata kuliah lainnya.
Seluruh mahasiwa diwajibkan untuk mampu menguasai paling tidak dasar-dasar untuk membaca kitab-kitab turats. Nahwu dan sharaf sebagai alat utama dalam membaca kitab kuning dimasukkan sebagai bagian dalam kurikulum perguruan tinggi, sehingga ada semacam penekananan kepada seluruh mahasiswa untuk mempelajari ilmu-ilmu alat tersebut.
Perguruan tinggi juga dapat melakukan pemetaan terhadap alumni-alumni sekolah pesantren yang masuk perguruan tinggi, dan hasil dari pemetaan tersebut dapat memberdayakan alumni pesantren menjadi tutor bagi teman sejawatnya dalam penguatan ilmu-ilmu alat dalam kitab turats.
Penutup
Literasi Turats ini dapat berkembang seandainya kecintaan terhadap karya para ulama dengan menjadikan sumber tersebut sebagai rujukan yang wajib bagi para pelajar dan mahasiswa. Mengingat begitu pentingnya tradisi ini dijaga, maka harapan kita perguruan tinggi jangan menjadi lembaga pendidikan yang buta terhadap literasi kitab kuning/turats. Keberlangsungan tradisi ini harapannya dijaga dan dibangkitkan pada lembaga pendidikan tinggi keislaman sebagai lembaga akhir dalam pendidikan islam.
Editor: Soleh