“Pak Bas, mbok bantu aku memecahkan masalah ini. Aku itu keliling sampai sono-sono jualan cilok gak laku sama sekali. Anak-anak pada alim-alim sekarang Pak Bas. Apa takut kalau-kalau cilokku ada Coronanya, atau pada malas keluar rumah, atau pada gak punya uang jajan?” Sambil senyum-senyum sedikit aku berusaha tidak menjawab, karena pernyataan dia hampir betul semua. Tapi dia mendesak agar saya memberi sedikit solusi. “Pak Bas malah Cuma senyum-senyum saja. Bapak ma enak, tabungan banyak, tanggal satu cring, gaji masuk rekening.
Gua, udah dua minggu selalu membawa pulang sisa stok cilok karena gak laku. Gas di rumah habis, bahan baku cilok habis, bahan dapur juga habis. Kalau pulang sampai rumah, istri gue pasti cemberut karena melirik cilokku masih banyak. Lalu, jualan apa yang laku di saat seperti ini ya Pak Bas?” Dia seperti ngomong sendiri, karena aku cuma senyum dan masih aku tahan agar tidak komentar. Biar saja unek-unek dia habis, nanti tinggal menge-gongi di akhir pembicaraan.
“Pak Bas tidak tahu ya, kalau aku itu hanya bisa jualan cilok, lain itu tidak bisa. Sudah pernah kucoba jadi tukang ojek on-line, tapi hanya kesasar-sasar tidak tahu arah, akhirnya dikasih bintang satu sama penumpang, dan Pak Bas tahu sendiri. Akhirnya aku di suspect oleh pengelola ojek on-line. Mau beli akun lagi ama temen yang tidak kepakai, juga mahal banget hampir dua jula setengah.”
Untung saja aku belum komentar, penagih bahan baku datang. “Mas, sampeyan tak cari-cari kok susah to, aku dari rumah lo, bini lo Cuma marah-marah, malah bilang sama aku–sono cari bapaknya, tuch cilok yang kemarin masih banyak.”
***
Dengan muka yang agak malu, Mas Herman, si penjual Cilok tadi malah agak marah sendiri, bukan marah pada penagih utang, tapi marah sama nasibnya yang merana karena Corona. “Sepurane ya mas, dah dua minggu ini, aku bener-bener mumet. Coba bayangkan, bahan baku dari sampeyan sudah habis, tapi uang tidak kumpul. Setiap pulang pasti membawa sisa cilok yang tidak laku. Mau kujual lagi esok harinya takut mematikan pasaran, tidak ku jual sayang, dan tukut merugi. Dah gini aja mas, aku tak lock-down ndisik ya.”
“Terus bagaimana mas, aku bisa belanja lagi? Aku juga ditagih sama yang punya bahan baku” desak si penagih. Penjual cilok pun tidak mau kalah berdebat, “Sekarang ini aku seperti ikan asin mas, tinggal tulang, mbok sampeyan kuliti ya tidak ada dagingnya sama sekali. Hutangku tak kembalikan setelah Corona pergi ya?” pinta penjual Cilok memelas.
Dari pada berantem, aku tengahi, “Mas-mas, jangan berantem lah, aku sedih, sampeyan juga sedih, kita semua sedih. Suasana sedang berkabung, bukan hanya sampeyan yang jualan Cilok yang macet, aku juga gak bisa nyari seseran sedikit pun. Sekarang bagaiman kita mensikapi kondisi saat ini dengan arif dan sabar.”
Penjual cilok yang masih penasaran dengan ku, kemudian bertanya, “Mas katanya akan ada bantuan dari pemerintah dua ratus lima puluh ribu per orang ya? Kapan itu mas cairnya ya? Nanti aku janji sama penagih ini untuk membayar hutangnku.” Mendapat pertanyaan yang sangat berat itu, aku sendiri juga bingung. Pertama, karena kabar itu belum ada juknis yang riil. Kedua, kalau aku jawab tidak tahu pasti pertengkaran jadi tambah seru.
***
Akhirnya aku putuskan untuk menjawab. “Gini aja, nanti aku tak bertanya teman sekantorku yang kebetulan mengurusi hal-hal seperti itu, nanti tak WA ya? Ini kan kabar baik, pasti benar. Gak mungkin lah, Jokowi bohong.” Mendengar penjelasanku yang agak ngawur-ngawur sedikit, bagi dia bisa diterima, entah karena agak rasional atau karena untuk memberi harapan palsu kepada si penagih tadi. Yang jelas keduanya tidak berlanjut berantem mulutnya, takut ada yang muncrat kan malah menjadi bahaya.
Si penagih karena penasaran, juga bertanya. “Pak, sekarang itu yang enak jualan apa ya pak, tagihanku macet semua. Sementara aku juga ditagih pemilik bahan baku. Kontrakanku sudah dua bulan juga belum ku bayar. Token Listrikku juga sudah bunyi thit-thit, pertanda hampir habis. Tagihan motor sudah dua bulan off. Kaya gitu, pemerintah menyarankan harus kerja dari rumah, belajar dari rumah, dan ibadah dari rumah.”
Karena berbicaranya panjang banget, aku jadi menyela biar tidak tambah ngelantur. “Gini, kalau sampeyan mau usaha dari rumah, bisa sebenarnya, tingal meng online kan bahan baku cilok sampeyan. O iya, mas Herman juga dapat mengemas Ciloknya dengan baik, dan bisa dipasarkan lewan on-line.”
Belum selesai aku menjelaskan, mas Herman si tukang cilok itu memotong, “Pak Bas, susah kuwi, sejak kecil aku jualan cilok ya begini, keliling, paling mangkal di depan SD atau TK, kalau disuruh pakai online, lha wong HP ku aja jadul, hanya bisa buat melempar ‘kirik’ gak bisa untuk WA an atau internetan. Terus bagaimana itu Pak Bas.”
He he, dalam hatiku, aku sendiri ternyata juga salah dalam memberi penjelasan. Aku kira Pak Herman itu Sarjana yang cepat adaptasi terhadap perkembangan teknologi. E.. ternyata dia hanya sekolah sampai kelas lima SD, terus disuruh jualan Cilok sama orang tuanya yang juga berprofesi sama di bilangan Cempaka Baru Gang Sempit. Hingga hari ini, orang tuanya juga masih kos, meskipun sudah punya anak cucu.
***
Passion penjual cilok yang sudah bertahun-tahun menjiwai profesinya, tentu akan sulit kalau harus berganti profesi. Untuk beradaptasi dengan teknologi juga sangat sulit karena tingkat pendidikan dia sangat rendah, dan sarana komunikasi yang dimiliki juga incompatible untuk melakukan model berbisnis kekinian. Kondisi seperti itulah yang membuat semua ahli menjadi kesulitan ketika dimintai masukan untuk mengatasi permasalahan kemiskinan yang menjeratnya.
Selepas dari pertemuan itu, sore harinya aku main ke rumah mas Herman, yang kebetulan aku tahu, karena istrinya pernah merawat anakku saat aku tidak punya pembantu. “Bu Herman, sedang apa ya? Bapak ada bu?” tanyaku sambal ketuk pintu. Tanpa susah membukakan pintu, bu herman menjawab, “Ee…Pak Bas, sudah lama tidak ke sini, gara-gara mbah Corona, ya” tanya dia sambal mennyindirku. Sepontan aku menjawab, “Maaf bu, gak sempat, sibuk ngantor. Bagaimana bu jualan Cilok bapaknya, pasti lancar to?” Aku pura-pura tidak tahu kalau suasana perekonomian penjual cilok sedang lesu, selesu “Macan” kelaparan. “Bapaknya dan aku itu sejak malam jam dua sudah bangun menyiapkan jualan bapak besuk pagi, agar bisa keliling cepat, bahkan sore menjelang tidur pun aku sudah bekerja untuk menyiapkan segalanya, mulai dari tusuk, plastik, sambal kacang, saos, dan lainnya, agar besuk pagi bisa fokus memasak cilok. Tetapi, bukan tambah hari tambah rame, malah tambah sepi. Bisa jadi bangkrut, jualan bapaknya anak-anak.” Terbawa larut emosi sedih juga hatiku. Hingga akhirnya, mau ku jawab dengan agak bergurau juga tidak tega.
Akhirnya aku tanya, tentang harga bahan baku, dan bahan lainnya. Tetapi bukan rasa bahagia yang kuterima. Malah sebaliknya, dia tambah mengeluh, seperti orang kebingungan. Aku juga jadi bingung, memikirkan, bagaimana orang yang sudah sejak muda mempunyai passion sebagai penjual cilok harus berhenti berjualan, dan harus berganti passion di tengah mewabahnya Covid-19.
***
Pak Herman merupakan salah satu contoh, orang yang harus tergerus oleh virus Corona, bukan ter-disrupsi oleh majunya teknologi, tetapi tersingkirkan oleh ganasnya Corona yang semakin hari semakin membuat orang tidak berani keluar rumah, jajan sembarangan, dan berhadap-hadapan dengan penjual cilok dalam jarak yang dekat. “O iya Pak Bas, katanya anak-anak libur sekolah sampai Januari 2021 ya, terus saya makan apa Pak Bas. Bantu aku si Pak Bas, cari pekerjaan lain yang bisa untuk menutup kebutuhan hingga Januari 2021,” pintanya.
Belum sempat aku menjawab, WA ku menyala karena orang rumah sudah memanggil harus pulang, tidak boleh terlalu lama ke ATM, karena tadi aku pamitnya ke ATM, selain pamit cara itu tidak boleh kemana-mana. Padahal, kalau WA ku tadi tidak berbunyi, aku pun belum tahu, pekerjaan apa yang bisa menjadi Passion Pak Herman selain berjualan Cilok? Semoga saja, Passion Pak Herman segera bergairah kembali seiring dengan meredupnya virus Corona di Indonesia. Semoga. Aamiin.