Al-Qur’an adalah Kitab Istimewa
Menghafal Al-Qur’an – Al-Qur’an merupakan kitab istimewa yang sangat luar biasa. Sebagai kitab yang diturunkan dalam bahasa Arab, yang dianggap sebagai bahasa paling kompleks di dunia, ia memiliki keistimewaan dalam segi bahasanya.
Baik itu Nahwu-nya, Sharaf-nya hingga Balaghah-nya. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengatakan dalam kitabnya, Fath al-Bari bahwa Al-Qur’an itu jawami’ al-kalim. Ini didasarkan pada hadis Rasulullah:
بُعِثْتُ بِجَوَامِعِ الْكَلِمِ…
Aku diutus dengan membawa Jawami’ al-Kalim…(HR. Bukhari 2977).
Sehingga, makna yang paling dekat dengan jawami’ al-kalim di sini adalah Al-Qur’an.
Beberapa ulama berpendapat, di antaranya Az-Zuhri bahwa jawami’ al-kalim adalah bahwa Nabi ﷺ berbicara dengan kalimat yang ringkas, lafaznya pendek, namun banyak makna. Dan ini (kemampuan jawami’ al-kalim) adalah salah satu keistimewaan Nabi Muhammad ﷺ.
Meski ada perbedaan pendapat, baik Al-Qur’an maupun hadis Nabi memang hampir sama-sama bersifat jawami’ al-kalim sehingga memudahkan untuk dibaca dan dihafal.
Maka, tidak mengherankan jika sejak zaman Rasulullah hidup hingga saat ini, banyak bertebaran para penghafal Al-Qur’an dan hadis Nabi di seluruh dunia.
Menghafal Al-Qur’an dan Penjagaan Kalamullah
Oleh karena sifat kalimat-kalimatnya yang jawami’ tersebut, Al-Qur’an lebih mudah untuk dihafal oleh semua kalangan usia. Ayat-ayatnya yang ringkas dan padat tidak menjadikan para penghafalnya merasa bosan. Bahkan justru semakin menumbuhkan rasa cinta untuk kembali membacanya. Inilah keistimewaan Al-Qur’an.
Kita tidak asing dengan anak kecil Indonesia yang mampu menghafal Al-Qur’an dengan fasih di usia 5 tahun bernama Musa. Bahkan dilansir dari Jawa Pos, ada seorang nenek berusia 80 tahun bernama Siti Aisah yang mengkhatamkan hafalan Al-Qur’an. Semakin menegaskan bahwa Al-Qur’an memang mudah untuk dihafal, tergantung seberapa besar kemauan dan kesungguhan setiap insan yang menempuhnya.
Menghafal Al-Qur’an memang mulia, sangat mulia. Karena itu merupakan kontribusi untuk turut serta menjaga kalamullah. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Hijr ayat 7:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan peringatan (Al-Qur’an) dan sungguh Kami yang akan menjaganya”.
Kata “Innaa” yang bermakna Kami, dijelaskan oleh As-Sa’di dalam tafsirnya bahwa Allah menjaga Al-Qur’an ketika diturunkan kepada Rasul-Nya dari setan-setan yang kerap mencuri dengar (berita langit).
Setelah diturunkan, Al-Qur’an dititipkan dalam dada Rasulullah kemudian dalam dada (penghafal Al-Qur’an) umatnya. Allah menjaga Al-Qur’an dari segala bentuk perubahan, penambahan, maupun pengurangan lafaznya.
Dengan hal ini, Al-Qur’an senantiasa terjaga dari pemalsuan dan perubahan hingga hari yang Allah tentukan.
Menghafal Al-Qur’an dan Fenomena Masa Kini
Untuk menghafal Al-Qur’an, maka perlu kemampuan membacanya terlebih dahulu. Al-Qur’an memiliki kaidah tahsin dan tajwid (pengertian keduanya sering disamakan dengan “memperbagus, memperbaiki, memperindah bacaan”) dalam membacanya, sehingga setiap muslim lazim untuk mempelajarinya dengan benar sebelum menghafalkannya.
Saat ini, banyak sekali komunitas-komunitas yang didirikan untuk memfasilitasi umat dalam proses menghafal Al-Qur’an. Bahkan tak sedikit orang-orang, terutama anak muda yang menghafal secara mandiri.
Fenomena ini memang cukup bagus karena meninggikan ghirah membaca dan menghafal Al-Qur’an. Akan tetapi, disisi lain, meredupkan tradisi talaqqi (belajar tatap muka) kepada guru atau masyayikh yang kompeten.
Hasilnya? Cukup banyak remaja yang terlalu terobsesi mengejar hafalan Al-Qur’an sehingga mengesampingkan kaidah tajwid dan tahsinnya.
Meski terdapat perbedaan pendapat tentang wajib atau tidaknya belajar tajwid, itu hanyalah istilah untuk menekankan pentingnya membaca Al-Qur’an sesuai dengan huruf-huruf dan kalimatnya itu sendiri.
Sesuai dengan pelafalan makharij al-huruf yang benar, sehingga tidak merubah makna dan kandungan ayat itu sendiri. Kita tahu bahwa jikalau salah baca huruf ض dalam kata والضحى sehingga dibaca seperti bunyi د, maka akan merubah maksud dan artinya. Hal ini jelas dilarang karena merusak keutuhan Al-Qur’an.
Muhammad Al-Jazari dalam kitabnya al-Jazariyyah mengatakan:
وَالأَخْذُ بِالتَّجْوِيْدِ حَتْمٌ لَازِمُ # مَنْ لَمْ يُجَوِّدِ القُرْآنَ آثِمُ
Adapun membaca Al-Qur’an dengan tajwid itu perlu (mutlak) #
Barangsiapa yang tidak membaca Al-Qur’an dengan baik maka ia berdosa #
***
Beliau menyatakan bahwa orang yang tidak membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar akan mendapatkan dosa. Dosa karena menyalahi aturan membaca Al-Qur’an. Ini perlu diperhatikan oleh setiap muslim.
Zaman sekarang, banyak anak muda yang tampil ke muka dengan irama-irama (naghamat) bacaan Al-Qur’an yang beragam, baik itu Bayati Kurdi, Sikah, Jiharkah, Hejaz, dan lain-lain.
Mendayu-dayu, menarik setiap orang yang mendengarnya hingga berdecak kagum. Bertebaran video-video di feed Instagram, Youtube, dan media sosial lainnya. Memang baik, dapat menarik orang yang melihatnya untuk mendengarkan bacaan Al-Qur’an dan menikmatinya.
Terkadang saya juga menelusuri video-video tersebut. Bagus. Namun yang memprihatinkan, justru ada saja (atau mungkin banyak) yang masih kurang fasih dalam pelafalan makharij al-huruf meski iramanya bagus. Saya tidak tertarik, bahkan justru merasa khawatir. Kenapa?
Karena mungkin saja banyak orang awam yang terpengaruh dengan bacaannya yang belum benar dan dijadikan rujukan pribadi. Kalau sudah begini, akan menjadi al-khatha asy-syaai’ (common mistake) dan cukup berbahaya.
Berdasarkan pengalaman pribadi ketika ber-talaqqi pada seorang Hafidz & Qori Qiroat ‘Asyroh asal Yaman, Syaikh Anwar Al-‘Azzany di mana saat itu ada seleksi peserta halaqoh tahfidz.
Saya teringat akan seorang senior yang memiliki suara bagus, bahkan hampir diketahui se-pesantren kala itu. Saya berfirasat dia akan lolos dengan mudah. Namun faktanya, ia harus berkali-kali melakukan tes karena banyak pelafalan makharij al-huruf yang kurang tepat di mata syaikh. Padahal tes-nya hanya membaca Al-Fatihah.
Di beberapa kesempatan belajar, Syaikh Anwar menekankan akan pentingnya membaca Al-Qur’an dengan tahsin dan tahqiq (pelafalan huruf sesuai haknya; keduanya terkadang bermakna sama).
Irama memang memperindah, namun tahqiq paling utama karena ialah yang menjadi dasar cara baca Al-Qur’an. Sesuai apa yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya.
Ketika Membaca Al-Qur’an, Utamakan Tahsin dan Tahqiq, Bukan Irama!
Dalam kehidupan manusia, sedikitnya memiliki 3 kebutuhan: primer, sekunder dan tersier. Semuanya dibutuhkan secara runtut, dimulai dari kebutuhan primer.
Tidak mungkin kebutuhan sekunder didahulukan daripada kebutuhan primer. Sungguh aneh orang yang memiliki mobil namun tidak memiliki rumah dan pakaian.
Bahwa tahsin dan tahqiq Al-Qur’an ibarat kebutuhan primer. Irama membaca Al-Qur’an (naghamat) seperti kebutuhan sekunder. Dan metode baca yang beragam (qiroat) itu menjadi kebutuhan tersier. Seorang penghafal Al-Qur’an (atau siapapun yang membaca Al-Qur’an) semestinya memperhatikan hal ini.
Dalam tulisan ini, saya berpesan kepada sesama, sekaligus menjadi peringatan diri pribadi. Jangan pernah sekali-kali karena ingin didengar atau diperhatikan oleh orang lain sehingga mendahulukan nagham Al-Qur’an daripada tahsin Al-Qur’an.
Ibarat lilin, orang lain mendapat pahala mendengar bacaan Al-Qur’an namun sang pembaca justru berdosa karena tidak memperhatikan cara baca yang benar.
Dan akan lebih utama lagi bila memahami kandungan ayat-ayat Al-Qur’an serta mengamalkannya. Wallahu A’lam.