Beberapa waktu lalu, saya membaca artikel menarik tentang Musa, anak 7 tahun dari, dari Indonesia yang berhasil meraih juara 3 lomba menghafal Al-Qur’an di Mesir. Berita serupa sudah berkali-kali muncul di media, menunjukkan betapa berbakatnya anak-anak Indonesia dalam hal hafalan.
Saya selalu terkagum-kagum dengan kemampuan anak-anak Indonesia dalam menghafal kitab suci ini. Kagum bercampur malu sih, karena di usia kepala empat, hafalan saya masih saja setengah juz amma. Pernah sih, dulu, bisa hafal juz 30, tapi sudah menguap karena jarang diulang.
Anak Indonesia itu hebat-hebat lho! Bisa menghafal teks Arab yang mereka bahkan tidak tahu artinya, dalam usia sangat muda. Kemudahan untuk dipelajari atau dihafal memang merupakan salah satu keajaiban Al-Qur’an.
Menjadi Hafizul Qur’an Sebagai Cita-Cita
Beberapa tahun terakhir, menjadi hafiz atau penghafal Al-Qur’an menjadi salah satu cita-cita populer orang tua terhadap anaknya. Begitu banyak sekolah penghafal Al-Qur’an yang dibuka.
Biarpun hafalan si ortu sendiri masih cetek, mereka tetap punya semangat tinggi untuk mengarahkan bahkan memaksakan anaknya masuk ke sekolah tahfiz. Ada rasa kebanggaan ketika menjadi orang tua seorang hafiz. Begitu banyak keberkahan yang didapatkan oleh penghafal Al-Qur’an, seperti bisa mengangkat kehormatan kedua orang tuanya.
Menghafal Al-Qur’an Tanpa Tahu Artinya
Tentunya, kegiatan hifzil Qur’an ini sangat positif. Akan tetapi yang menarik untuk dicermati adalah kebanyakan hafiz itu menghafal saja tanpa mengerti artinya.
Ini belum pernah terjadi di zaman Rasululllah. Di mana saat itu, Islam belum menyebar ke negara-negara tidak berbahasa Arab.
Tentunya, banyak penghafal Al-Qur’an di saat itu, tapi karena itu adalah bahasa mereka sendiri, jadi tidak ada masalah. Tapi setelah Islam menyebar ke seluruh penjuru dunia, ribuan hafiz tak mengerti arti bermunculan di mana-mana. Sepertinya Al-Qur’an memegang rekor sebagai buku terbanyak yang dihafal di seluruh dunia tanpa dimengerti artinya.
Pada umumnya, proses pembelajaran dimulai dari kegiatan membaca, mengerti, menghafal, dan terakhir mengamalkan atau mengajarkan. Dalam konteks penghapalan Al-Qur’an di negara bukan berbahasa Arab, yang berjalan hanya dua yaitu membaca dan menghafal.
Al-Qur’an memang adalah mukjizat yang diturunkan ke Nabi Muhammad. Salah satu keajaibannya adalah mudah dihapal tanpa dimengerti. Tapi itu tidak lantas membuat kita melupakan maknanya.
Ada sebuah hadis yang berbunyi “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya”. (HR. Bukhori).
Menghafal Tanpa Tahu Artinya, Tak Termasuk Mempelajari Al-Qur’an!
Menurut saya, menghafal tanpa mengerti artinya, tidaklah termasuk dalam hal mempelajari Al-Qur’an. Seperti halnya seorang anak balita yang bisa menghafal kalau 1+1 =2, tanpa mengerti konsepnya kenapa bisa seperti itu. Mempelajari adalah mengerti isinya dan bisa menganalisis logikanya.
Memahami kata per kata Al-Qur’an adalah langkah awal untuk mengerti isinya. Memang sih ini bukan level tertinggi dari mempelajari kitab suci yaitu penafsiran.
Setidaknya, ada dua cara yang bisa ditempuh untuk memahami kata per kata. Yang pertama adalah membaca langsung di mushafnya. Yang kedua adalah memahami bahasa Arab secara langsung.
Tentunya yang kedua inilah yang tepat bagi seorang hafiz karena yang diharapkan dari seorang hafiz adalah penghafalan, bukan selalu “menyontek” ke mushaf.
Program hifzul Qur’an yang marak di mana-mana sudah sangat baik. Tapi alangkah baiknya juga didukung oleh program pemahaman bahasa Arab yang saat ini cenderung diabaikan.
Bagi sekolah hafiz, buatlah program pembelajaran bahasa Arab yang intensif seperti halnya kursus bahasa Inggris. Menurut saya, justru memahami bahasa Arab harusnya lebih diutamakan daripada menghafal itu sendiri.
Belajar Bahasa Arab Sebelum Menghafalkan
Kalau ada yang beralasan Bahasa Arab itu susah, ya, lebih susah mana sih, daripada menghafal ratusan halaman Al-Qur’an tanpa tahu artinya? Saya rasa menghafal kosakata bahasa Arab dan tata bahasanya jauh lebih mudah. Bisalah diatur.
Misalnya, dua tahun pertama di sekolah tahfiz, diintensifkan pelajaran bahasa Arab disertai penghafalan secukupnya. Baru setelah itu, diintensifkan penghafalan Al-Qur’annya.
Mungkin juga perlu diatur, ayat-ayat mana yang memang harus diprioritaskan untuk dihafal oleh anak-anak karena tidak semua isi Al-Qur’an bisa dipahami oleh anak walaupun kata per katanya dimengerti, seperti konsep warisan, dan masalah rumah tangga. Itu adalah ranahnya orang dewasa.
Menghafal dengan mengerti bahasa Arab akan lebih memudahkan anak-anak. Hafalannya bisa lebih cepat dan bertahan lebih lama di memori, karena mereka bisa mengasosiasikan kalimat Al-Qur’an dengan benda-benda serta logika.
Banyak orang tua yang beranggapan bahwa hapalan Al-Qur’an sudah pasti akan membuat anak menjadi saleh. Tapi kenyataannya tidak seperti itu. Ada remaja tetangga saya yang juga hafiz, berulang kali masuk penjara karena kenakalannya.
Bisa jadi karena dia cuma sekedar hafal saja tanpa memahami. Kita saja yang bisa memahami aturan lalu lintas dalam bahasa Indonesia kadang-kadang melanggar, apalagi kalau tidak paham kan?
Editor: Yahya FR