Otak potensi terbesar dan paling berharga yang dimiliki manusia, dialah yang menjadi alasan dipilihnya manusia sebagai khalifah di muka bumi. Organ penting yg beratnya tidak lebih dari 0,5 kg ini jugalah yang menjadikan manusia lebih dari sekedar “Hayawaanun Naatiq” (hewan yang berbicara).
Sebab manusia pada kenyataannya tidak hanya mampu berbicara saja, tetapi mampu merasakan, menikmati keindahan, mengorganisasi, menganalisa, merekayasa, dan sebagainya.
Manusia tidak sekedar memenuhi kebutuhan “perut” tetapi juga demi kehormatan, harga diri, dan kesenangannya.
Otak yang di dalamnya memuat trilyunan sel yang saling berkait, tersusun sangat rumit dan sangat komplek. Ia terdiri atas pusat sel dan memiliki banyak cabang, setiap cabangnya memiliki koneksi, saling bertaut bertukar informasi.
Bagaikan gugusan galaksi alam semesta yang saling terhubung dan membentuk gumpalan-gumpalan di dalam otak, sungguh jaringan antar sel yang amat mempesona dan menakjubkan.
Kecerdasan ialah Sesuatu yang Tidak Parsial
Memfollow-up sebuah tulisan bertema kecerdasan yang saya garis bawahi dari tulisan tersebut adalah bahwa kecerdasan tidak lagi sesuatu yang parsial, seperti yang kita kenal ada tiga kecerdasan, IQ, EQ, dan SQ.
Namun sebenarnya kecerdasan itu sifatnya holistik dari kesadaran dalam diri manusia. Namun, karena sudah kadung populer, bahwa kecerdasan itu ter-multikotomi.
Hal ini juga dipengaruhi oleh definisi-definisi dan istilah dari perangkat kecerdasan versus barat seperti; brain, seoul, spirit, mind, Intelect, heart, emotion, yang serasa overlap di antara istilah itu sendiri.
Munculnya istilah IQ (Intelectual Quotient), EQ (Emosional Quotient), dan SQ (Spiritual Quotient) tentu saja melalui berbagai penelitian. Dalam berbagai penelitiannya para pemikir barat telah membuktikan betapa ajaibnya pikiran tersebut, dari mulai IQ, EQ, dan SQ muncul turunannya berupa kecerdasan linguistik, matematik, visual-spasial, kecerdasan musikal, naturalis, kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intra personal.
Menggunakan logika rasional, seseorang dapat berpikir kritis-analitik sehingga menemukan solusi dari suatu masalah. Logika intuitif, seseorang akan matang mengelola emosi, hingga menimbulkan kesadaran diri dan motivasi untuk berempati pada sesama. Logika spiritual, ia akan selalu berusaha menjadi figur ideal yang mempesona. Senantiasa pula mencari makna hidup dengan komitmen yang kuat serta selalu mencari kebahagiaan sambil menebar kasih sayang pada orang lain.
Namun sayang, kita kerap keliru dalam mempersepsi dan menggunakan tiga logika kecerdasan tadi. Tak jarang suatu peristiwa yang mestinya kita tangkap dengan logika emotional justru kita bedah dengan logika rasional. Begitu pula dengan peristiwa yang spiritual, juga tak jarang kita kelola dengan logika emotional.
Persinggungan Kecerdasan Barat dan Intuitif Timur
Persinggungan antara “kecerdasan Barat dan intuitif Timur” nampaknya mulai muncul saat Danah Zohar dan Ian Marshal, pasangan psikolog dan fisikawan dengan SQ-nya, setelah ditemukannya “God Spot” atau titik Tuhan dalam struktur otak manusia.
Hal tersebut membuktikan bahwa otak manusia dengan sendirinya mengakui adanya “Tuhan” dengan kata lain ada sebuah kesadaran dan pengakuan akan “Ada yang lebih kuasa dari manusia”.
Guna menghubungkan sains barat yang “rasional” dan ilmu-ilmu timur yang “intuitif”, kini terbentang sebuah jembatan sebagai jalan untuk mempertemukan “otak barat” dan “intuisi timur”.
Selama ini kecerdasan peradaban barat selalu dimotori kebenaran tunggal otak. Orang-orang barat sejak Renaisan di Perancis, berbondong-bondong menuju kedaulatan dan kebebasan dalam berpengetahuan. Mengeksplor berbagai percobaan-percobaan dan melakukan banyak sekali penelitian.
Mereka kembali pada kebebasan berpikir sebagaimana masa Yunani. Menghasilkan penemuan-penemuan teknologi yang menjadi moyang teknologi yang sekarang kita nikmati, yakni lokomotif, telepon dan mobil.
Kemajuan dunia barat belum berhenti. Mereka sampai sekarang masih bersemangat dalam mengembangkan sains dan teknologi.
Timur Menonjolkan Intuisi
Sementara peradaban timur lebih digerakkan oleh “kebenaran tunggal hati”, sehingga penemuan-penemuan peradaban timur berpangkal pada kecerdasan hati.
Kita dapat merasakan peradaban timur tak sekedar berkutat pada tata negara, teknologi dan pengetahuan semata. Ada sentuhan intuitif di sana. Jarang kita menemui orang-orang timur yang sekuler.
Dalam berpengetahuan dan penemuan di bidang sains dan teknologi, peradaban dan orang-orang timur masih erat memegang tradisi. Mereka masih menghormati cara pandang leluhur mereka bahkan menerapkannya sebagai prinsip-prinsip utama dalam menjalani kehidupan.
Lalu apakah yang dapat menghubungkan antara kecerdasan ala “barat” dan kecerdasan ala “timur “? Jawabannya adalah dengan akal.
Sebab, kinerja pikiran yang digerakkan oleh energi akal, akan berproses menuju pencerahan ruhaniyah, sebuah hati nurani yang berke-ilahian. Inilah model kecerdasan yang kita idamkan.
Kombinasi keduanya tentu menghasilkan sebuah model kecerdasan yang sangat dibutuhkan oleh peradaban di masa yang akan datang. Jauh ke depan, sebuah masa dengan kecanggihan paling klimaks .
Di mana masa depan itu membutuhkan keotentikan makhluk bernama manusia, yang harus mempertahankan eksistensinya di antara kecerdasan-kecerdasan buatan yang pelan-pelan menggesernya.
Sebuah kecerdasan akal dan bertaut dengan kecerdasan hati, yaitu berpikir Rasional – Ilmiah, mengerti kebenaran dan berpengetahuan ilahiyah, faham kearifan, bersifat universal, otentik juga abadi.
Dengan harmoni kecerdasan otak barat dan intuisi timur ini pula, maka kita akan memasuki sebuah era kecerdasan baru, yaitu “Kerendahan hati dari kecerdasan Intelegensi yang tinggi.“
Editor: Wulan