Perspektif

Mengkritisi Pernyataan “Agama adalah Musuh Pancasila”

3 Mins read

Oleh: Afif Ziaulhaq*

Beberapa waktu lalu, Kepala Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) yang baru Prof. Yudian Wahyudi mengeluarkan pernyataan kontroversial. Pernyataan tersebut ia keluarkan pada saat wawancara dengan media detik.com. Wawancara itu pun kemudian diunggah dalam bentuk video dengan durasi 39 menit. Dalam wawancaranya Yudian mengatakan dengan jelas bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama.

Sontak pernyataan ini pun mengundang gelombang kemarahan dan protes dari masyarakat; mulai dari tokoh masyarakat, organisasi masyarakat (ormas), sampai belakangan partai politik pun ikut memprotes pernyataan tersebut. Pernyataan ini bertambah panas mengingat posisi Yudian yang terhitung masih baru sebagai kepala BPIP dan latar belakang beliau sebagai rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga.

Meski begitu pernyataan Yudian yang kontroversial tidak hanya mengenai agama sebagai musuh Pancasila saja, terdapat hal-hal lain yang penulis anggap patut disebut kontroversial juga. Untuk itu disini penulis hendak membahas beberapa pernyataan kepala BPIP dalam wawancaranya dengan detik.com.

Agama Musuh Pancasila?

Secara lengkap pernyataan Yudian mengenai agama sebagai musuh terbesar Pancasila berbunyi; “kalau kita mau jujur, musuh terbesar Pancasila itu, ya, agama”. Kalau pernyataan ini dipahami secara literal, maka sudah jelas dengan maksud dari pernyataan kepala BPIP ini, agama adalah musuh terbesar Pancasila.

Apabila oleh kalangan BPIP agama dianggap sebagai musuh terbesar Pancasila, maka konsekuensinya, eksistensi agama terancam oleh Pancasila. Begitu pula sebaliknya, eksistensi Pancasila pun terancam oleh agama. Dengan demikian akan terjadi perang besar perebutan posisi konstitusional di Indonesia, mengingat mayoritas masyarakat di Indonesia yang beragama.

Namun Penafsiran terhadap Pancasila ini sangat naif. Kalau memang agama musuh terbesar Pancasila, maka pertanyaan-pertanyaan kritis akan segera bermunculan di benak masyarakat seperti, ‘Kalau memang keduanya bermusuhan, mengapa Pancasila atau agama masih eksis di Indonesia?’ atau ‘Mengapa masih ada orang-orang beragama sekaligus berpancasila di Indonesia? dan yang terpenting, kenapa baru sekarang agama dianggap sebagai musuh terbesar Pancasila?

Dengan beberapa pertanyaan di atas, jelas tidak dapat dianggap bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama. Kalaupun pada akhirnya agama dianggap sebagai musuh Pancasila (walaupun yang berbicara adalah orang beragama), maka seseorang tidak dapat beragama sekaligus berpancasila, dan tidak dapat berpancasila sekaligus beragama.

Baca Juga  Antara Lagu yang Viral dan Sosok Sayyidah ‘Aisyah (1)

Apalagi ditambah dengan realita sejarah yang tak terbantahkan, bahwa Pancasila lahir dari pemikiran orang-orang beragama, bahwa Pancasila merupakan konsensus antara orang-orang beragama, dan bahwa Pancasila lahir karena pertimbangan banyaknya orang beragama di Indonesia. Dengan kata lain, Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan agama.

Sehingga, pernyataan bahwa agama merupakan musuh terbesar Pancasila adalah manipulasi  penafsiran oleh BPIP semata. Kalau memang begitu yang dimaksud BPIP, maka tidak heran jika nanti muncul suara-suara yang menuntut pembubaran BPIP.

Musuh Pancasila

Tetapi pernyataan kepala BPIP tidak dapat dipahami secara literal saja. Memang pernyataan tersebut dengan jelas berbunyi musuh terbesar Pancasila adalah agama. Namun menurut penulis, yang dimaksud dengan musuh terbesar Pancasila adalah agama bukanlah benar-benar agama sebagai musuh, melainkan ‘oknum-oknum agama sebagai musuh’.

Mengapa demikian? Karena pernyataan kepala BPIP tersebut juga disertai pernyataan-pernyataan seperti ‘Pancasila itu religius’, ‘Pancasila selaras dengan agama-agama di Indonesia’, dan berbagai pernyataan yang esensinya serupa. Terlebih, pernyataan bahwa agama merupakan musuh terbesar Pancasila tersebut didahului dengan pernyataan beliau, bahwa kelompok mayoritas Islam ada pada Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Di luar itu ialah kelompok minoritas Islam yang selalu mengatasnamakan mayoritas.

Yudian lalu mengambil contoh soal Ijtima’ Ulama, dimana dalam Ijtima’ tersebut tidak ada yang secara resmi mewakili NU, Muhammadiyah, dan MUI. Ijtima’ tersebut hanya berisi ulama-ulama yang berasal dari kelompok minoritas, namun dalam pernyataannya seolah-olah mewakili umat Islam secara keseluruhan. Inilah yang dimaksud agama sebagai musuh Pancasila oleh kepala BPIP tersebut.

Namun pernyataan tersebut juga patut dikritisi, pertama, seorang ulama tidak harus berlatar belakang NU, Muhammadiyah, ataupun MUI. Kedua, BPIP tidak bisa mengambil kesimpulan secara tergesa-gesa bahwa oknum agama merupakan musuh terbesar Pancasila.

Baca Juga  Ta’awun untuk Negeri: Perspektif Kebahasaan dan Peradaban

Penulis tidak setuju jika kemudian dikatakan bahwa ‘oknum agama merupakan musuh terbesar Pancasila’, itu pandangan yang sangat sempit. Musuh terbesar Pancasila jelas lebih dari itu. Termasuk di antaranya kelompok yang menganut ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, para pelaku korupsi, pelaku penindasan, dan orang-orang yang mengaku  merasa paling Pancasilais, tetapi dalam perbuatan terang-terangan bertentangan dengan Pancasila.

Orang-orang seperti inilah yang menafsirkan dan mengklaim Pancasila secara sepihak serta menjadikan Pancasila sebagai dalih dari kejahatan-kejahatannya. Kiranya itulah yang tepat disebut dengan ‘musuh terbesar Pancasila’.

Asas Tunggal Pancasila

Yudian kemudian menyebut, bahwa kelompok milenial sekarang telah terputus dari Pancasila. Hal ini dikarenakan tidak berlakunya lagi asas tunggal Pancasila, sehingga organisasi-organisasi politik dapat menggunakan asas lain. Islam misalnya.

Menurutnya, penghapusan asas tunggal merupakan bagian dari pembalasan kaum reformis, yang rata-rata merupakan kaum agamawan, terhadap orde baru (orba) dan merupakan pembunuhan administratif terhadap Pancasila.

Pernyataan ini jelas harus dikritisi, karena bagaimanapun juga asas tunggal merupakan bagian dari penyimpangan terhadap Pancasila yang dilakukan rezim otoriter Soeharto (walaupun beliau mengakui terdapat penyimpangan dalam praktek asas tunggal). Namun dalam negara demokrasi, tidak sepatutnya ideologi dan pemikiran seseorang diatur oleh negara. Lebih-lebih lagi lewat organisasi yang merupakan bagian dari kebebasan berdemokrasi.

Intisari dari Pancasila adalah Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan ini jangan hanya diartikan perbedaan dalam beridentitas, tetapi juga diartikan perbedaan dalam pemikiran, asalkan tidak berusaha merusak Pancasila. Sehingga kalau kemudian Pancasila dijadikan asas tunggal, maka kebhinnekaan yang merupakan intisari dari Pancasila sudah hilang, karena semuanya harus Pancasila.

Melarang idelogi dan pemikiran yang bertentangan dengan Pancasila boleh-boleh saja, asalkan definisi ‘bertentangan’ tidak diartikan secara sepihak. Definisi bertentangan harus diarikan secara objektif. Jangan hanya karena berbeda paham, ideologi, atau pemikiran dengan Pancasila lantas dianggap bertentangan. Berbeda itu tidak selalu bertentangan, apalagi dipertentangkan. Justru itu merupakan bagian dari kebhinnekaan.

Baca Juga  Covid-19, Tawakal dan Sikap Keras Kepala

*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Jawa Tengah

Editor: Nabhan

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds