Nama lengkap Mochamad Sholeh Yohan Arifin Ichrom, nama panggilan Prof. Sholeh, lahir di Pemalang 1952 dan wafat di Solo 2008. Merampungkan S3 (Ph.D) di Ohio University, Amerika Serikat, dengan spesialisasi kajian major gifted dan minor professional teaching. Pada tahun 2002 dikukuhkan sebagai guru besar Ilmu Pendidikan di FKIP Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, naskah pidato pengukuhan berjudul “Ilmu Pendidikan dalam perspektif Al-Qur’an, sumbangan penafsiran untuk umat Islam”.
Tema yang diangkat dalam pidato pengukuhan tersebut, merupakan kristalisasi kegelisahannya dan terus menjadi agenda utama hingga wafat. Di luar aktivitas pokok menjadi dosen UNS, beliau selama lebih dari satu dekade terlibat aktif dalam usaha peningkatan mutu sekolah Islam yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah maupun perserikatan Al-Islam di Solo. Keahlian dalam pengembangan model pembelajaran dan pelatihan guru profesional, jelas sangat dibutuhkan oleh sekolah Islam dalam mendongkrak mutu guru dan kualitas pembelajaran.
Sejak tahun 2003 intensitas pertemuan saya (menjadi kepala SD Muhammadiyah Program Khsusus Kottabarat Solo) dengan beliau (menjadi konsultan ahli) sangat intensif dan berlangsung akrab. Bukan hanya disatukan oleh projek besar “mewujudkan gagasan ilmu pendidikan berwawasan Al-Quran”, yang sering beliau sebut sebagai “Pendidikan Semesta”, tetapi juga disatukan oleh kesamaan etnis, sama-sama berbahasa ngapak Banyumasan. Ora ngapak, ora penak.
***
Esai ringkas ini berupaya menemukan kunci-kunci pendidikan semesta, sehingga terlihat jelas bagaimana bagan konseptual, dan agenda kerja utama yang perlu dilakukan untuk mewujudkan gagasan itu dalam kehidupan. Naskah pengukuhan guru besar beliau merupakan rujukan utama telaah ini.
Secara konseptual dan empirik-operasional, melalui pergumulan intensif Prof. Sholeh bersama guru-guru SD Muhammadiyah PK Kottabarat (sekarang berkembang menjadi Perguruan Muhammadiyah Kottabarat-TK, SD, SMP, dan SMA), gagasan pendidikan semesta telah melahirkan dua produk intelektual, yaitu “Kurikulum Syariah” dan “Buku Sains Syariah” yang telah dipatenkan.
Pembicaraan tentang dua produk intelektual yang telah memperoleh Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dan diterapkan di Perguruan Muhammadiyah Kottabarat tentu sangat menantang. Tetapi, untuk menjaga tetap fokus pada pendidikan semesta, maka kedua tema tersebut akan dibicarakan pada kesempatan lain. Sebelum masuk pada initi bahasan, perlu disinggungg konteks masalah yang melatari-belakangi munculnya gagasan pendidikan semesta, yaitu adanya kepincangan dunia pendidikan.
Pendidikan Pincang
Realitas sosial pendidikan yang berlangsung di dunia saat ini, menurut pencandraan Prof. Sholeh, berjalan pincang. Di satu sisi, praktik pendidikan di dunia Barat (Eropa-Amerika) mengalami kemajuan dalam usaha mengeksplorasi alam semesta, sehingga apa yang ada di permukaan, di dalam perut bumi, dan seisi alam semesta mampu dieksplorasi sedemikian rupa dengan ilmu dan teknologi yang dimiliki. Di sisi yang lain, dunia Timur-Islam, secara umum sangat ketinggalan dalam perlombaan eksplorasi alam semesta, sehingga untuk mengeksplorasi kekayaan alam Tanah Air-nya sendiri harus minta bantuan dunia Barat.
Namun demikian, kecanggihan mengeksplorasi alam semesta yang dimiliki dunia Barat dijalankan dengan ideologi sekularisme-materialisme yang mengorbankan potensi fitrah manusia yang esensial, yaitu kesaksian Tuhan, atau fitrah tauhid. Ringkasnya, mereka pincang karena hanya fokus pada pembacaan dan eksporasi alam semesta (baca: ayat-ayat kauniyah) dan mengabaikan ayat-ayau kauliyah (Al-Qur’an). Kepincangan ini membawa bencana dan kerusakan lingkungan alam maupun habitatnya karena hanya dibimbing oleh hawa nafsunya, kesarakahan. Mencuri kata-kata Eric Fromm, mereka berorientasi pada karakter memiliki, bukan menjadi.
Di sisi lain, sampai detik ini dunia Islam (Timur) masih berpegang teguh pada Al-Qur’an dan membacanya, tetapi sangat lemah dalam pembacaan dan ekspolarasi alam semesta. Pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an (ayat-ayat kauliyah) bukan dipandang sebagai gerbang awal untuk melangkah menuju eksplorasi alam semesta (ayat kauniyah). Dengan kata lain, umat Islam membiarkan alam semesta dieksplorasi oleh mereka yang tidak membaca Al-Qur’an dan berorientasi pada karakter keserakahan.
Berawal dari kepincangan penguasaan ilmu dan teknologi, kemudian merembet pada kepincangan dunia pendidikan, dan pada akhirnya muara pada kehidupan yang pincang. Realitas sosial dunia pendidikan yang pincang inilah yang menggelisahkan, melatari, dan mendorong Prof. Sholeh melontarkan gagasan ilmu pendidikan berwawasan Al-Qur’an, atau Pendidikan Semesta.
Bagan Konseptual
Bertitik tolak dari telaah empirik-historis atas kegemilangan peradaban Islam, dengan meminjam teropong Marshall G.S. Hodgon dengan The venture of Islam, dan pembacaan Al-Qur’an yang merujuk pada Tafsir Ibnu Katsir dan M. Qurais Shihab, Prof. Sholeh mengajukan rumusan baru pendidikan, yaitu konsepsi Pendidikan Semesta.
Pendidikan (tarbiyah) semesta merupakan sebagai proses aktualisasi bakat tauhid melalui pemahaman dan eksplorasi ayat-ayat kauliyah (Al-Qur’an) sekaligus ayat-ayat kauniyah (alam semesta-kosmos) dengan penajaman sesuai dengan disiplin ilmu yang dikaji dalam rangka melahirkan generasi ulul albab.
Dari rumusan konseptual di atas, dapat diketahui bahwa visi pendidikan semesta adalah untuk optimalisasi “bakat” (dalam perkembangan kemudian, Prof. Sholeh lebih sering memakai istilah fitrah) tauhid. Visi ini dibangun atas dasar konsepsinya tentang manusia yang unik.
Manusia merupakan ciptaan Allah paripurna, yang ditiupkan fitrah tauhid ketika di alam kandungan dan ketika lahir ke alam dunia dibekali dengan potensi akal yang memungkinkannya membangun konsep-konsep keilmuan. Fitrah tauhid dan akal inilah yang menjadi bekal manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi.
***
Namun demikian tidak semua potensi fitrah tauhid, maupun akal manusia dapat tumbuh-kembang secara optimal. Lingkungan keluarga, keadaan masyarakat, maupun potensi anak, saling pengaruh-mempengaruhi sedemikian rupa dalam membentuk kepribadian.
Tujuan ideal pendidikan semesta adalah untuk meretas generasi ulul albab. Yaitu manusia yang sepanjang hidupnya senantiasa berusaha membawa dirinya dalam konstelasi zikir-tafakur-doa yang berhulu dan bermuara dari dan kepada Allah SWT.
Manusia berderajat ulul albab inilah yang niscaya mampu menjalani tugas sebagai hamba Allah (abdullah) sekaligus wakil-Nya di bumi (khalifatullah fil ardhl) yang mengeksplorasi alam semesta sebagai tangga mendekatkan diri pada Allah, sehingga tidak akan merusak ciptaan-Nya, tetapi malah menjaga keberlangsungan alam semesta.
Merumuskan, membangun bagan konseptual, dan menerapkan pendidikan semesta merupakan agenda jangka panjang umat Islam yang harus dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan. Meski berjangka panjang, agenda millennium, tetapi langkah-langkah bertahap harus dimulai saat ini juga. Sembari meniti langkah-langkah agenda jangka panjang, ada hal yang dilakukan dalam jangka pendek ini.
Fokus Agenda Jangka Pendek
Mengingat pentingnya perspektif ilmu pendidikan yang bersifat semesta, maka perlu kiranya disusun agenda jangka pendek, baik yang bersifat universal maupun spesifik, global maupun nasional.
Dalam pandangan Prof. Sholeh, sedikitnya ada empat masalah besar dan mendasar yang harus menjadi perhatian pendidikan semesta, yaitu: menghapus dikhotomi agama dan ilmu, mengembangkan tata pergaulan bangsa yang jujur, dan memaknai persatuan Indonesia dengan kedewasaan sikap dalam beragama (bhineka tunggal ika), dan terakhir, menerapkan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi “bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dikhotomi agama dan ilmu segera diakhiri. Karena, jelas-jelas membuat pendidikan dan peradaban menjadi pincang. Bukankah, “ilmu tanpa agama adalah buta, tetapi agama tanpa ilmu menjadi lumpuh”? Secara kasar kata-kata Einstein itu mencerminkan situasi dunia Barat saat ini yang menguasai ilmu dan teknologi, tetapi tanpa panduan agama. Di sebelah lain, agama tanpa ilmu mencerminkan situasi dunia Islam saat ini yang lumpuh.
Oleh karena itu, umat Islam harus segera beranjak untuk menguasai dan merebut ilmu dan teknologi modern, namun dengan tetap istiqomah menjaga agama yang dipeluknya. Masa depan umat Islam sangat ditentukan oleh kemampuannya dalam mendayung di tengah dua gelombang tersebut.
Tata pergaulan internasional belum banyak beranjak dari era kolonialisme di mana bangsa-bangsa dunia ketiga (sebagian besar berpenduduk muslim) menjadi tanah jajahan. Meski telah merdeka, tetapi ketergantungan negara-negara dunia ketiga kepada negara maju terus berjalan. Sehingga, negara maju bertambah Makmur, sementara negara dunia ketiga semakin miskin.
***
Pemaknaan “Persatuan Indonesia” bukanlah menyamaratakkan semua agama, tetapi penghargaan atas identitas masing-masing agama. Persatuan adalah penghargaan yang tulus, bersih, dan jernih dari setiap pihak terhadap territorial yang tidak dapat disatukan sama sekali.
Agenda keempat, terakhir, pasal 33 (3) UUD 1945 menjadi fokus pendidikan semesta karena belanja pendidikan adalah belanja penerapan tauhid secara optimal bagi seluruh umat Islam segala umur, tanpa kecuali. Dan, secara makro ayat ini rentan dibajak orang-orang yang serakah untuk mengeruk kekayaan secara instan-sesaat.
Demikianlah uraian sekilas tentang percikan pemikiran “Pendidikan Semesta” yang dilontarkan oleh Prof. Sholeh, hampir dua dekade yang lalu. Bila menyimak konteks sosial yang melatari, bagan konseptual yang dibangun, dan empat fokus agenda jangka pendek yang harus dijalankan, rasa-rasanya masih relevan dengan kebutuhan umat Islam saat ini, dan di masa-masa mendatang.