Menteri Agama yang baru, Yaqut Cholil Qoumas, sempat dianggap membuat suatu kebijakan kontroversial yang memunculkan polemik, dan mendapatkan tanggapan serius dari publik; saat menyampaikan rencana untuk mengafirmasi hak beragama warga Ahmadiyah dan Syiah.
Meskipun selang sehari berikutnya, Yaqut sendiri mengklarifikasi pernyataan tersebut dengan mengatakan bahwa tidak ingin melindungi organisasi dan kelompok Ahmadiyah dan Syiah. Melainkan hanya ingin melindungi mereka sebagai warga negara.
Tidak Ada yang Kontroversial dari Wacana Afirmasi
Menurut saya, sebetulnya tidak ada yang kontroversial mengenai wacana afirmasi bagi kelompok minoritas keagamaan di Indonesia yang dilontarkan oleh pejabat publik, seperti halnya Yaqut. Jika kita melihatnya dari beberapa hal berikut ini:
Pertama, tindakan memberikan jaminan bagi kebebasan beragama dan berkeyakinan dibenarkan. Dan sama sekali tidak bertentangan dengan semangat konstitusi serta perundangan yang ada.
Kedua, data dan fakta mengenai kekerasan terhadap kelompok minoritas keagamaan di Indonesia menunjukkan sebuah urgensi bagi seorang pejabat publik untuk segera mengambil tindakan yang relevan dalam rangka menghentikan segala bentuk diskriminasi dan persekusi.
Apalagi kalau kita menyadari, siklus kekerasan terhadap kelompok minoritas keagamaan—seperti Ahmadiyah dan Syiah—seringkali berulang (recurrent).
Ketiga, menyadari rekam jejak dan latar belakang Yaqut sendiri. Yaqut adalah seorang aktivis dan pimpinan organisasi yang selama ini memiliki pandangan dan posisi yang tegas dan konsisten dalam merawat pluralitas dan koeksistensi dengan liyan di Indonesia.
Dengan melihat latar belakang dan rekam jejaknyanya tersebut, sebetulnya tidak terlalu mengejutkan saat Yaqut melontarkan rencana untuk mengafirmasi hak beragama warga Ahmadiyah dan Syiah—dua minoritas keagamaan (Islam) di Indonesia—yang belakangan mengalami diskriminasi dan persekusi hebat di banyak tempat seperti di Nusa Tenggara Barat dan Sampang Madura.
Diskriminasi terhadap Kelompok Minoritas Keagamaan
Kelompok minoritas keagamaan di Indonesia memiliki posisi yang rentan. Kekerasan terhadap kelompok minoritas keagamaan terus terjadi dan terus berulang. Bahkan, kasus-kasus lama terkait kekerasan terhadap kelompok minoritas keagamaan ini, juga tak kunjung terselesaikan.
Saat ini, warga Ahmadiyah yang terusir dari kampungnya di NTB, dan warga Syiah yang terusir dari kampungnya di Sampang Madura, masih terkatung-katung tak jelas nasibnya di pengungsian.
Meminjam istilah Georgio Agamben, mereka ini adalah homosacer—orang-orang yang tak memiliki status hukum yang jelas. Warga negara, tapi kok dirampas dan tak terpenuhi hak-hak dasarnya.
Hal ini tidak hanya menunjukkan bahwa kelompok minoritas keagamaan memiliki kerentanan mengalami diskriminasi, persekusi, dan kekerasan dari kelompok-kelompok vigilante berbasis keagamaan.
Tetapi juga menunjukkan lemahnya perlindungan pemerintah dan negara terhadap kelompok minoritas keagamaan di Indonesia. Padahal, Presiden Jokowi sudah dengan tegas mengatakan tidak ada tempat bagi intoleransi di Indonesia.
Data mengenai kekerasan terhadap kelompok minoritas keagamaan di Indonesia yang dilansir banyak lembaga, seperti Setara Institute, Amnesty Internasional Indonesia, Komnas HAM, dan yang lainnya; melaporkan masih tingginya kasus kekerasan terhadap kelompok minoritas keagamaan di Indonesia sepanjang tahun 2020.
Kebijakan Afirmasi untuk Kelompok Minoritas
Melihat kondisi tersebut di atas, wacana untuk mengafirmasi hak kelompok minoritas keagamaan dapat mudah dimaklumi.
Dalam kondisi sosial-keagamaan yang diskriminatif, kebijakan afirmasi bagi kelompok minoritas keagamaan bisa menjadi salah satu cara yang bisa dipilih oleh negara atau pemerintah; sebagai jawaban serius atas problem-problem sosial-keagamaan yang diskriminatif dan dipenuhi tindakan kekerasan.
Saya ingin mengatakan bahwa kebijakan afirmasi sebetulnya bukan sesuatu yang kontroversial dan keliru. Karena ia, secara teoretis, pada hakikatnya adalah sebuah ikhtiar politik hukum untuk memberdayakan yang terpinggirkan (vulnerable group).
Kebijakan afirmasi untuk kelompok minoritas sudah diterapkan di berbagai tempat, seperti di Kanada misalnya (Sayuti, 2008). Tak ada yang kontroversial sebetulnya.
Meskipun tentu saja, untuk menetapkan kebijakan afirmasi (affirmative action) bagi kelompok minoritas keagamaan di Indonesia—sejauh apa urgensinya, seperti apa rumusan regulasinya dan teknis implementasinya—memang perlu dilakukan kajian yang lebih jauh.
Apalagi mengingat soal minoritas keagamaan ini di Indonesia masih menjadi sesuatu yang sangat sensitif secara teologis. Apa yang dilontarkan oleh Menteri Yaqut, terlepas dari keterangan lanjutan sebagai bentuk klarifikasi dan ralat dari pernyataan sebelumnya; bisa dipandang sebagai trigger yang bisa memantik kajian lebih mendalam.
Meskipun mungkin harus dilakukan dengan langkah-langkah yang sepenuhnya hati-hati, agar tidak kontraproduktif.
Keuntungan dan Tantangan Kebijakan Afirmasi
Dengan menerapkan kebijakan afirmasi bagi kelompok minoritas keagamaan—termasuk Ahmadiyah dan Syiah—di Indonesia, kelompok minoritas keagamaan bisa memiliki regulasi yang lebih jelas dalam rangka memproteksi terpenuhinya hak-hak dasar mereka sebagai sebuah komunitas keagamaan.
Bukan hanya sebagai warga negara. Apalagi mengingat masih terdapat SKB Menteri yang melarang kelompok minoritas keagamaan tertentu; yang kerap dijadikan legitimasi untuk melakukan tindakan diskriminasi, persekusi, dan kekerasan terhadap kelompok minoritas keagamaan. Sehingga berujung pada terampasnya hak-hak dasar mereka.
Dalam perspektif hukum dan perundangan di Indonesia, memang kita sudah banyak memiliki perangkat regulasi yang berkaitan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Tapi kalau kita cermati lebih mendalam, itu hanya memproteksi hak sebagai warga negara. Bukan spesifik memproteksi kelompok rentan keagamaan—terutama dalam hal ini minoritas keagamaan.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen pasal 29 ayat 1 dan 2 dan pasal 28 E ayat 1 dan 2, meskipun mengandung jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan, tapi sama sekali tidak menyebut kata minoritas.
Hal ini berbeda misalnya dengan kelompok rentan lainnya seperti “fakir miskin” dan “anak-anak terlantar”; yang secara tegas disebut dalam pasal 34 ayat 1 UUD 1945 harus dilindungi dan dipelihara oleh negara.
Demikian halnya dalam regulasi turunan terkait lainnya, tidak menyebut kata minoritas. Tidak adanya kata minoritas dalam undang-undang dasar dan peraturan lainnya; selain menyulitkan kita saat membahas diskursus minoritas (keagamaan) terutama dari perspektif hukum, juga seolah membuat pemerintah bisa mengabaikan eksistensi mereka.
Pemerintah seolah bisa mengabaikan pelayanan bagi terpenuhinya hak dasar mereka dan bahkan juga boleh mendiskrimasikannya (Suaedy dan Dja’far, 2012). Ini terbukti dari banyaknya kasus dikriminasi dan persekusi terhadap kelompok minoritas keagamaan seperti Ahmadiyah dan Syiah.
Padahal secara teoretis, saat ini, sebagaimana ditegaskan Kymlicka (dalam Hardiman, 2011); hak-hak minoritas bisa dimasukkan ke dalam bagian dari sistem hak-hak dalam liberalisme, yang biasanya hanya bertumpu pada individu sebagai warga negara.
Mengedepankan Pendekatan Kelompok untuk Melindungi Minoritas
Dengan kata lain, negara dan pemerintah punya landasan teoretis untuk bisa menyusun kebijakan afirmasi untuk perlindungan kelompok minoritas keagamaan di Indonesia dengan mengedepankan pendekatan kelompok, bukan hanya pendekatan individu.
Tentu saja, kebijakan afirmasi bagi kelompok minoritas keagamaan di Indonesia ini, baik di tingkat perumusan dan implementasi, bukan tidak memiliki tantangan.
Terbukti, baru disampaikan oleh Menteri Yaqut saja dan kemudian diralatnya sendiri, sebagian pihak sudah menolaknya. []
Editor: Zahra