Indonesia mengalami milestone tersulit dalam tonggak sejarah pasca krisis 1998. Gencatan pandemi COVID-19 yang secara perlahan memporak-porandakan sendi-sendi kehidupan, baik kesehatan, ekonomi dan sosial. Tercatat per tanggal 15 Juni 2020, angka kasus positif COVID-19 sebanyak 39.294 orang dengan penambahan 1.017 kasus baru dalam 24 jam terakhir (15 Juni 2020). Artinya ada peningkatan sekitar 1000 kasus positif per-harinya.
Lonjakan angka positif COVID-19 tersebut semakin curam beriringan dengan datangnya bulan Ramadhan, Syawal bahkan diperkirakan hingga akhir tahun 2020 ini tentu menjadi kegusaran bagi setiap individu atas keselamatan nyawa dan keluarganya. Himbauan untuk beraktifitas dari rumah (bekerja maupun sekolah) dilanjutkan dengan PSBB (Pembatasan sosial berskala besar) sangat mempengaruhi pergerakan sektor riil.
Berdasarkan hukum supply-demand, saat permintaan berangsur-angsur menurun, maka lambat waktu akan menunjukkan penurunan secara agregat (Agregat Demand) yang berdampak pada penurunan Agregat Supply sehingga mempengaruhi penurunan jumlah produksi (Quantity (Q)). Sehingga tidak dipungkiri muncul banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan-perusahaan terdampak dan sejenisnya.
Keadaaan Ekonomi Saat Ini
Adapun pertumbuhan ekonomi pada triwulan 1 2020 Indonesia masih berada di angka 3%. Data yang dilansir Kompas.com menunjukkan sektor informasi dan komunikasi mengalami peningkatan sekitar 0,53% diiringi dengan peningkatan volume penjualan listrik PLN ke rumah tangga. Sedangkan di sisi pariwisata, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia menurun drastis sejumlah 34,9% atau berada di angka 2,61 juta kunjungan jika dibanding dengan tahun lalu.
New Normal menjadi babak baru bagi Indonesia dalam upaya penanganan penyebaran cCOVID-19 dalam aspek sosial-ekonomi. Tentu saja kehadirannya tidak luput dari bumbu pro-kontranya. New Normal ini dipilih pemerintah sebagai skenario bahwa kita diminta adaptasi untuk hidup berdampingan dengan virus corona (COVID-19), dengan konsekuensi tetap menjaga protokoler kesehatan. Kebijakan ini diambil dengan mempertimbangkan studi epidemiologis serta kesiapan regional.
Melihat realitas di lapangan, semakin bertambahnya angka positif COVID-19 semakin meningkatkan gelora masyarakat untuk memulai beraktivitas layaknya sebelum pandemi COVID-19. Hanya saja masyarakat sudah mulai mengadaptasikan diri mereka untuk beraktifitas dengan memakai masker dan menjaga jarak dengan rekannya. Pola bersosialita baru tersebut bagian dari skenario new normal dalam upaya penormalan kondisi sosial ekonomi. Sudah siapkah?
Momentum karantina menjadi sarana pengukuhan daya tahan diri untuk siap berperang tanpa perlu menjauhi virus COVID-19. Pola mindset, pola hidup serta komunikasi dan ber-ekonomi yang dilatih selama masa karantina menjadi ketrampilan baru yang harus diterapkan di masa new normal ini.
Menjadi True Islamic Man
Islamic Man di sini diambil dari tawaran seorang Ahli Ekonomi Islam abad ke-19 hingga sekarang, yakni Monzer Kahf. Orang pertama yang mengaktualisasikan analisis penggunaan beberapa institusi Islam (seperti zakat) terhadap agregat ekonomi, seperti simpanan, investasi, konsumsi dan pendapatan.
Monzer Kahf seorang yang aktif di Islamic Research dan Training Institute Islamic Development Bank (IRTI-IDB). Ini yang mengawali analisa matematika ekonomi Islam yang menjadi mainstream hari ini. Poin utama dalam pemikiran Kahf (sapaan akrabnya) adalah ekonomi sebagai bagian tertentu dari agama. Dalam agama dengan pengertian yang dihadapkan pada kepercayaan dan perilaku manusia, termasuk perilaku berekonomi.
Bahwa ekonomi berdasarkan paradigm Islam dan diajukan sebagai suatu disiplin universal menjadi usulannya. Artinya penerapan dari ekonomi Islam dapat diterapkan oleh setiap manusia, baik Muslim maupun Non-Muslim asal mereka sepakat dan mau menerima norma perilaku yang didasarkan pada filsafat dan prinsip sistem ekonomi Islam. Salah satu Asumsi dasar ini yang menjadikan Kahf berbeda dari kebanyakan ahli ekonomi Islam.
Termasuk tafsir Islamic Man, Kahf menawarkan bahwa identitas Islamic Man. Ini bukan hanya seorang Muslim, bisa jadi Non-Muslim namun dalam praktek berekonominya menyepakati aturan main dalam ekonomi Islam. Berbeda dengan ekonomi konvensional yang mengasumsikankan manusia sebagai rational economic man.
Jenis manusia yang hendak dibentuk oleh Islam melalui Islamic Man adalah sesuai yang termaktub dalam QS al-Furqan (25) : ayat 63-68, yakni Hamba-hamba Tuhan yang Maha Pengasih (‘Ibadurrahman) dengan beberapa kriteria ; rendah hati, menghabiskan malam untuk beribadah, menginfakkan harta, mereka tidak berlebihan, dan tidak pula kikir, tidak menyekutukan Allah SWT.
***
Profil Islamic Man disini memiliki ciri perilakunya rasional melalui konsistensinya dengan prinsip-prinsip Islam yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang seimbang. Tauhidnya mendorong untuk yakin, bahwa Allah SWT yang berhak membuat aturan dan pedoman untuk mengantarkan kesuksesan hidup.
Dalam Sosial ekonomi, Islamic Man tidak materialistik, senantiasa memperhatikan anjuran syariat untuk berbuat kebajikan untuk masyarakat, suka menolong dan peduli kepada masyarakat sekitar. Rela mengorbankan kesenangannya untuk menyenangkan orang lain, hal ini bersinggungan dengan konsep pareto optimality.
Motifnya dalam berbuat kebajikan baik dalam bentuk berderma, menyantuni anak yatim, maupun mengeluarkan zakat dan sebagainya tidak dilandasi motif ekonomi sebagaimana dalam doctrine of sosial reposibility, tetapi semata-mata berharap keridhaan Allah SWT.
Berbeda dengan rational man (dalam ekonomi konvensional). Islamic Man dalam setiap aktifitas ekonominya memiliki nafas ekonomi dengan horizon waktu yang mencakup kehidupan di dunia tapi juga kehidupan di akhirat.
Islamic Man di era New Normal
Dalam konteks era kenormalan bau (New Normal), maka momentum untuk kembali memurnikan diri sebagai Islamic Man merupakan hal yang mutlak kita laksanakan. Baik dalam hal hubungan kita dengan Allah, sesama manusia dalam hal urusan muamalah, maupun dengan lingkungan dalam aktifitas keseharian kita.
Hubungan dengan Allah SWT, di era New normal yang mengharuskan kita senantiasa menjaga kebersihan. Salah satunya dengan wudhu yang akan menjadi tameng untuk berhati-hati dalam bersikap supaya wudhu tetap terjaga. Di era New Normal ini mengharuskan kita berperilaku hidup sehat salhsatunya sering mencuci tangan supaya menghindari penyebaran COVID-19. Hal ini tentu peru kita tegakkan sembari mengukuhkan diri menjadi Islamic Man yang sebenarnya.
Sedangkan hubungan sesama manusia dalam hal muamalah maka dalam berkonsumsi, produksi maupun distribusi memiliki batasan halal dan Thayyib baik zat dan prosesnya. Tidak diperkenankan berlebihan (Ishraf) maupun Tabdzir, berorientasi pada kemashlahatan masyarakat umum, bukan hanya utilitas individu. Horison waktunya seimbang antara peruntukan kemenangan di dunia maupun di akhirat.
Di Era New Normal ini, sebagai konsumen, perlu mengikat nafsu berbelanja yang tidak diperlukan lebih kencang lagi. Terlebih saat pemilihan makanan yang akan dibeli harus memenuhi klausul halal dan thoyyib, kalau halal sudah terpenuhi maka klausul thoyyib juga harus dipertimbangkan yakni dari segi kandungan makanan yang menyehatkan (bergizi untuk mashlahah kesehatan) atau tidak.
Termasuk dalam hal produksi dan distribusi juga harus memenuhi klausul tersebut, produsen memproduksi produk yang urgen dibutuhkan oleh masyarakat dengan standart norma ekonomi Islam baik bahan, proses dan penetapan harganya. Dalam hal distribusi juga sama, diharapkan mampu mementingkan kemahlahatan umat dengan pemenuhan standart norma ekonomi Islam.
***
Terakhir, hubungan dengan alam, maka mengharuskin kita bijak dalam mengelola lingkungan kita. Mulai dari penjagaan kebersihan lingkungan, sampah, hingga sanitasi di lingkungan sekitar. Menanam kembali tanaman maupun bahan pangan untuk menjaga keseimbangan tanah dan ikhtiyar ketahanan pangan keluarga, misal mulai menanam kembali tanaman toga, sayur mayor seperti bayam, cabe, terong, kangkung, tomat dan sejenisnya.
Tidak mengksploitasi alam hanya untuk kepentingan produksi manusia saja, namun proses reboisasi, rehabilitasi alam dalam skala besar sehingga bisa memperbaiki tata ekosistem lagi dan lain sebagainya.
Kesadaran untuk kembali menjadi Islamic Man yang sebenarnya (True Islamic Man) merupakan keniscayaan sebagai dasar dan pola berperilaku selama pandemi COVID-19 melalui era New Normal ini. Tidak perlu berbelanja referensi jauh-jauh, karena memurnikan dan mengukuhkan kembali norma Islam dalam kehidupan khususnya ekonomi menjadi jalan pulang kita untuk kembali pada identitas Islamic Man. Wallahu A’lam.