Perspektif

Baju Baru di Hari Raya, Seremonial atau Cermin Spiritual?

3 Mins read

Baju Baru Hari Raya – Syawal 1442 Hijriyah telah datang, masih dengan suasana pandemi dan terbatas untuk silaturahmi. Kita sering mengalami, segala sesuatu seakan menjadi baru, seakan melambangkan hati yang suci setelah sebulan menahan nafsu.

Namun, Idul Fitri sejatinya menjadi tanda bahwa manusia kembali pada fitrahnya. Bersih tiada noda, suci tanpa tercela. Tetapi, bersih nan suci tak hanya tercermin dari penampilan, tapi juga kelakuan serta ucapan.

Keinginan mudik atau pulang kampung harus ditahan, meski di satu sisi hati meronta-ronta ingin kembali berjabat tangan melepas segala kekhilagan dengan saling memaafkan.

Baju Baru di Hari Raya, Seremonial atau Cermin Spiritual?

Dalam hadis di riwayatkan,

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، قَالَ: أَخَذَ عُمَرُ جُبَّةً مِنْ إِسْتَبْرَقٍ تُبَاعُ فِي السُّوقِ، فَأَخَذَهَا، فَأَتَى بِهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ابْتَعْ هَذِهِ تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيدِ وَالوُفُودِ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لاَ خَلاَقَ لَهُ

Sungguh Abdullah bin Umar, ia berkata: “Umar mengambil sebuah jubah sutra yang dijual di pasar, ia mengambilnya dan membawanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, belilah jubah ini serta berhiaslah dengan jubah ini di hari raya dan penyambutan. Rasulullah berkata kepada Umar: “sesungguhnya jubah ini adalah pakaian orang yang tidak mendapat bagian” (HR. Al Bukhari).

Dari dalil di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa memakai baju baru di saat hari raya bukanlah suatu keharusan (sunah). Apalagi di kala pandemi masih melanda negeri, berdesakan di toko pakaian demi pakaian buruan sangat beresiko terhadap penularan virus.

Oleh karena itu, baju baru sebagai cerminan hati kita yang kembali baru setelah Ramadhan. Tapi, jangan hanya bajunya saja yang baru, namun ucapan dan kelakuan masih sama (kurang baik) seperti dulu.

Baca Juga  Patuh Menjalankan Tradisi Tak Sesuai Situasi

***

Sehingga yang nampak baru hanya penampilan, namun tidak sinkron dengan perkataan dan tindakan. Maka, memakai baju baru di saat hari raya memang tidak ada salahnya, tetapi haruslah sesuai dengan kemampuan dan sepantasnya, agar kita terhindar dari sifat sombong serta riya’ (pamer).

Pada Hari Raya, kita dianjurkan untuk mempercantik diri (berhias, memakai wangi-wangian) dan memakai baju yang terbaik.

Jika tidak ada baju yang baru, boleh mengenakan baju yang lama (yang ada, yang kita punya) namun tetap pilihan yang terbaik dari pakaian-pakaian yang kita punya.

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al Mustadrak ‘alaa Al-Shohihain:

عَنْ زَيْدِ بْنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ، عَنْ أَبِيهِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: «أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْعِيدَيْنِ أَنْ نَلْبَسَ أَجْوَدَ مَا نَجِدُ، وَأَنْ نَتَطَيَّبَ بِأَجْوَدَ مَا نَجِدُ

Dari Zaid bin Al Hasan bin Ali, dari ayahnya, radliyallahu ‘anhuma, ia berkata: Kami diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam pada hari hari untuk memakai pakaian yang ada dan memakai wangi-wangi dengan apa yang ada.

Petasan Menutupi Suara Takbiran

Hal lain yang terkadang menjadi kebiasaan kita adalah menyalakan petasan saat malam takbiran, suara dentuman yang menggelegar, membuat kumandang takbir kurang terdengar.

Memang di satu sisi, masyarakat yang melakukan untuk tujuan memeriahkan, tetapi kadang sesuatu yang baik di mata kita belum tentu baik di mata Allah swt. Allah swt berfirman:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ࣖ

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 216).

Baca Juga  Mohammad Hatta: Menggabungkan Sosialisme dan Islam

Apalagi, membakar petasan selain membuat suara takbir kurang terdengar, termasuk perbuatan yang mubazir. Dalam Alquran surat al-Isra’ ayat 27, Allah swt berfirman:

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

“Sesungguhnya orang-orang yang menghambur-hamburkan (tanpa manfaat yang jelas) itu adalah saudaranya setan. Dan setan itu ingkar terhadap Tuhan-Nya.”

Maka sudah jelas membakar, menyalakan, ataupun membunyikan petasan kurang baik dilakukan saat merayakan hari raya Idul Fitri, terutama saat malam takbiran. Selain itu dapat mengganggu kenyaman orang lain, juga dapat membahayakan diri sendiri serta sekitar kita.

Oleh karena itu, sepatutnya kita merayakan hari raya Idul Fitri ataupun Adha dengan melakukan perbuatan yang lebih bermanfaat. Misalnya dengan memakmurkan masjid dengan suara takbir, ataupun hal-hal lainnya yang lebih baik dan sesuai tuntunan ajaran Islam. Sehingga kita tidak termasuk orang-orang yang merugi, apalagi berpotensi merugikan orang lain.

***

Baju baru dan petasan, seakan menjadi pelengkap serta membudaya di masyarakat kita. Segala sesuatu yang baru yang bersifat perhiasan selagi kita mampu dan tidak merasa terbebani, tidaklah menjadi masalah.

Asalkan kita dapat menjaga diri dari kesombongan serta sifat riya’, karena Allah Swt sudah memperingatkan kita agar kita tidak angkuh sebagaimana yang terdapat dalam surat Luqman ayat 18. Pakailah pakaian terbaik ketika saat lebaran, karena itu merupakan sunnah, baju terbaik tak harus yang baru. Rapi, sopan, serta pantas lebih baik daripada kita bermewah-mewahan di hari lebaran.

Selain itu, kalimat takbir dalam rangka menyambut hari kemenangan, sudah seharusnya kita kumandangkan. Serta harusnya tak terganggu dengan kebisingan suara petasan yang terasa menutupi takbiran, jika memang kita mempunyai rejeki berlebih, baiknya kita sedekahkan atau infaqkan dijalan Allah swt. Bukan malah membakarnya lewat dentuman petasan, yang dapat mengganggu serta membahayakan.

Baca Juga  Pukul Sapu: Tradisi Lebaran Masyarakat Maluku

Mari kita jadikan renungan, karena suasana negeri masih dirundung berbagai macam ujian. Sehingga kita lebih menghadirkan manfaat bagi sekitar, serta menjadikan momen Idul Fitri sebagai awal istiqamahnya ibadah kita dalam rangka menjadi manusia yang bertaqwa sebagaimana tujuan dari puasa. Semoga amalan ibadah kita selama Ramadhan di tahun ini diterima oleh Allah swt, dan semoga kita dipertemukan dengan Ramadhan ditahun depan. Aamiin.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1442 H. Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin.

Editor: Yahya FR

Hendra Hari Wahyudi
97 posts

About author
Anggota Majelis Pustaka, Informatika dan Digitalisasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur periode 2022-2027
Articles
Related posts
Perspektif

Menjalankan Ibadah Puasa yang Ramah Lingkungan

2 Mins read
Bulan Ramadan merupakan bulan penuh berkah bagi umat Islam. Karena di bulan ini segala rahmat akan diturunkan bagi mereka yang menjalankan ibadah…
Perspektif

Muhammadiyah: Semangat Pembaharuan untuk Kebangsaan dan Kemanusiaan

7 Mins read
Pertama, di bawah langit Jogja yang membiru, di jantung pergerakan Kauman yang bersejarah, terbitlah semangat baru yang memadukan cahaya Sang Surya Islam…
Perspektif

Ka'bah dan Wajah Dunia Arab Modern

4 Mins read
Tulisan ini sebagai pertanyaan lanjutan dari tulisan Buya Syafi’i Maarif di Suara Muhammadiyah pada tahun 1992 dan dimuat juga dalam buku (Islam…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *