Report

Menkumham: Kekerasan Terhadap Minoritas Jadi Tantangan Kebebasan Beragama

2 Mins read

IBTimes.ID – Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Prof. Yasonna H Laoly, SH. M.Sc. PhD., mengatakan bahwa kebebasan beragama di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Salah satunya adalah kekerasan terhadap kelompok aliran minoritas agama tertentu.

“Salah satu masalah yang akhir-akhir ini muncul adalah kekerasan terhadap penganut aliran minoritas dari suatu agama, yang dipandang aliran mayoritas sudah menyimpang dari ajaran prinsip agama tersebut,” ujarnya.

Hal tersebut ia sampaikan dalam sambutan kunci pada webinar internasional “Artikel 18 Deklarasi Universal HAM dalam Perspektif Negara dan Agama” yang digagas Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan Institut Leimena dalam rangka Hari HAM Sedunia ke-73, Selasa (21/12/2021) malam.

Menkumham menegaskan hak kebebasan beragama harus diakui sebagai hak asasi seperti tertuang dalam artikel atau pasal 18 Deklarasi Universal HAM. Pengakuan tersebut mengharuskan negara tidak dapat melarang agama atau aliran apapun yang masuk dan berkembang di Indonesia, sepanjang sesuai dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dan tidak menyinggung prinsip dan kepercayaan umat agama lainnya.

“Adanya kekerasan terhadap kelompok aliran agama minoritas menjadi tanggung jawab negara untuk hadir, memberikan perlindungan, penghormatan bagi warganya termasuk masyarakat dari kelompok minoritas,” kata Yasonna kepada lebih dari 1.000 peserta webinar dari dalam dan luar negeri.

Data Kemenkumham sepanjang 2021 mencatat 13 peristiwa dugaan pelanggaran HAM yang diperoleh dari 21 pengaduan masyarakat. Di antaranya, peristiwa pengeluaran keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muaro Jambi yang menganggap sesat ajaran Darut Tauhid, SKB pembatasan ajaran Hare Krisna dan Iskcon karena dianggap sesat, polemik pembangunan gereja di Sukoharjo Jawa Tengah, pemaksaan penggunaan busana Muslim di sekolah di Padang Sumatera Barat, penghentian pembangunan tempat ibadah Ahmadiyah di Kabupaten Garut Jawa Barat, penolakan pembangunan masjid Muhammadiyah oleh warga Nahdlatul Ulama (NU) di Banyuwangi Jawa Timur, dan polemik pendirian gereja di Kabupaten Aceh Singkil.

Baca Juga  Mendarat di Jeddah, Jamaah Haji Pakai Ihram di Embarkasi

Menkumham mengatakan bahwa secara umum kehidupan kebebasan beragama di Indonesia mengalami kemajuan dari sisi legal konstitusional dan perlindungan hak kebebasan beragama dibandingkan dengan negara lain. Namun, kemajuan itu menimbulkan masalah lebih kompleks, terutama ruang berekspresi menjadi begitu besar.

“Misalnya, kelompok yang sebelumnya tidak berani berbicara, maka saat ini mulai muncul di publik dan menyampaikan pendapatnya yang memiliki dampak positif maupun negatif,” ujar Yasonna.

Menkumham menyatakan kebebasan beragama juga dijamin dalam konstitusi, bahkan jauh sebelum berlakunya Deklarasi Universal HAM pada 10 Desember 1948. Antara lain pasal 28E ayat (1) dan pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

Kebebasan beragama sebagai hak asasi tergolong hak non-derogable, artinya secara spesifik dalam perjanjian HAM merupakan hak yang tidak bisa ditangguhkan pemenuhannya oleh negara dalam situasi dan kondisi apa pun. Termasuk keadaan bahaya, seperti perang sipil atau invasi militer.

“Hak yang non-derogable ini dipandang sebagai hak paling utama dari hak asasi manusia. Hak-hak non derogable ini harus dilaksanakan dan harus dihormati oleh negara. Dalam keadaan apa pun dan situasi bagaimana pun,” tandas Yasonna.

Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan otoritas negara seringkali dipertentangkan dengan otoritas agama dalam kehidupan bermasyarakat. Padahal, keduanya berjalan beriringan, sebagaimana teladan Dr. Johannes Leimena yang menunjukkan bahwa peran sebagai warga negara bertanggung jawab dan nasionalis sejati adalah refleksi dari kecintaan, kesetiaan, dan ketaatan kepada Tuhannya.

“Indonesia yang majemuk ini lahir dari para tokoh pendiri bangsa yang demikian, yang selalu berusaha mencari titik temu antara perspektif negara dan agama, serta kepercayaan yang beragam,” kata Matius.

Senior Fellow Institut Leimena sekaligus Hakim Konstitusi tahun 2003-2009, Dr. Maruarar Siahaan, mengatakan webinar ini merupakan seri rangkaian pendidikan Literasi Keagamaan Lintas Budaya untuk mengukuhkan Pancasila sebagai dasar negara dan landasan berpikir filosofis kehidupan bernegara serta sumber dari segala sumber hukum.

Baca Juga  Beragama di Era Digital dan Covid-19

Reporter: Yusuf

Avatar
1446 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Report

Anak Ideologis itu Amal Jariyah

1 Mins read
IBTimes.ID, Yogyakarta – Pendakwah muda Habib Husein Ja’far Al Hadar menyebut anak ideologis lebih baik daripada anak biologis. Alasannya, karena perjuangan dengan…
Report

Alissa Wahid: Gus Dur Teladan Kesetaraan dan Keadilan

2 Mins read
IBTimes.ID, Yogyakarta – Direktur Jaringan GUSDURian Alissa Wahid memberikan tausiyah pada peringatan Haul Gus Dur ke-15 yang bertempat di Laboratorium Agama UIN…
Report

Alissa Wahid: Empat Faktor Penyebab Meningkatnya Kasus Intoleransi di Indonesia

2 Mins read
IBTimes.ID, Yogyakarta – Direktur Jaringan GUSDURian Alissa Qotrunnada Wahid atau Alissa Wahid menyampaikan bahwa ada empat faktor utama yang menyebabkan tren peningkatan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds