Bila hari ini, dunia mengenal Bill and Melinde Gates Foundation sebagai wadah filantropi terbesar, maka kita perlu mengenal orang ini: Andrew Carnegie. Bahkan dalam buku ‘tajir melintir’ karya Mardigu WP, seorang pengusaha yang dijuluki bossman sontoloyo, setiap negara di dunia ada museum Carnegie. Secara gamblang menceritakan bahwa di dompet Bill Gates terdapat foto Carnegie, tanda bahwa kedermawanan Gates hari ini belum ada apa-apanya dengan Andrew.
Uniknya pula, Carnegie adalah seorang yang anti imperialisme. Di tahun 1898 misalnya, pasca perang Spanyol-Amerika. Saat itu, US tidak memiliki uang untuk menebus Filipina. Dan yang terjadi kemudian Carnegie menawarkan bantuan 20 juta dollar dari kantong pribadi untuk memerdekakan rakyat Filipina. Total selama 18 tahun, Andrew Carnegie telah mendonasikan hartanya untuk kemanusiaan 380 juta dollar Amerika, atau bila dengan kurs sekarang sekitar 65 miliar dollar Amerika.
Dunia memang unik, di tengah sistem kapitalis globalnya US saat itu, masih ada satu orang kaya US yang masih memikirkan orang lain. Andai saja Carnegie seorang muslim ya…
Eit… tunggu dulu. Dunia Islam juga punya tokoh filantropi lho! Seperti Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, sampai Sa’ad bin Abi Waqas serta banyak lainnya, dan saya yakin anda pun mungkin salah satunya. Kedermawanan mereka tak perlu dipertanyakan dan diragukan lagi, sudah terkenal sampai pada para penduduk langit. Bila membaca literasi keislaman pastilah kita temukan terbalutnya kisah hebat dengan tokoh filantropi tersebut.
***
Life as usual, dunia sedang tak baik-baik saja saat ini. Apa yang terjadi pada era pandemik di antara remote working, social, dan physical distancing, bersua aman lewat maya, cultural shock dalam penggunaan teknologi, hingga pergeseran kehidupan glamor pada pemenuhan kebutuhan dasar, pertahanan diri, dan kesehatan mengharuskan kita untuk juga menengok pribadi dan lingkungan sekitar. Menengok bahwa mental filantropi harus ditanamkan dalam pribadi masing-masing. Dan integritas masih menjadi PR kita bersama.
Naah… itulah mengapa kita perlu mengetahui tokoh filantropi di atas, Carnegie misalnya. Seperti dengan konsep golden circle-nya Simon Sinek yang bermula dari why. Why do you do what you do? How. How do you do what you do? What. What the hell do you do?
Kita harus tahu strong why, mengapa kita harus miliki mental filantropi. Pastikan alasannya jangan rata-rata air, takutnya kalau tidak tersampaikan justru baper yang ada. Kalau seorang Carnegie saja bisa memiliki mental filantropi seperti di atas, lantas apa kabar dengan Muslim, inilah turning point-nya.
Pertanyaannya kemudian, as moslem, mengapa kita masih memasukkan dunia ke dalam hati, padahal para pendahulu kita seperti tokoh filantropi di atas memberi contoh agar dunia cukup di genggaman tangan? Tandanya? Mereka menganggap harta sebatas titipan bukan pemberian terlebih lagi kepunyaan. Lantas, apa langkah selanjutnya? Ini yang paling penting, yakni eksekusi. Mode fastabiqul khairat harus ON!
Mari persiapkan generasi Muslim kita dengan pembentukan karakter mulai dari pribadi masing-masing. Pembentukan karakter yang seperti apa? Karakter dengan disiplin spiritual filantropi dan intelektual berlandaskan al-Quran, dengan generasi Muslim yang smart, humble, jujur, dan bermoral guna menuju lahat madani.
Cukup sudah, mari kembali ke life as usual sambil memperlapang mental filantropi. Bila ada sedikit harta atau sisa-sisa uang, mari segera sedekahkan. Tunggu apalagi? Mari.Â
Editor: Arif