Untuk pertama kalinya dalam sejarah, mikroplastik ditemukan di dalam paru-paru manusia hidup. Mikroplastik adalah potongan-potongan plastik yang sangat kecil. Ukurannya kurang dari 0,5 milimeter. Hull York Medical School, Inggris melaporkan penemuan itu. Dari 13 pasien yang diteliti, 11 di antaranya memiliki kandungan mikroplastik di paru-paru.
Sebelumnya, dalam sebuah penelitian pada tahun 2021 di New York City, diketahui bahwa mikroplastik telah terdapat pada feses bayi berusia satu tahun. Bahkan, jumlah mikroplastik pada feses bayi lebih banyak dari orang dewasa di daerah yang sama. Peralatan makan plastik, dot, gelas, dan mainan plastik diduga menjadi penyebab utama masuknya mikroplastik ke tubuh bayi.
Sementara itu, di Indonesia, dari 63 sampel feses yang diteliti oleh Ecoton, semuanya positif mengandung mikroplastik. Sampel itu diambil dari masyarakat Jawa dan Bali. Penelitian itu menjelaskan beberapa cara mikroplastik masuk ke tubuh manusia. Yaitu melalui makanan, minuman, dan pernafasan.
Berbagai hasil penelitian di atas layak membuat kita bergidik. Hasil penelitian di atas hanya menyimpulkan satu hal, yaitu bahwa tubuh kita telah dipenuhi oleh plastik. Artinya, lingkungan hidup kita juga telah dipenuhi oleh plastik. Baik lingkungan hidup di darat maupun di laut.
Berkaca pada hal itu, perlu upaya lebih serius untuk menghentikan produksi plastik yang begitu masif. Mengingat, tingkat daur ulang sampah plastik di dunia tidak sampai 10%. Rendah sekali. Hal itu bisa jadi disebabkan oleh biaya produksi plastik yang jauh lebih murah daripada biaya daur ulang sampah plastik. Sehingga industri terus tergiur untuk memproduksi plastik tanpa henti. Industri tidak melihat -atau pura-pura tidak melihat- dampak buruk plastik bagi kesehatan manusia dan lingkungan.
Sayangnya, bagi pemerintah, pembuatan peraturan yang pro lingkungan seperti larangan pemakaian plastik sekali pakai bukan hal yang prioritas. Hingga hari ini, hanya ada beberapa daerah yang memiliki perda tentang pembatasan plastik. Antara lain Banjarmasin, Denpasar, Jakarta, Balikpapan, Bogor, Bekasi, dan Semarang. Sayangnya lagi, aturan-aturan itu bersifat parsial. Tidak bisa menyentuh larangan plastik di pasar tradisional dan tidak bisa menghentikan produksi kemasan plastik dari industri.
Peran Agama Terhadap Lingkungan
Belakangan, praktik beragama masyarakat menjadi semakin humanis. Agama mulai memperhatikan isu-isu yang lebih membumi. Agama tidak terus-menerus berbicara tentang surga dan neraka.
Pada tahun 2017, pemimpin agama tingkat dunia dan tokoh masyarakat berkumpul untuk melindungi hutan dan mengatasi isu-isu lingkungan. Pertemuan yang diberi nama Interfaith Rainforest Initiative tersebut digelar di Oslo pada 19 Juni 2017. Prof. Din Syamsuddin, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah dan Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara hadir dalam pertemuan tersebut.
Pertemuan tersebut menjadi penegasan di tingkat dunia bahwa agama turut hadir dalam menyelesaikan persoalan lingkungan. Sementara, di Indonesia, dua organisasi keagamaan terbesar telah memiliki perhatian kepada lingkungan jauh-jauh hari sejak sebelum pertemuan Oslo.
Muktamar Nadhlatul Ulama ke-29 di Cipasung tahun 1994 menegaskan bahwa pembangunan industri yang tidak berpihak pada kepentingan umum merupakan perbuatan maksiat yang diancam dengan hukuman.
Sementara itu, Muhammadiyah meluncurkan buku Teologi Lingkungan, Fikih Air, dan Fikih Kebencanaan pada Muktamar Muhammadiyah 2010 di Yogyakarta. Sepuluh tahun sebelumnya, Muhammadiyah mengesahkan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) yang menganjurkan warga Muhammadiyah untuk melakukan konservasi SDA dan ekosistemnya.
Konsep-konsep dan anjuran-anjuran agama tentang ekologi sejatinya sudah cukup baik. Sayangnya, tokoh-tokoh agama tampak tidak cukup serius mengawal praktik di lapangan. Ia seringkali hanya berhenti pada diskursus dan wacana semata.
Menunggu Fatwa Haram Plastik
Maka, dalam hal ini, setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan oleh tokoh agama. Pertama, mempertajam panduan hingga pada level fatwa. Selama ini, kata ‘fatwa’ adalah kata yang masih cukup disegani oleh masyarakat.
Panduan-panduan yang bersifat global dan universal itu harus dipertegas dan diperjelas menjadi fatwa-fatwa spesifik. Misalnya, fatwa haram penggunaan plastik sekali pakai dan fatwa haram produksi plastik sekali pakai. Jika fatwa ini dikeluarkan oleh lembaga keagamaan yang otoritatif, ia bisa menjadi stimulus bagi larangan plastik sekali pakai oleh pemerintah sekaligus menjadi panduan bagi masyarakat yang masih patuh pada fatwa agama.
Apa yang disuguhkan kepada masyarakat bukan lagi narasi-narasi tentang relasi agama dan lingkungan yang rumit itu. Masyarakat cukup disuguhi dengan fatwa yang tegas, lugas, dan jelas. Jika rokok, miras, dan hal-hal berbahaya lain saja bisa diberikan fatwa haram, kenapa tidak dengan plastik?
Tentu tidak sekedar karena merugikan lantas langsung divonis haram. Namun, ulama dan cerdik cendekia kita pasti bisa bijak mendudukkan persoalan dan memberikan hukum yang tepat. Semoga.
Kedua, perlu ada gerakan-gerakan yang langsung dipimpin oleh pucuk pimpinan organisasi dan kelompok keagamaan. Dalam hal ini, kita dapat berkaca pada Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi yang digawangi langsung oleh Muhammadiyah dan NU tahun 2003. Gerakan moral itu langsung dipimpin oleh dua pucuk pimpinan Muhammadiyah dan NU, yaitu Buya Syafii Maarif dan KH Hasyim Muzadi.
Gerakan moral ini seperti contoh di atas cukup penting untuk mengedukasi masyarakat. Ini akan menjadi bukti dan sinyal penting bahwa Muhammadiyah, NU, dan organisasi keagamaan lain tidak menjadikan isu ekologi sebagai gimik saja.
Pucuk pimpinan ormas keagamaan seperti Muhammadiyah, NU, dan lain-lain harus aktif mendeklarasikan dukungan terhadap kelestarian lingkungan dan permusuhan terhadap perusak lingkungan. Masyarakat di akar rumput yang berafiliasi dengan ormas keagamaan harus benar-benar sadar bahwa ormas mereka sungguh-sungguh dalam menjaga kelestarian lingkungan.
Selama ini, divisi-divisi di masing-masing ormas saja yang aktif mengkampanyekan tentang kelestarian lingkungan. Padahal, krisis lingkungan adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Sehingga, mau tidak mau, pucuk pimpinan langsung yang harus berbicara kepada masyarakat luas.
*Konten ini adalah kerjasama antara IBTimes.ID X Greenfaith