Seperti yang kita ketahui, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), pada bulan ini menginjak umur yang tak muda lagi. Di umur yang hampir seabad ini, NU secara umum sudah banyak berjasa bagi Indonesia. Terutama dalam bidang agama dan budaya.
Mungkin orang sekarang lupa, bahwa NU dari dulu hingga sekarang masih konsisten menjadi salah satu benteng terakhir penjaga kearifan lokal Indonesia. Dengan semangat tersebut, NU dengan lembaga pendidikan non formalnya itu mencoba bertahan di tengah kepungan modernisasi.
Tidak mudah memang untuk tetap eksis di tengah modernitas yang menggila ini. NU tetap menjaga ketradisionalannya dengan tidak mengesampingkan perkembangan zaman. Banyak pondok pesantren kuno yang masih eksis sampai sekarang tetapi tidak kehilangan identitas tradisionalnya.
Pesantren-pesantren tersebut dalam pendidikannya mulai berorientasi pada modernitas dengan tetap berpijak pada tradisi. Jika di Barat, modernitas dinilai tidak banyak memiliki keterkaitan dengan periode sebelumnya, maka di pesantren modernitas dipandang sebagai mata rantai dari gugusan peradaban Islam sebelumnya (Said Aqil Siraj, 2006: 199).
NU dan Tradisi
Bisa kita lihat sendiri, bahwa NU dan tradisi adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dalam perkembangannya, tradisi-tradisi NU tersebut ternyata banyak yang dikritik melalui kacamta syariat. Apakah benar dulu Nabi Muhammad Saw juga melakukannya. Tetapi kritik-kritik tersebut dapat dijawab dengan mudah oleh kalangan ulama NU. Sebab tradisi yang berkembang dalam NU semuanya memiliki dasar yang kuat dan sudah ada di dalam kitab-kitab salaf karangan ulama yang keilmuannya bersambung sampai kepada Rasulullah.
Bahasan tradisi tersebut sudah banyak. Karena, itu memang isu yang seksi di kalangan Nahdliyin dan umat Islam secara umum. Dari isu tersebut, sebenarnya ada isu yang lebih penting untuk dibahas. Isu yang sangat dekat dengan kehidupan kebanyakan warga NU yang rata-rata bekerja sebagai petani (ini menjadi mayoritas), buruh, guru honorer, pedagang, dan lain-lain.
Tak lain, isunya adalah bagaimana NU menggerakan dan melihat mereka sebagai bagian dari NU secara kultural. Mereka walaupun tidak diakui secara formal—karena memang dalam keanggotaan NU di ranah masyarakat belum ada kartu keanggotaannya. Tetapi dalam ibadah muamalahnya, mereka mengikuti yang diajarkan oleh para ulama setempat di lingkungan mereka tinggal yang dulu pernah mengecap pendidikan aswaja di pondok pesantren.
Akar rumput inilah yang penting dalam struktur sebuah negara dan NU harus memperhatikan mereka sebagai bagian tidak formal dari NU. Program-program yang dibuat kalangan NU struktural demi organisasi harus juga memperhatikan mereka.
Kalangan NU struktural di samping melakukan langkah-langkah perlindungan lingkungan di level regulasi, juga harus turun ke bawah dan melihat sendiri konflik-konflik lingkungan yang bersinggungan langsung dengan warga NU. Seperti kasus Lumpur Lapindo di Porong, penanaman dinamit untuk melakukan survei seismik oleh Exxon di Jombang, konflik warga dengan perusahaan migas di Sumenep, konflik air antara warga dengan PT Aqua Danone di Klaten dan Jombang, konflik petani di Kulonprogo, dan lain-lain.
NU Harus Mulai Peduli Isu Lingkungan
Disamping sosialisasi-sosialisasi tentang keagamaan, atau ceramah-ceramah menentang radikalisme agama yang banyak digaungkan dalam dipengajian-pengajian, pelatihan kader, atau tulisan-tulisan di internet, NU juga harus berupaya mengenalkan bagaimana menjaga lingkungan alam bagi keberlangsungan hidup manusia dan seluruh makhluk hidup kepada warganya di akar rumput. Seperti yang kita ketahui di atas, mayoritas warga NU berprofesi sebagai petani dan merekalah yang rentan terkena dampak dari kerusakan lingkungan dan penyerobotan lahan oleh perusahaan besar.
Saya melihat memang warga NU sendiri masih banyak yang apatis terhadap isu tentang lingkungan. Selama ini, isu yang paling banyak menjadi perbincangan di warung kopi, serambi masjid, dan teras rumah rumah warga NU adalah merebaknya radikalisme agama yang mengancam tradisi NU.
Memang isu tersebut juga penting dalam tubuh NU, mengingat muasal NU dibentuk adalah karena “adanya kekhawatiran dari sebagian umat Islam yang berbasis pesantren terhadap gerakan kaum modernis yang meminggirkan mereka”(Tim Aswaja NU Center: 167).
Tetapi NU juga tak boleh terlena dengan melupakan isu lingkungan yang banyak bersinggungan langsung dengan NU kultural di pedesaan. Seharusnya memang NU harus membentuk badan khusus untuk mengurus masalah lingkungan tersebut. Atau paling tidak dalam ceramah agama dan pelatihan kader muda NU, diberi materi tentang advokasi lingkungan.
Bukankah di dalam Al-Qur’an ada ayat yang secara tidak langsung memerintahkan manusia untuk tidak merusak lingkungan. Seperti dalam surat Al-A’raf Ayat 56, Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.
Maksud dari ayat tersebut adalah larangan bagi manusia untuk merusak bumi. Segala bentuk pengrusakan merupakan sebuah perbuatan yang melampaui batas. Alam raya ini oleh Allah telah diciptaakan dalam keadaan yang harmonis, serasi, dan memenuhi kebutuhan makhluk. Perlu digarisbawahi juga larangan tersebut juga termasuk pada memperparah kerusakan atau merusak yang baik juga amat tercela (Shihab, 2002).
***
Jangan lupa juga kalau Allah menegaskan akan nampak kerusakan di muka bumi disebabkan karena perbuatan manusia. Ayat tersebut kini dapat kita buktikan dengan banyaknya kerusakan di muka bumi yang disebabkan oleh perilaku manusia yang serakah. Seperti kerusakan hutan di Kalimantan yang disebabkan pembukaan lahan oleh perusahaan besar lalu menyebabkan banjir besar di sana. Sudah jelas bukan, bahwa Islam juga mengajarkan kepada manusia untuk menjaga lingkungan.
NU sebagai salah satu ormas Islam terebesar di Indonesia tentunya memiliki tanggung jawab pengimplementasian terhadap ayat-ayat tentang lingkungan dalam Al-Qur’an. Juga sebagai bentuk dari membela tanah air sebagai implementasi dari jargon NKRI Harga Mati yang selalu digaungkan dalam setiap acara. Atau jargon Hubbul Wathan Minal Iman dengan cara menjaga sumber daya alam dari eksploitasi penguasa yang buta dan mudah tergiur cuan dari pengusaha besar.
Editor: Yahya FR