Oleh: Mush’ab Muqoddas Eka Purnomo, Lc
طلب العلم فريضة على كل مسلم (الحديث)
“Menuntut Ilmu adalah kewajiban atas setiap seorang muslim. (Al-Hadits)”
Imam Al-Ghazali dalam risalahnya Minhaj Al Arifin menjelaskan bahwa ilmu yang dimaksud dalam ilmu yang memiliki ketersambungan nafas dari Nabi Muhammad SAW kepada para Sahabat RA. Kemudian kepada para Ulama dan sampai kepada kita.
As-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, guru dari pendiri Persyarikatan Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, menyebutkan bahwa ilmu yang menyelamatkan umat Islam dari fitnah-fitnah di dunia ini adalah Ilmu Tauhid. Yang sama sekali tidak memiliki keterkaitan dengan kekuasaan manusia atas manusia.
Ketersambungan ilmu tersebut terangkum dalam kitab-kitab turats yang diwariskan oleh para ulama kepada guru-guru kita, sampai kepada kita semua.
Turats (baca; kitab turats), merupakan peninggalan para ulama dan cendekia umat Islam terdahulu. Darinya, kita dapat memahami Aquran dan Sunah serta kondisi umat Islam, khususnya bangsa Arab. tidak jauh dari masa Nabi Muhammad SAW.
Turats kemudian berkembang. Beberapa pakar sejarah memberikan batas bahwa hasil karya ulama dan cendekia sebelum masa Abbas Pasha dari Dinasti Ali Pasha di Mesir, disebut turats dan setelahnya disebut kitab-kitab kontemporer.
Penyebutan tersebut tidak lain karena adanya perkembangan pembelajaran atas keilmuan dan pemikiran Islam yang telah terwarnai dengan metode berfikir Barat. Kemudian dipelajari oleh para cendikiawan Umat Islam.
***
Tidak hanya mengkaji Islam dengan metode berfikir Barat, akan tetapi juga mengkritisinya. Beberapa contoh adalah karya-karya Rafaah Thahthawi, Muhammad Abduh, dan Badiuzzaman Said Nursi.
Menyelami turats tidak akan selesai dalam kehanyutan. Karena terdiri dari berbagai disiplin ilmu yang semuanya berhulu untuk memahami Alquran dan Sunah. Contoh paling nyata adalah fikih yang kemudian melahirkan ilmu ushul fikih, kemudian ilmu kalam dan sebelumnya adalah gramatikal Bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, Balaghah dan ‘Arudl/ Ilmu Syair) sebagai ilmu alat yang paling fundamental dan syarat wajib untuk memahami Alquran dan Sunah.
Tanpa ilmu-ilmu tersebut, seseorang akan dapat menafsirkan Alquran dan Sunah dengan penuh emosi dan kebencian. Najih Ibrahim mencontohkannya seperti penafsiran Sayid Quthb tentang Al Qur’an dalam Fii Dhilaali Al Qur’an yang olehnya tidak disebut sebagai kitab tafsir. Karena penuh berisi kebencian, pengkafiran dan menganggap para penguasa negara Islam seperti para pemimpin Quraisy.
Lebih kritis lagi, Najih Ibrahim yang merupakan generasi pendiri Al Jama’ah Islamiyah Mesir, mengungkapkan bahwa penulisan Fii Dhilaali Al Qur’an tidak mengesampingkan kitab-kitab fikih dan akidah, dan Sayid Quthb yang merupakan seorang sastrawan mampu menampilkan diri sebagai seorang demagog yang menggunakan Al Qur’an.
Hasilnya, kita menyaksikan saat ini banyak pemimpin organisasi teror yang menjadikan Fii Dhilaali Al Qur’an sebagai referensi utamanya, seolah menjadi sumber ketiga setelah Al Qur’an dan As Sunnah.
Urgensi Turats
Sebenarnya, fungsi penting turats adalah menuntun kita untuk memahami Alquran dan Sunah, bukan sumber hukum (mashdar al hukm), sehingga banyak yang menggunakannya sebagai referensi (al marja’). Kajian turats fikih, tentu berbeda dengan turats sejarah.
Dalam turats sejarah, sumber sejarah (mashdar at tarikh) harus ditulis oleh orang yang hidup pada masa kejadian sejarah. Sedangkan referensi sejarah (marja’ at tarikh) dapat ditulis oleh orang-orang yang hidup setelahnya, menganalisa kejadian bersejarah yang ditulisnya.
Beda turats fikih dengan turats sejarah, beda juga dengan turats ilmu-ilmu alat (gramatikal bahasa Arab). Setiap karya memiliki keutamaan metode penjelasan dan bentuk tersendiri (prosa atau syair). Seperti Al Jurumiyah dan Alfiyah Ibnu Malik. Dan ternyata, untuk memudahkan para penuntut ilmu, banyak ulama yang merangkum ilmu-ilmu syar’i dalam bentuk syair, agar mudah dipahami.
Maka, dapat dikatakan bahwa para ulama telah merumuskan metode pembelajaran ilmu-ilmu syar’i beserta ilmu-ilmu alat (gramatikal bahasa Arab) dengan metode pembelajaran yang telah terstruktur, agar mudah dipahami secara tersusun rapi.
Selanjutnya, karya-karya para ulama dijadikan bahan ajar bagi penuntut ilmu-ilmu syar’i. Berbagai lembaga pendidikan umat Islam menggunakan karya-karya para ulama sebagai kurikulum sesuai dengan pembahasan dalam karya tersebut.
***
Sebagai contoh penggunaan syair Jauharah At Tauhid untuk tingkat menengah atas. Sebelumnya di tingkat menengah pertama menggunakan Kharidah Al Bahiyah. Sebelumnya lagi adalah Aqidah Al ‘Awwam karya dari As Sayyid Asy Syarif Ahmad Al Marzuqi, guru dari As Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, yang merupakan guru dari KH Ahmad Dahlan.
Pembelajarannya pun berurutan dari para pengarang kepada para murid sampai kepada kita saat ini. Setelah mempelajari matan-matan tersebut, pengajarnya akan memberikan sanad (silsilah keilmuan) yang dipelajarinya dari gurunya sampai kepada para pengarang. Hal ini merupakan bentuk dari pertanggung jawaban atas otoritas keilmuan yang dia ajarkan kepada para muridnya.
Tentunya, dalam pembelajaran keilmuan saat ini, kita menghadapi tiadanya otoritas keilmuan oleh pihak-pihak yang menyampaikan sebuah informasi atau wacana yang disebutnya memiliki pondasi keilmuan, tetapi sebenarnya tidak. Kondisi yang terjadi adalah tiada rasa kepercayaan di tengah masyarakat tidak hanya kepada pemerintah dan ulama, akan tetapi juga sesama masyarakat sendiri.
Tiadanya rasa saling percaya ini merupakan keruntuhan pondasi rasa bertanah-air secara drastis. Selain itu, masyarakat akan sangat mudah terpengaruh fitnah yang dapat mengganggu stabilitas keamanan.
Maka dari pada itu, sebagai gerakan ilmu dan dakwah ilmu, persyarikatan Muhammadiyah, dalam menjewantahkan kata “Yad’una ilaa Al Khair” dalam Ali Imran ayat 104 di mana kata “Al Khair” diimplementasikan oleh KH Ahmad Dahlan salah satunya dalam bentuk sekolah (wadah ilmu).
Perlu menggalakkan kegiatan keilmuan berbasis turats, untuk menghadapi ‘krisis tiada rasa saling percaya’ yang dapat berakibat krisis moral. Tentunya, tidak cukup hanya kemampuan berinteraksi dengan turats, akan tetapi juga memiliki otoritas untuk menjelaskan turats dengan syarat memiliki sanad keilmuan sebagai pertanggung jawaban, agar tidak terjadi kegalatan dalam berfikir.
*Pengajar di Sekolah Kader Persyarikatan 6 Tahun, Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta.