Umat Islam: Gagap Modernisme?
Selama satu dekade terakhir, diskursus politik Islam di Indonesia lagi-lagi masih menggunakan isu-isu ideologis seperti tahun 1950-an ketika masih masa Konstituante, di mana Islam didorong menjadi ideologi dan hukum positif negara. Tumbuh kembangnya HTI dan membesarnya Islam fundamentalis adalah dua gejala yang membawa kita kembali merenungkan hubungan antara Islam dan Pancasila.
Sebenarnya, fenomena ini memperlihatkan betapa gagapnya umat Muslim dalam menghadapi modernisme. Umat beserta segala perangkatnya yang dibentuk pada abad-abad lalu, kini dipaksa hidup dengan modernisme yang rasional dan organis.
Karenanya, mereka selalu merindukan masa lalu yang keadaan sosialnya memang untuk masa itu, sekali pun menikmati hasil karya modernisme. Selalu ada upaya untuk kembali ke masa-masa kejayaan dan memaksanya untuk dioperasikan di abad modern. Padahal, struktur sosialnya sudah jauh berkembang.
Umat harus mampu beradaptasi dengan situasi kini agar agama tetap relevan di masa modern. Ciri masyarakat modern, diambil dari Kuntowijoyo dalam Ideologi Politik Umat Islam, adalah logis-rasional dan sistem-organis. Dengan kata lain, umat muslim modern harus terbina dan terdidik dengan kedua ciri tersebut.
Logis-Rasional
Pada ciri yang pertama, umat secara keseluruhan nampak gagal untuk mampu merealisasikannya. Bahkan, sebagian kelompok, terutama fundamentalis-puritan merasa alergi terhadap cara pikir logis-rasional. Ini adalah tugas berat pendidikan Islam di Indonesia.
Memang, ciri ini akan membuat kita kembali mendiskusikan hubungan akal dengan wahyu, tapi kita harus mampu melampaui diskusi abad pertengahan ini. Umat harus dipaksa sadar bahwa cara pikir logis-rasional adalah keniscayaan di masa sekarang. Semua produk modern yang kita gunakan adalah hasil dari cara pikir tersebut.
Cara pikir seperti ini perlu dibantu dengan metodologi yang konsisten agar kita mampu menentukan simbol-simbol Islam yang perlu ditinggalkan, yang perlu dipertahankan dan perlu diperbaharui. Misal, larangan untuk menjulurkan celana atau isbal bisa kita pahami ulang sebagai tren untuk berpakaian sederhana dan meninggalkan produk-produk mahal.
Atau seperti yang dicontohkan oleh Kuntowijoyo, yakni dengan menerjemahkan akhlaqul karimah dalam politik menjadi sebuah sikap anti-korupsi dan pembebasan politik dari kolusi pebisnis dan politisi.
Di sini perlu juga untuk diketengahkan wacana Kuntowijoyo yang lain, yakni perihal pengilmuan Islam. Wacana ini dilahirkan sebagai alternatif dari Islamisasi sains. Pengilmuan Islam berangkat dari teks dan tradisi Islam yang lama, lalu dikontekstualisasi ke masa sekarang agar objektif, faktual dan terbuka.
Penulis akan membawa contoh sederhana gambaran operasional wacana pengilmuan Islam. Dalam studi hadis, kita dapat menemukan apa yang dikenal dengan kritik biografis periwayat atau jarh wa al-ta’dil. Di sini kita akan mempelajari bagaimana sebuah berita dapat diterima berdasarkan kapasitas intelektual dan karakteristik moral si pembawa berita.
Dalam wacana pengilmuan Islam, kita bisa mengkontekstualisasikan metode-metode yang dikembangkan dalam kritik biografis tersebut dengan ilmu jurnalistik dan komunikasi. Intelektual muslim harus mampu menarik metodologi kritik biografis tersebut dan mengintegrasikannya ke dalam dua program studi tersebut.
Sistemik-Organik
Umat telah mampu memenuhi setengah dari ciri yang kedua. Setelah masa-masa liberalisme Hindia-Belanda, umat membentuk organisasi-organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Jami’atul Khair, atau Sarekat Islam. Pasca reformasi, umat juga melahirkan organisasi-organisasi baru seperti FPI, GNPF-Ulama, atau PA 212.
Umat juga sejak lama telah membentuk partai politik Islam untuk mengakomodir kebutuhan kaum Muslim secara politis, seperti PSII dan Masyumi. Setelah mengalami represi di era Orde Baru, parpol Islam kemudian tumbuh subur di era reformasi.
Ada yang menggunakan Islam sebagai asas partai, seperti PK (yang kemudian menjadi PKS), PBB dan PPP. Ada juga yang menggunakan modal massa ormas Islam sebagai basis massa partainya, seperti PAN atau PKB.
Sayangnya umat masih belum mampu berpikir sistemik. Kita harus mampu menerjemahkan teks-teks syariah menjadi sistem. Masyarakat modern digerakkan oleh sistem yang abstrak. Kuntowijoyo memberi contoh di mana hadis perintah membayar buruh sebelum keringatnya kering perlu dijadikan sistem pengupahan, bukan sekedar nilai-nilai personal.
Contoh sederhana lain adalah deskripsi Quran dan hadis perihal hari pertanggungjawaban di akhirat nanti dapat dijadikan rujukan sebagai sistem atau alat uji akuntabilitas negara. Setiap perbuatan, implementasi perkembangan sains dan teknologi, dan penggunaan harta, yang digunakan oleh negara harus dicatat, disiarkan dan dipublikasikan sebagai bentuk pertanggungjawaban dan transparansi negara.
Perlunya Menjadi Muslim Modernis
Perkembangan teknologi dan sains selama satu dekade terakhir memang sangat luar biasa. Tanpa ada pembatasan ideologi, siapa pun dapat menikmati kemajuan peradaban manusia, meski tentu saja ada harganya.
Kemajuan tersebut berhasil dicapai setelah manusia meninggalkan pikiran-pikiran mistis dan ideologis serta membangun sistem yang relevan dan non-personal sehingga mampu terbatasi dari su’ul adab atau perilaku koruptif. Adalah munafik jika kita menikmati produk-produk dari modern namun mengutuk modernisme sekaligus.
Namun bukan berarti kita menerima modernisme secara total. Kita masih perlu kebijaksanaan dan kedewasaan untuk memilah yang dijaga dan diperbarui. Selain itu, kita juga perlu sadar akan bias ruang-waktu yang membedakan umat muslim Malaysia dengan Indonesia, umat di Jawa dengan di Maluku.
Kegagalan kita dalam membaca situasi dan memenuhi kebutuhan umat akan membawa umat ke jalan yang salah. Umat akan terjebak pada simbol-simbol yang nanti akan menjadi mitos, atau membuat mitos-mitos baru, yang membuat kita didominasi oleh bangsa atau peradaban lain.