11 Desember lalu, Mas Menteri menyampaikan 4 kebijakan terkait dengan merdeka belajar yang selama ini di dengung-dengungkan sejak pidato Mas Menteri dalam acara Hari Guru Nasional di Kemdikbud RI beberapa waktu yang lalu. 4 kebijakan revolusioner mengubah kebijakan pendidikan sebelumnya terkait dengan ujian sekolah berstandar nasional (USBN), ujian nasional, rencana pelaksanaan pembelajaran dan peraturan penerimaan peserta didik baru (PPDB) zonasi.
Kebijakan USBN di tahun 2020 akan diganti dengan ujian (asesmen) yang hanya diselenggarakan oleh sekolah dalam bentuk tes tertulis yang menurut Mas Menteri lebih komperehensif, karena tidak semata tes koginitif, namun meliputi portofolio dan penugasan dalam bentuk tugas kelompok dan karya tulis. Asumsinya guru dan sekolah merdeka dalam menilai hasil belajar siswa.
Kebijakan UN, tahun 2020 besok merupakan UN terakhir. Di tahun 2021 UN diubah menjadi asesmen kompetensi minimum dan survei karakter yang dilakukan di tengah jenjang sekolah (kelas 4, 8 dan 11) dengan harapan guru dan sekolah di dorong memperbaiki mutu pembelajaran dan tidak lagi bisa menjadi basis seleksi siswa ke jenjang selanjutnya. Acuan konsep perubahan UN mengacu praktik baik gabungan PISA dan TIMSS di level internasional.
Mengenai RPP, guru cukup menuliskan RPP 1 halaman yang memuat tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran dan asesmen. Harapannya guru lebih mengoptimalkan pada aspek mempersiapkan, mengevaluasi proses pembelajaran. Kebijakan keempat adalah mengenai kebijakan PPDB Zonasi yang sebelumnya jalur zonasi minimal 80 %, jalur prestasi 15 % dan perpindahan 5 % menjadi jalur zonasi minimal 50 %, afirmasi yang memiliki kartu PIP minimal 15 %, jalur perpindahan maksimal 5 % dan prestasi 0 – 30 % disesuaikan dengan kondisi daerah.
Kebijakan ini diiringi dengan daerah diberi kewenangan menentukan proporsi final dan menetapkan wilayah zonasi dan pemerintah daerah di dorong redistribusi guru ke sekolah yang kekurangan guru. Dari keempat kebijakan yang disampaikan Mas Menteri ada beberapa catatan kritis kebijakan Mas Menteri tersebut karena ada beberapa kebijakan yang kontradiktif dan mengabaikan beberapa yang fundamental mengenai pendidikan
Kebijakan Harus Komprehensif
Membenahi pendidikan tidak bisa dilakukan hanya satu sisi semata. Berangkatnya dari hulu ke hilir, tidak hanya hulu atau hilir saja atau malah terbalik hilir ke hulu. Konsep adiluhung mengenai merdeka belajar yang disampaikan Mas Menteri yang didasari oleh belenggu dan beban yang dialami oleh guru, siswa dan sekolah. Kebijakan mengenai USBN yang telah dilaksanakan sebelumnya, sudah mengakomodir dan mendesain peran serta keterlibatan sekolah dalam hal ini guru menyusun soal USBN. Agar ada standarisasinya, diberikan anchor 25 % dari pusat melalui Badan Standar Nasional Pendidikan dan 75 % diberikan kewenangan guru menyusun soal USBN.
Dalam kenyataannya dan agar memudahkan proses penyusunan soal di lakukan koordinasi melalui MGMP dan MKKS bersama Dinas Pendidikan Provinsi (jenjang SMA dan SMK) dan Dinas Pendidikan Kabupaten (jenjang SD dan SMP). Kebijakan Mas Menteri lemah dalam hal standarisasi pendidikan. Jika kebijakan ini menjadi regulasi, masing-masing sekolah akan memiliki standarisasi pendidikan nasional.
Sebagai Kemdikbud Dikti, capaian USBN yang digulirkan Mas Menteri sulit untuk bisa memetakan capaian pendidikan yang telah dicapai dan dievaluasi bersama. Belum lagi model portofolio, tugas kelompok dls parameter antar sekolah bisa bias dan berbeda satu dengan yang lainnya dalam hal ketercapaian hasil asesmen tersebut apalagi jika menjadi parameter pendidikan nasional. Moderasi yang ditempuh melalui USBN yang mengakomodir berbagai pihak (pemerintah, guru dan sekolah) sejatinya telah memberikan jalan tengah yang arif dimana guru dan sekolah diberi peran yang sangat besar dalam USBN.
Guru yang menyusun pun telah melalui proses pelatihan training penyusunan soal bahkan aspek soal yang disusunnya pun 2 tahun ini telah menggunakan model high order thinking skillssehingga mengasah nalar kritis siswa sesuai dengan ruh kurikulum 2013. Kebijakan USBN yang telah berjalan tidak betul jika membatasi penerapan keleluasaan kelulusan. Karena sekolah sudah menerapkan dan leluasa memutuskan kelulusan siswa. Parameter yang digulirkan Mas Menteri di Komisi X DPR RI belum disampaikan secara komprehensif mengenai kebijakan perubahan USBN tersebut.
Kebijakan mengenai UN dan RPP Mas Menteri jika diasumsikan menjadi beban dan stres siswa dan guru dan orangtua solusi yang diketengahkan Mas Menteri tidak menyentuh akar utama belenggu pendidikan di Indonesia yaitu jumlah beban jam mata pelajaran yang diterima oleh siswa. Beban jam mata pelajaran siswa Indonesia mengalahkan negara Jepang, China apalagi Finlandia. Awal-awal Mas Menteri didapuk menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Perguruan Tinggi mengupayakan pendidikan kita bisa seperti Finlandia. Problem mendasarkan belenggu siswa, orangtua dan guru adalah beban mata pelajaran yang ada di sekolah menjadikan pendidikan kita tidak enjoyfull, apalagi happiness dan inspiratif. Beranikah Mas Menteri secara revolusioner merevolusi beban mata pelajaran sekolah kita?
Jika RPP semata yang disederhanakan sementara akar utama mengenai beban berat mata pelajaran kemerdekaan yang selalu didengung dengungkan tidak berani dirubah dan ditata ulang sia sia belaka. Karena belenggu utama siswa bahkan guru bukan hanya di RPP, tapi beban mata pelajaran kita overload. Jangan sampai menggugat pendidikan ibarat tong kosong yang nyaring bunyinya. UN yang digagas Mas Menteri dikembangkan dengan model embrio AKSI yang telah dikembangkan dibeberapa sampel sekolah dalam 3 tahun terkahir. Model PISA ala Indonesia ini akan optimal jika diiringi oleh mind set guru dan siswa mengenai proses pembelajaran yang tidak lagi aspek kognitif dan low order thinking skills(LOTS) dan enrichmentmodel pembelajaran yang menuntut siswa menjadi siswa yang literet.
Karenanya, 3 tahun ini penyusunan UN tidak lagi menggunakan perspektif LOTS namun bergeser ke HOTS inilah mengapa hasil UN menurun karena proses perubahan pembelajaran HOTS membutuhkan proses panjang tidak instan. Daya nalar kritis dan budaya literasi belum menjadi kultur sekolah yang diupayakan oleh guru dan sekolah. Pergantian model asesmen jika tidak diiring dengan proses pembelajaran yang memantik nalar kritis siswa dan menjadikan siswa literet tidak akan mengubah apapun.
Pendidikan Untuk Semua
Kebijakan Mas Menteri mengenai zonasi yang lalu sudah disusun agar tidak ada kastanisasi sekolah, kuotanya justeru mengembalikan lagi oligarki kastanisasi sekolah. Kebijakan ini kontradiktif dengan semangat education for all. Belum lagi mengenai redistribusi guru yang dilempar daerah tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kemdikbud pun harus ikut bersama sama dalam hal dstribusi tersebut.
Akhirnya, harapan Presiden Jokowi di aal terhadap Mas Menteri yang sempat menjadi kebijakan kontroversi karena inovasi revolusi yang dimiliki Mas Menteri mengenai apliksi teknologi yang mampu megentaskan kesenjangan pendidikan jauh dari panggang api, karena lagi lagi menyelesaikan pendidikan tidak bisa serampangan dan retoris belaka. Semoga kebijakan Mas Menteri tidak hanya retorika dan utopis.
Mari kita kritisi bersama sama tentunya untuk mewujudkan pendidikan yang sejati yakni memanusiakan manusia, bocah bocah dimardikaake pikire dan menjadikan manusia manusia muda seperti ulasan Ki Hajar Dewantara KH Ahmad Dahlan dan N Driyarkara yang telah dilakoni dan berperan nyata dan berkontribusi nyata pendidikan di Indonesia