Membahas permasalahan Khilafah di Indonesia memang tidak akan ada habisnya. Sebagian orang teguh memperjuangkan, sebagian lagi tetap patuh pada sistem pemerintahan yang sudah lama diterapkan.
Beberapa hari yang lalu, saya berkesempatan untuk melakukan diskusi sederhana dengan salah satu guru saya, Ustadz Fajar Al-Mahmudi, seorang alumni PUTM Yogyakarta, yang akan saya paparkan dalam tulisan ini.
Khilafah yang dimaknai sebagai sistem pemerintahan tunggal dengan menerapkan hukum Islam secara keseluruhan, masih menuai polemik karena dianggap bertentangan dengan konsep kenegaraan.
Seorang Muslim memang harus meyakini dan membenarkan adanya Khilafah, yang dijadikan sebagai konsep kepemimpinan Nubuwwah.
Namun, jika ada sebagian orang yang “memperjuangkan” Khilafah untuk mengubah dan merusak sistem pemerintahan yang sudah ada, hal seperti itulah yang dianggap salah. Bukan salah ajarannya, namun salah dalam usaha “memperjuangkannya”.
Padahal, untuk menerapkan hukum syari’at pun harus bertahap. Tidak bisa tiba-tiba langsung menerapkan dan mengganti apa yang sudah dijalankan, yang biasa dikenal dengan istilah Tadarruj.
Dalam Majmu’ah Rasa’il Ibn ‘Abidin, Ibnu Abidin menjelaskan, “kaidah tadarruj merupakan bagian yang melazimi kesempurnaan syariat dan kesesuaiannya pada setiap zaman dan tempat. Banyak sekali hukum-hukum syara’ berbeda perlakuannya menurut perbedan tempat, urf (kebiasaan) penduduknya, kondisi darurat, kerusakan masyarakat dan sebagainya.”
Ia melanjutkan, “jika hukum (langsung) ditetapkan seperti pada generasi awalnya, tentu akan lahir kesulitan dan mudarat bagi manusia. Juga menyelisihi kaidah-kaidah syariat yang dibangun atas pondasi kemudahan, keluwesan dan penolakan terhadap segala kesulitan dan kerusakan.”
Di Indonesia sendiri, sebenarnya tidak ada permasalahan dalam sistem pemerintahan dan penerapan hukumnya.
Karena meskipun tidak menerapkan syari’at Islam secara keseluruhan, namun hukum yang berlaku juga tidak menyimpang dari syari’at Islam. Bahkan, beberapa hukum di Indonesia, diputuskan dengan merujuk pada kaidah hukum Islam. Sebagaimana telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Konsep Khilafah yang Diperjuangkan
Sedangkan, mengenai konsep kekhilafaan yang sedang “diperjuangkan” sebagian orang, itu tidaklah relevan. Karena mereka menuntut untuk mengubah sistem pemerintah yang ada. Padahal kesalahannya bukan bersumber dari sistem pemerintahan yang diterapkan, melainkan berasal dari penyalahgunaan kekuasaan oleh beberapa oknum yang tidak mengindahkan pelaksanaan hukum di Indonesia.
Janji Allah, khilafah ‘ala minhajin nubuwwah memang akan tegak di akhir zaman. Menegakkannya memang butuh perjuangan. Namun, bukan dengan mengganti dan menghancurkan sistem pemerintahan yang sudah ada.
Seperti yang sudah dibahas di awal, untuk menerapkan hukum syari’at Islam haruslah bertahap. Hal ini dapat dimulai dari pengenalan, penyampaian, pembenahan, hingga akhirnya pada penerapan secara keseluruhan.
Maka untuk menyikapinya, daripada mengganti sistem yang sudah dijalankan, alangkah lebih baik jika kita mendukung dan memperkuat beberapa hukum Islam yang sudah diterapkan, agar seluruh umat Islam dapat bersatu.
Visi mewujudkan bangkitnya kejayaan Islam, itu diperlukan sebuah persatuan bukan perpecahan. Jika memang merindukan kebangkitan Islam, lakukan dengan perbaikan bukan perusakan. Jangan malah melakukan tindakan yang mengantarkan peradaban Islam dalam kehancuran.
Suatu ketika, Ziyad bin Hudair berdiskusi denga Umar bin Khathab, “tahukah apa yang menghancurkan Islam?” tanya Umar. Kemudian Ziyad menjawab, “tidak tahu.” Umar kemudian melanjutkan “yang menghancurkan Islam adalah tergelincirnya ulama dalam kesalahan, perdebatan orang munafik dengan Al-Qur’an, dan keputusan para pemimpin yang menyesatkan.”
Kemudian mengenai hakikat sebuah “perjuangan” sendiri, haruslah meninggalkan dampak nyata pada sesama. Perjuangan yang sesungguhnya, juga harus disertai dengan pelayanan dan pengabdian untuk kemaslahatan bersama.
Sebelum menginginkan kebangkitan Islam melalui sistem kekhilafaan, berusahalah untuk menjadi sebaik-baiknya khalifah di muka bumi. Dengan tidak hanya berusaha menegakkan hukum syari’at, namun juga menjadi pelayan bagi masyarakat. Baik itu melalui pendidikan maupun kegiatan sosial.
Editor: Dhima Wahyu Sejati