IBTimes.ID, Jakarta – Mensyukuri dua dekade, MAARIF Institute tahun ini menggelar rangkaian acara ‘Tadarus Ramadhan’ dengan menggandeng alumni Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan (SKK), alumni Jambore yang tersebar di sejumlah daerah, yang meliputi Sumatra (Padang, Bengkulu) Sulawesi (Makasar dan Manado) dan pulau Jawa (Bogor, Kuningan dan Malang). Acara ini bertujuan untuk mensosialisasikan pemikiran keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan Buya Syafii Maarif, khususnya di kalangan generasi milennial di seluruh penjuru tanah air.
Direktur Program MAARIF Institute, Moh. Shofan, mengatakan kegiatan yang dilakukan melalui layar aplikasi zoom ini, bisa menjadi ruang sekaligus arena perjumpaan yang memungkinkan generasi muda dapat berbagi pengetahuan dan pengalaman antarsesama yang memiliki latar belakang identitas yang berbeda, baik agama, etnis, suku, bahasa maupun budaya.
“Kerja sama dengan berbagai pihak mesti kita lakukan agar masyarakat, terutama generasi milennial, memiliki kesadaran dan tanggungjawab bersama untuk mewarisi serta melanjutkan pemikiran Buya Syafii”, jelasnya.
Bekerjasama dengan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB), UIN Imam Bonjol, Padang, dan UIN Mahmud Yunus, Batusangkar, Padang, acara yang bertemakan, “Konsistensi MAARIF Institute dalam Merawat Pemikiran Buya Syafii” ini menghadirkan sejumlah narasumber, di antaranya Abd. Rohim Ghazali (Direktur Eksekutif MAARIF Institute), Didi Rahmadi (UMSB), Nuraini (UIN Imam Bonjol, Padang). Acara ini dimoderatori oleh Deri Rizal (UIN Mahmud Yunus, Batusangkar, Padang).
Mengawali pemaparannya, Direktur Eksekutif MAARIF Institute, Abd. Rohim Ghazali mengatakan pemikiran Buya Syafii masih sangat relevan dalam memotret kondisi bangsa saat ini, utamanya pemikiran kritis terkait dengan isu keislaman, kebangsaan, kemanusiaan, kebinekaan, dan keadilan sosial.
“Semasa hidupnya, Buya selalu mengingatkan masyarakat untuk menyadari bahwa kondisi Indonesia yang beragam bisa rawan diprovokasi oleh kelompok yang memiliki kepentingan. Kondisi ini berpotensi memunculkan konflik di tengah isu politik identitas yang mulai bermunculan, apalagi jelang pemilu 2024”, pungkas Rohim.
Menurut Rohim, kecintaan Buya pada Indonesia bukan hanya harga mati, melainkan suatu keharusan. “Beliau ingin bangsa Indonesia tetap utuh sampai satu hari menjelang kiamat,” tuturnya.
Sementara narasumber kedua, Nuraini, yang merupakan alumni SKK MAARIF Institute, memaparkan bahwa Buya Syafii, merupakan tokoh Intelektual Muslim yang pemikiran-pemikirannya senantiasa berlandaskan kepada semangat moral agama. Pemikirannya tentang keagamaan mampu menjadi petunjuk moral bagi setiap masyarakat Indonesia dalam membangun kesatuan dan persatuan bangsa ini, jika diterapkan dengan benar dan adil atas nama kemanusiaan.
“Semangat Buya dan perjalanan intelektual yang awalnya begitu menggebu-gebu ingin mendirikan negara Islam hingga menjadi sosok tokoh pembela demokrasi dan pancasila sebagai sebuah bentuk ajaran moral bagi masyarakat Indonesia, harus menjadi cermin moral buat generasi selanjutnya”, jelas Nuraini.
Hal yang sama dikatakan oleh Didi Rahmadi, bahwa ketokohan Buya Syafii sebagai Kompas moral bangsa hingga hari ini belum tergantikan. Pesan pesan moral Buya, bahwa nilai-nilai keislaman harus mampu bergandengan erat dengan nilai-nilai keIndonesiaan dan kemanusiaan yang adil dan beradab, sehingga tercipta hubungan yang harmonis di tengah keragaman perlu dilanjutkan oleh generasi muda.
Acara yang dihadiri tidak lebih dari 100 orang peserta ini diharapkan mampu mendorong anak-anak muda untuk berpikir konstruktif, progresif dengan terobosan dan inovasi baik itu dalam bidang politik, sosial, agama, kemasyarakatan untuk melawan segala bentuk distorsi yang dapat menyebabkan perpecahan bangsa.
(Soleh)