Kasus intoleransi beragama di Indonesia terbilang banyak, baru-baru ini empat mahasiswa Universitas Teuku Umar (UTU) menggugah flyer ucapan memperingati jumat agung di akun Dewan Perwakilan Mahasiswa UTU. Mereka dimakzulkan dari kepengurusannya oleh Rektor kemudian menyuruh bersyahadat karena dianggap murtad.
Banyaknya kasus intoleransi menyuruh kita untuk merefleksikan kembali adanya agama-agama, apakah agama hadir untuk memonopoli kebenaran? Kebenaran hanya dimiliki satu agama kah? Bagaimana ukuran kebenaran masing-masing agama? Tulisan ini berupaya mengangkat pandangan Murji’ah (salah satu aliran teologi Islam) guna mencari titik terang atas masalah intoleransi beragama di Indonesia.
Apa itu Murji’ah?
Murji’ah diambil dari kata irja’ atau arja’a yang berarti penundaan, penangguhan dan pengharapan. Oleh karena itu, Murji’ah menunda penjelasan mengenai dua pihak yang saling bersengketa dalam urusan teologis. Latar belakang kemunculannya ditujukan untuk menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam saat terjadi pertikaian teologis.
Menurut Harun Nasution, ada empat ajaran pokok Murji’ah yaitu:
- Menunda hukuman atas Ali, Mu’awiyah, Amr bin ‘Ash, dan Abu Musa al-Asy’ari yang terlibat tahkim hingga kepada Allah pada hari kiamat kelak.
- Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
- Meletakkan iman lebih utama daripada amal.
- Memberi pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Sikap Murji’ah terhadap Masalah Intoleransi
Menyikapi bentuk intoleransi salah satunya penyebutan istilah kafir maupun murtad terhadap orang yang berbeda ajaran atau pemahaman. Sebelumnya, masalah tersebut sudah muncul setelah nabi wafat, dimana Khawarij menyebut Ali dan Muawiyah beserta golongan sebagai kafir karena tidak sesuai apa yang diajarkan oleh al-Qur’an.
Terlihat ajaran yang dipegangnya merupakan ajaran yang mutlak benar dan yang lain salah jika tidak sesuai dengan pemahamannya. Sikap eksklusif tersebut membuat orang beragama enggan membuka diri terhadap keberagaman agama sehingga timbul pemahaman yang sempit, tertutup, dan cenderung kebenaran dimiliki agama yang ia anut. Pemahaman seperti itu terbilang konservatif yang menurut Budhy Munawar Rachman akan melahirkan sikap intoleran.
Murji’ah ditengah situasi saling mengkafirkan mencoba bersikap netral, maksudnya tidak mau turut ikut bagian kafir-mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang saling bertentangan. Murji’ah sama sekali tidak mengeluarkan pendapat soal siapa yang kafir dan yang tidak kafir, baginya semua orang tidak akan keluar dari jalan yang benar. Meskipun perilakunya berseberangan, ia akan kembali pada jalan yang benar. Soal siapa yang kafir dan tidak kafir, benar dan salah, lurus dan sesat, mereka memandang lebih baik menunda yang penyelesaiannya ditentukan oleh Tuhan.
Sebagian orang memandang sikap tersebut malah membawa kemunduran peradaban Islam, karena tidak adanya kemauan mengambil sikap atau tindakan. Atau apa yang disebut fatalistik. Tapi dalam hal merawat toleransi beragama, sikap ini perlu diambil.
Sebagaimana apa yang dikatakan oleh Mustafa Akyol bahwa visi Murji’ah sangat penting dalam landasan keberagaman, agar dapat hidup berdampingan secara damai dengan segala perbedaan di antara kita, dan “menunda” keputusan akhir kepada Tuhan semata kelak di akhirat.
Senada apa yang dikatakan oleh Jalaluddin Rumi dalam karyanya “Fihi Ma Fihi” bahwa agama tidak akan pernah menjadi satu kecuali di akhirat kelak pada hari kiamat. Di dunia ini, ketunggalan agama adalah hal yang mustahil”, tinggal kita sebagai umat beragama harus berwatak moderat dan toleran terhadap keragaman agama.
Menciptakan Kedamaian
Murji’ah dalam berdakwah bukan menghakimi bahwa si fulan kafir, sesat, murtad bahkan halal darahnya karena berbeda dengan pemahaman kita. Murji’ah ingin mengajak, bukan mengejek. Baginya, klaim kafir, salah, sesat merupakan hak prerogatif Tuhan. Tuhan lah yang berhak memutuskan siapa yang benar dan salah, siapa yang kafir dan tidak kafir.
Menghukum atas nama Tuhan bagi Murji’ah merupakan tindakan yang arogan dan hanya mementingkan dirinya sendiri karena klaim kebenaran hanya dimiliki oleh dirinya sendiri sehingga ingin mendominasi orang lain.
Sikap Murji’ah akan membawa pada kedamaian dalam beragama sekaligus menandakan perilaku moderat, salah satunya ialah punya toleransi tinggi. Pembangunan ibadah agama lain, umat agama lain sedang beribadah, dan lain sebagainya tidak dipermasalahkan karena semuanya berada pada jalan kebenaran masing-masing tanpa harus menyalahkan jalan kebenaran lain. Lagi pula semua agama akan berujung pada perjumpaan dengan Tuhan yang Maha Esa.
Kebenaran milik Tuhan dan hanya Tuhan yang mempunyai ukuran kebenaran sendiri, agama hadir untuk membuat manusia beradab bukan malah tidak beradab.
Ajaran Tuhan yang dalam bentuk kitab suci agama mestilah juga dipahami secara kontekstual, utuh, moderat dan inklusif agar melahirkan pemahaman yang menyeluruh dan berimplikasi pada sikap yang menjunjung nilai-nilai moderasi beragama seperti egaliter, musyawarah, reformasi, mengambil jalan tengah, berkeseimbangan, lurus dan tegas, toleransi, mendahulukan yang prioritas, dinamis, dan inovatif serta berkeadaban.
Di antara semua nilai di atas, Murji’ah menyimpan nilai egaliter, mengambil jalan tengah, toleransi dan berkeadaban.
Editor: Soleh