Perspektif

“Berdamai dengan Covid-19” atau Bunuh Diri Massal?

3 Mins read

Seruan “berdamai” dan “berdampingan” dengan Covid-19 sepintas masuk akal dan realistis. Presiden Joko Widodo mengatakan masyarakat mau tidak mau harus menyesuaikan diri berdampingan dengan kondisi baru pasca-pandemi. Dia menegaskan “kita ingin masyarakat tetap produktif dan aman dari Covid” (16/5). Presiden juga khawatir banyak orang akan berhadapan dengan pemutusan kerja. Ancaman terhadap stabilitas ekonomi riil dan pengangguran, membayang-bayangi Indonesia.

Meski demikian, “seruan berdamai dengan Covid-19” merupakan diplomasi politik, dan bukan strategi taktis perbaikan ekonomi. Padahal, problem pengangguran, kelaparan dan kematian adalah isu bersama yang tengah menjadi perbincangan sehari-hari di ruang publik.

Kini, semua orang, sadar bahwa kebijakan ketenagakerjaan, iklim investasi negara, keuangan dan kordinasi perekonomian nasional sangat bermasalah. Banyak orang sadar bahwa meski mereka punya profesi yang berbeda-beda, hakikatnya mereka merupakan “pekerja rentan”.

Tidak peduli apakah anda seorang tenaga pendidik universitas, seorang pedagang toko kelontong, karyawan swalayan berjejaring atau pengangkut sampah kampung. Semua pada akhirnya berada dalam satu situasi serupa: rentan.

Solusi Tanpa Pemecahan Masalah

Seruan berdamai atau berdampingan dengan Covid-19 itu adalah “solusi” yang tidak menghasilkan pemecahan masalah. Banyak orang sepakat bahwa solusi utama kerusakan ekonomi yang dihadapi semua negara, baik negara maju maupun berkembang adalah transparansi dan efisiensi anggaran, perbaikan birokrasi, pengawasan ketat kebocoran anggaran negara, dan pemerataan jaminan sosial.

Jadi, solusi atas strategi ekonomi nasional bukanlah dengan menyarankan masyarakat kembali pada sistem tatanan ekonomi lama. Melainkan mengatur ulang orientasi anggaran negara, mendisiplinkan aturan main investasi yang kerap bocor, memperkuat pengawasan penggunaan anggaran negara, dan memangkas habis proyek-proyek investasi yang menguras habis cadangan uang publik.

Berdamai dengan bencana adalah sikap yang tepat, tapi menyikapi krisis sebagai tanpa strategi balik yang radikal adalah kekeliruan fatal. Ancaman kelaparan, kematian dan kerusuhan sosial bukan situasi baru. Krisis pangan, kesehatan, dan sosial adalah konsekuensi dari sistem ekonomi dan politik yang tidak terkendali atas asas kepentingan warga-publik.

Baca Juga  Tilik Muhammadiyah, 108 tahun Meneguhkan Gerakan Keagamaan dan Masalah Negri

Jadi, bukan disebabkan oleh bencana. Sebab, kerusakan akan menyerang siapapun, dan dampaknya akan terus membesar serta meluas bagi kelompok warga yang berada pada struktur piramida paling bawah. Mereka adalah kelompok paling rentan, yang “sudah jatuh, tertimpa tangga pula”.

Asal Usul Wabah

James C. Scott dalam Against the Grain (2017) menjelaskan bagaimana “negara” merupakan sumber penyakit. Fase domestikasi alam selama masa pembentukan “negara-awal” menghasilkan tiga “beban” pada “warga-biasa” (nonelites): keterpaksaan menuju agrikultur, epidemi, dan pajak. Campak, gondong, difteri, malaria, dan berbagai penyakit infeksi lainnya muncul seiring dengan terbentuknya konsentrasi komunitas (yang pada akhirnya kita sebut penduduk).

Penyakit-penyakit ini hadir karena ada kerumunan manusia. Sebab, kerumunan manusia mendorong kebutuhan pangan yang lebih banyak. Mulailah orang membabat hutan sebagai ganti lahan pertanian. Hewan tertentu mulai diternak, terutama ayam, sapi, kambing, domba, dan babi. Aktivitas pertanian dan peternakan ini memungkinkan negara muncul melalui relasi “upeti” yang kita kenal akhirnya sebagai pajak. Apa yang kita sebut sebagai “pemerintah” tidak lain merupakan efek dari interaksi “setor upeti” tersebut.

Jika domestikasi alam seperti pertanian dan peternakan saja berdampak luas pada kemunculan penyakit infeksi, bagaimana dengan aktivitas ekstraksi, privatisasi, eksploitasi, dan reklamasi alam? Pernahkah ada yang bertanya mengapa lonjakan populasi manusia antara tahun 10.000 SM hingga 5.000 SM hanya satu juta orang? Mengapa tidak ada peristiwa “bonus demografi”? Scott menduga penyebab utamanya adalah epidemi. Bukti arkeologis atas hipotesis ini sulit, sebab epidemi seringkali tidak meninggalkan bekas pada tulang manusia.

Bukti atas dugaan ini justru muncul gamblang. Prinsip bahwa penyakit-penyakit tertentu bisa menular sudah ada bahkan sejak era populasi “negara-awal” Mesopotamia. Begitu pula dalam khazanah keagamaan, seperti Yahudi, Kristen,  dan Islam. Mereka mengenal praktik karantina diri. Para tentara, pengelana, dan pedagang juga sering dianggap sebagai sumber wabah.

Baca Juga  Bekal 'New Normal' : Imun, Iman, dan Ilmu

Berdasarkan pertimbangan sejarah epidemi, seruan “berdamai” atau “berdampingan” dengan wabah adalah tindakan bunuh diri massal. Negara modern seharusnya lebih rapi dan bertanggungjawab atas kehidupan warga masyarakatnya sendiri.  

Seruain Damai: Strategi Menyakitkan

Wabah Covid-19 menguak aib konsep pertumbuhan ekonomi. Asia Tenggara dan India tidak sendirian, ada Eropa Barat dan Amerika Utara yang jeblok dalam urusan kesehatan. Indeks pendapatan bruto dan angka pertumbuhan ekonomi keok dan hanya omong kosong. Negara-negara paling maju pun ternyata tidak punya uang untuk menolong masyarakat miskin.

Seruan “berdamai” dengan dalih “ancaman ekonomi nasional” jelas bukan untuk menyelamatkan ratusan juta jiwa manusia (yang memang sebelum pandemi terjadi tidak pernah dipikirkan) tapi untuk mempertahankan siklus purna ekonomi rente. Tidak ada maksud lain. Jika pun ada niat baik semacam itu, pastilah sudah diubah sejak dekade 90an ketika badai krisis Asia melanda, dan bukan baru sekarang.

Tidak ada pemerintah di negara mana pun yang bisa membuktikan bahwa “berdamai” dengan wabah merupakan jalan keluar atas masalah kesehatan dan keadilan sosial. Tidak ada yang akan mampu menjamin hal semacam itu secara empiris dan terukur. Apalagi jika agenda penataan ulang kebutuhan pangan nasional, stabilisasi komoditas dalam negeri dan penyesuaian ulang sistem perbankan terutama level mikro dilakukan.

Intinya, penyelamatan ekonomi nasional merupakan serangkaian cara menegosiasikan dan mendisiplinkan cara kerja distribusi kesejahteraan. Bukan dengan melanggengkan ketimpangan itu terus menerus.

Persuasi “berdamai” dengan wabah adalah strategi paling menyakitkan yang bisa dipilih padahal kita sudah mendengungkan revolusi teknologi. Seharusnya problem kematian dan kemelaratan bisa diatasi dengan lebih baik. Kita harus belajar lebih baik menjadi manusia karena kita punya pengetahuan dan moralitas.

Baca Juga  Siapkah Sekolah Muhammadiyah Menghadapi New Normal?

Negara modern haruslah berdamai kembali dengan masyarakat sipilnya sendiri. Sistem keuangan haruslah berdamai dengan prinsip kepentingan publik. Sistem jaminan sosial haruslah berdamai dengan kerentanan tak terelakkan manusia modern. Jika itu sudah dilakukan, barulah ajakan “berdamai” bisa bermakna keadilan dan perbaikan.

Editor: Yahya FR
Avatar
50 posts

About author
Penggiat Rumah Baca Komunitas (RBK), Yogyakarta. Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *