Oleh: Daffa Salsabila Putra*
Islam secara teologis merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat Ilahiyah dan transenden. Sedangkan secara sosiologis merupakan fenomena peradaban, kultural dan realitas sosial dalam kehidupan manusia. Dialektika Islam dengan realitas kehidupan terus menerus menyertai agama ini sepanjang sejarahnya.
Islam dan Kearifan Lokal
Sejak awal kelahirannya, Islam tumbuh dan berkembang dalam suatu kondisi yang tidak hampa budaya. Realitas kehidupan ini memiliki peran yang cukup signifikan dalam mengantarkan Islam menuju perkembangannya yang aktual. Sehingga sampai pada suatu peradaban yang mewakili dan diakui oleh masyarakat dunia
Relasi antara Islam sebagai agama dengan budaya lokal sangat jelas dalam kajian antropologi agama. Dalam perspektif ini diyakini bahwa agama merupakan penjelmaan dari sistem budaya. Berdasarkan teori ini, Islam sebagai agama samawi dianggap merupakan penjelmaan dari sistem budaya suatu masyarakat muslim.
Islam sebagai agama, kebudayaan, dan peradaban besar dunia yang masuk ke Indonesia pada abad ke-7 dan terus berkembang hingga kini, telah memberi banyak kontribusi terhadap keanekaragaman kebudayaan nusantara. Kearifan lokal atau tradisional sesungguhnya merupakan bagian dari etika dan moralitas. Membantu manusia untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana harus bertindak khususnya dibidang pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam.
Pengertian kearifan lokal (tradisional) menurut Keraf (2002) adalah “semua bentuk pengetahuan, wawasan, keyakinan, serta adat kebiasaan atau etika yang menuntut perilaku manusia dalam kehidupan didalam komunitas ekologis“. Nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam suatu sistem sosial masyarakat, dapat dihayati, dipraktikkan, diajarkan, dan diwariskan dari suatu generasi ke generasi lainnya. Kearifan lokal sekaligus membentuk dan menuntun pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap alam maupun lingkungan. Nababan (2003) menyatakan bahwa masyarakat adat umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal yang diwariskan dan ditumbuhkembangkan terus menerus secara turun temurun
Secara subtansial, Upacara Maulid Nabi adalah suatu bentuk kebudayaan tradisional. Maulid Nabi merupakan salah satu bentuk rasa cinta umat kepada Rasul Nya tercatat dalam sepanjang sejarah kehidupan. Menjadi representasi bahwa Nabi Muhammad SAW adalah pemimipn besar yang sangat luar biasa dalam memberikan teladan agung bagi umatnya.
Dalam konteks ini, Maulid harus diartikulasikan sebagai salah satu upaya transformasi diri atas kesalehan umat. Yakni, sebagai semangat baru untuk membangun nilai-nilai profetik agar tercipta masyarakat madani (Civil Society) yang merupakan bagian dari demokrasi seperti toleransi, transparansi, anti kekerasan, kesetaraan gender, cinta lingkungan, pluralisme, keadilan sosial, ruang bebas partisipasi, dan humanisme.
Syarat Maulid Nabi
Bahwa pada dasarnya Maulid Nabi boleh saja diadakan, dengan beberapa syarat:
1. Sebagai sebuah tradisi, hendaknya Maulid Nabi tidak dianggap sebagai indikator mutlak bukti kecintaan pada Rasulullah Saw. Kecintaan dan penghormatan kita pada Rasulullah Saw. harus dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari dengan mengerjakan serta meninggikan sunnah-sunnahnya, mempelajari kehidupannya secara utuh termasuk jihad dan cara beliau mengelola negara, serta meneladaninya dalam setiap aspek kehidupan baik dalam bidang akhlak, ibadah, pemerintahan, hukum, militer, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya.
2. Perayaan Maulid Nabi tidak dianggap sebagai perbuatan ibadah yang wajib dan rutin dilakukan. Tidak mengadakan Maulid Nabi tidaklah berdosa apalagi dihukumi sesat.
3. Acara perayaan Maulid Nabi tidak diisi dengan perbuatan syirik, praktik paganisme, dan kemaksiatan. Semisal menganggap bahwa ruh Rasulullah hadir pada acara Maulid Nabi, mengharap berkah dari makanan-makanan yang dihidangkan, bercampurnya laki-laki dan perempuan, tarian-tarian, meminum khamr, pulang larut malam, menghaburkan uang dan sebagainya.
4. Hendaknya mengadakan perayaan Maulid Nabi tidak sampai melalaikan kaum muslimin dari kewajiban dan sunnah-sunnah yang utama, seperti shalat shubuh berjamaah, shalat Tahajud, dan lain-lain. Selain itu, hendaknya setiap orang memperhatikan bahwa uang yang dipakai mengadakan Maulid Nabi secara besar-besaran bisa jadi dapat dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih penting bagi umat
Ada ulama yang menganjurkan, seperti Imam Jalaluddi As Suyuthi dan Ibnu Hajar Al Asqalani. Namun mereka mengingkari praktek-praktek bid’ah yang dilarang agama islam. Perbuatan yang dilarang tersebut antara lain mengandung unsur syirik serta memuja-muja Nabi Muhammad saw secara berlebihan, seperti membaca wirid-wirid atau bacaan-bacaan sejenis yang tidak jelas sumber dan dalilnya.
Hukum Maulid Nabi
Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw juga sebaiknya harus mengandung manfaat untuk kepentingan dakwah Islam, meningkatkan iman dan takwa, serta mencintai dan meneladani sifat, perilaku, kepemimpinan dan perjuangan Nabi Muhammad saw, sebagaimana ditegaskan Allah dalam Firman-Nya:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” [QS. al-Ahzab (33): 21
Dengan demikian, perayaan Maulid Nabi adalah suatu hal yang mubah. Namun kemubahan ini bisa menjadi Sunnah yang sangat dianjurkan ketika di dalamnya berisi kegiatan-kegiatan untuk meneladani Rasulullah Saw. Namun di sisi lain, perayaan tersebut bisa menjadi makruh bahkan haram jika terdapat kemungkaran di dalamnya serta melalaikan kewajiban-kewajiban yang lain.
*) Kabid Tabligh IMM Al Farabi UIN Sunan Ampel Surabaya