Kembali kepada Al-Qur’an dan sunah. Itulah jargon purifikasi paling sah untuk organisasi Islam seperti Muhammadiyah. Jargon ini jelas memililiki konsekuensi praxis dalam keseharian maupun dalam kehidupan kemasyarakatan. Ada semacam tuntutan yang harus didera para individu yang menganut purifikasi ini. Sehingga tajdid harus terus dilakukan sebagai upaya menyelaraskan sebuah prinsip hidup dengan tantangan-tantangan modernitas.
Salah satu bidang yang selama ini getol disuarakan oleh para aktifis Islam saat menyinggung purifikasi adalah kesalahpahaman sebagian publik saat menafsir konsep perjuangan nabi dan saat nabi memerintah di Madinah.
Orang kemudian bergegas mewujudkan cita-cita politik dan berhasrat mendirikan negara Islam. Pada tulisan kali ini saya tak hendak mengurusi lebih jauh perihal perdebatan negara Islam. Akan tetapi saya akan menyinggung sedikit perihal bagaimana metode didaktik Rasul yang sering dilupakan oleh baik kalangan pendidik maupun orangtua kita.
***
Bagaimana Rasul menerapkan metode didaktiknya kepada keluarga, sahabat, hingga kaumnya di kala itu sehingga Rasul dikenal sebagai gurunya manusia paling akbar dalam sejarah umat manusia.
Nizar Abashah (2010) dalam bukunya Sekolah Cinta Rasulullah mengisahkan bagaimana nabi dengan penuh kelembutan dan canda tawa saat mendidik anak-anak. Dua peristiwa yang kerap ditulis adalah saat nabi sujud dan cucu beliau berada di punggung beliau, maka Rasul pelan-pelan menurunkannya terlebih dahulu. Kisah lain adalah saat nabi bercanda dan balapan lari dengan Aisyiah. Kisah ini saya yakin hanya sebagian kecil dari cerita saat nabi mendidik anak-anak mereka.
Pengasuhan nabi kepada para sahabat memang sudah sering kita dengar. Teguran, saran, penglihatan ke depan, sampai pada memberikan kepercayaan kepada para sahabat mereka dalam hal perang, kepemimpinan, dan menjawab aneka masalah sering diceritakan dalam hadis. Akan tetapi, bagaimana nabi menampilkan karakter sebagai pendidik anaknya Fatimah, belum selengkap kisah nabi bersama sahabatnya.
Nabi sendiri dididik oleh Jibril yang langsung di bawah pengawasan Allah. Melalui nabi pula, kita yakin bahwa Allah sebenarnya sudah menurunkan bagaimana metode didaktik mendidik manusia.
Saya bersyukur menemui pustaka perihal bagaimana metodik didaktik Rasul. Dr. Mustafa Muhammad al-Thahhan (2017) menulis buku Gurunya Umat Manusia. Pada buku itu, diterangkan bagaimana cara nabi mendidik sahabat, keluarga hingga umatnya.
***
Ada beberapa hal yang saya catat mengenai metode didaktik nabi. Di bantaranya adalah pertama, mengajar dengan penuh cinta dan kasih. Kedua, bersikap lemah lembut kepada murid. Ketiga, mengindahkan jiwa dan watak murid. Keempat, tak lelah menggali potensi murid. Kelima, mendidik secara bertahap. Terakhir, ia selalu menjadi guru yang jelas bicaranya.
Allah sendiri berfirman di dalam surat Ali Imran ayat 159 : “Maka disebabkan rahmat (kasih sayang) dari Allah-lah engkau berlaku lemah lembut kepada mereka. Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka telah menjauh dari sekelilingmu. Inilah bagian dari kekuasaan Tuhan mendidik nabi dengan penuh kelembutan sehingga nabi pun mendidik muridnya dengan penuh kasih dan keteladanan.
Konsep pendidikan welas asih, penuh kekeluargaan dan mengikuti jiwa anak ini juga diterapkan hampir pendidik dunia, termasuk Ki Hajar Dewantara. Mardikake jiwane murid (Memerdekakan jiwa murid).
***
Artinya, gurulah yang mengikuti kemerdekaan jiwa anak. Bukan membelenggu jiwanya. Pembelajaran yang penuh kekerasan, dan melawan kodrat anak akan gagal. Terbukti anak yang dididik dengan penuh kasih, ia akan berhasil lebih banyak ketimbang dididik dengan kekerasan dan paksaan.
Disamping itu, nabi juga melihat siapa yang bertanya, siapa si murid. Pertanyaan yang sama dari Abu bakar dengan Si Badui tentu akan beda jawabannya. Inilah cara nabi mendidik dengan melihat siapa si murid. Cara mendidiknya pun berbeda.
Memang masih sedikit riwayat dan kisah nabi mendidik muridnya. Sebab di masa itu, belum muncul memang sekolah model formal seperti sekarang. Akan tetapi nabi memiliki Darul Arqom yang digunakan sebagai ruang mendidik para murid dan sahabatnya.
***
Kita tentu membutuhkan lebih banyak lagi pijakan yang lebih jauh untuk acuan dan rujukan yang bisa digunakan di sekolah-sekolah Islam. Agar para pengelola sekolah Islam mampu memahami benar bagaimana konsep dan model didaktik Rasul. Tanpa gairah untuk melacak sejarah itu, tentu saja bangunan sekolah Islam di masa depan akan semakin kering dan tanpa pijakan yang valid.