Kebenaran menjadi olok-olok dan keabsahannya ditentukan bukan berdasarkan fakta melainkan preferensi dan subjektivitas pribadi. Inilah yang disebut dengan post-truth atau pasca kebenaran. Bahaya post-truth ditandai dengan banyaknya berita-berita palsu yang membiaskan kebenaran. Sisi emosional lebih dominan ketimbang pikiran logis.
Kondisi tersebut sebetulnya mengkhawatirkan. Ditambah lagi pengguna jejaring media sosial jauh lebih banyak ketimbang media berita mainstream. Masalahnya media sosial tidak memiliki tim editor untuk mengoreksi setiap tulisan. Akhirnya setiap informasi yang dimuat tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Berbagai Fenomena Mengenai Bahaya Post-Truth
Seorang novelis dan penulis skenario asal Serbia-Amerika, Steve Tesich, mengkritik masyarakat Amerika dalam tulisannya berjudul “The Watergate Syndrome: A Government of Lies” tahun 1992, karena membenarkan kebohongan George Bush dan secara sadar memutuskan untuk hidup di dunia pascakebenaran.
Pada tahun 2016, peristiwa Brexit (Britain Exit) dan pemilihan presiden Amerika Serikat juga menjadi sorotan penting bagi maraknya post-truth di masa sekarang. Pasalnya, banyak berita bohong yang tersebar dan mempengaruhi kepercayaan publik.
Kehadiran media sosial memperkuat keadaan ini. Banyaknya Informasi yang mudah diakses oleh siapa saja dengan bermodalkan internet dan gawai pintar, secara instan orang dapat mencari, membuat, bahkan memanipulasi informasi.
Seorang jurnalis The Guardian, James Ball, dalam bukunya “Post-Truth: How Bulshit Conquare The World” mencatat bahwa Facebook menjangkau lebih dari 1 miliar orang per harinya. Angka ini jauh lebih besar daripada situs berita terbesar di dunia, The MailOnline yang hanya menjangkau 15 juta orang per hari atau BBC 4,5 juta per hari.
Pada bulan Maret 2020, seorang ibu rumah tangga asal Lampung menyebarkan berita bohong melalui Facebooknya. Menurut Kompas.com, si ibu menulis bahwa di Lampung sudah ada yang terpapar virus Corona.
Sebanyak 4.000 orang yang telah membaca postingan tersebut. Akibatnya, warga setempat menjadi resah. Padahal kabar tersebut ia dapatkan dari saudaranya. Karena kebenaraannya tidak bisa dibuktikan, akhirnya polisi mengamankan ibu tersebut atas dugaan penyebaran berita bohong.
Hoax tidak hanya disebarkan oleh masyarakat sipil saja. Politikus juga sering menyebarkan berita bohong. Salah satu contoh paling populer adalah Donald Trump. Pada 2017, Trump dianugrahi penghargaan Lie of The Year 2017. Gelar tersebut sangat cocok disematkan kepadanya, mengingat Trump banyak menyebarkan berita palsu.
Belum tiga tahun menjabat sebagai presiden, menurut catatan The Washington Post Fact Checker, Trump telah mengutarakan 10.000 hoax. Saking seringnya ia menyebarkan klaim-klaim palsu, pada 26 Mei 2020 Twitter memberikan tanda berita bohong pada cuitan Trump.
Dikutip dari Suara.com, untuk pertama kalinya posting-an Trump mendapat tanda khusus di bawah kicauannya dengan tulisan “Get the fact about the mail-in-ballots”. Pasalnya, ia menuduh pengiriman surat suara menggunakan mail-in ballots atau pos akan menimbulkan kecurangan untuk pemilihan presiden nanti.
Mengapa Post-Truth Bisa Merebak di Masyarakat?
Sebuah studi yang dilakukan oleh peneliti Massachusetts Institute of Technology (MIT) mengungkapkan bahwa berita bohong 70% lebih banyak disebarkan melalui twitter. Menariknya studi ini menemukan fenomena yang baru. Alih-alih berita palsu disebarluaskan oleh bot, hoax ternyata lebih cepat menyebar karena pengguna twitter ramai-ramai meritwitnya.
Menurut Gordon Pennycook dari Yale University dalam jurnalnya yang berjudul “Running Head: Prior Exposure and Fake News” alasan berita bohong mudah dikonsumsi orang karena rendahnya kemampuan berpikir analitik. Banyak orang hanya membaca judul berita atau membaca beritanya namun langsung pada point yang ingin diketahuinya.
Padahal judul sering dibuat clickbait dan biasanya ditulis menggunakan bahasa yang menarik dan terkadang provokatif demi memikat minat pembaca. Membaca suatu berita secara utuh saja masih mungkin terkena berita bohong apalagi membacanya sepotong-spotong.
Keengganan seseorang membaca berita secara utuh dan kritis boleh jadi karena orang malas memahami berita yang terlalu rumit. Dikutip dari Hellosehat.com, pakar psikologi dan ilmu saraf mengatakan bahwa secara alamiah setiap orang cenderung mempercayai informasi yang mudah dicerna.
Otak melepaskan hormon dopamin setiap kali seseorang memahami fakta atau informasi tertentu. Hormon ini bertanggung jawab membuatnya merasa positif, bahagia, dan nyaman. Sebaliknya, saat otak menerima atau membaca informasi yang rumit, bagian otak yang mengatur rasa sakit justru aktif.
Selanjutnya, orang cenderung menerima informasi yang sesuai dengan keyakinannya saat ini. Perilaku ini dinamakan bias konfirmasi. Saat seseorang menemukan informasi yang tidak mendukung keyakinannya, ia cenderung menolak. Malahan mencari pembenaran atas keyakinannya.
Adanya algoritma media sosial memperparah fenomena ini. Setiap kali seseorang mencari sebuah berita atau informasi, media sosial mempelajari apa yang disukai dan sering dibaca oleh pengguna. Kemudian konten-konten yang disukai akan lebih sering dilhat ketimbang konten-konten yang tidak disukai.
Ekosistem yang terbentuk semacam ini berimplikasi menciptakan informasi yang homogen. Seseorang lebih sering melihat informasi yang mendukung pandangan pribadinya kendati pandangan itu belum tentu benar dan sesuai fakta.
Nasihat untuk Menghadapi Bahaya Post-Truth
Bagi pengguna media sosial, jangan sampai latah membagikan berita yang belum dibacanya secara utuh. Sering kali berita-berita di media sosial disajikan secara sepotong-sepotong. Belum lagi narasi-narasi yang berlebihan dan provokatif banyak ditemukan.
Cari informasi dan baca secara utuh di koran atau media-media daring terpercaya. Setiap berita yang mencantumkan ajakan “sebarkan” harus ditelisik kebenarannya. Perhatikan detail informasi seperti relevansi gambar dengan isi berita, waktu penerbitan, penulis, kredibilitas media, sampai data-data yang disajikan.
Belum cukup sampai di situ, pembaca perlu memastikannya lagi dengan menggunakan situs cek fakta. Banyak media berita online yang sudah menyediakan situs semacam ini, seperti Cekfakta.com, Cek Fakta Tempo, dan lain-lain.
Selain itu, jauhi perasaan ingin selalu benar. Buka pikiran dengan meragukan informasi yang sebelumnya dipercayai. Bias konfirmasi terjadi karena seseorang memiliki kecenderungan tidak ingin disalahkan. Jauhi ego pribadi semacam ini. Tanamkan pada pikiran bahwa mengetahui kesalahan lebih baik dari pada membenarkannya.
Sebagai penutup, perlu diingat kata-kata seorang propaganda modern, Josep Geobble “a lie told once remains a lie but a lie told thousand times becomes the truth.” Kebohongan yang dikatakan sekali tetap dianggap sebagai kebohongan. Namun jika disebarkan terus menerus akan sampai pada satu titik di mana kebohongan tersebut dianggap benar.