Ragam Kasus Penipuan Berkedok Syariah
Skandal biro perjalanan umroh First Travel mengagetkan publik pada tahun 2018 sebab jumlah kerugiannya yang fantastis. 63.310 orang calon jamaah harus merelakan uangnya raib, total kerugian calon jamaah mencapai 905 miliar rupiah.
Akibat perbuatannya, pengadilan menjatuhkan vonis 20 tahun dan 18 tahun penjara kepada pasangan Andika Surachman dan Anniesa Hasibuan pemilik First Travel. Belakangan polemic terkait First Travel kembali mencuat terkait putusan mahkamah agung yang menyita asset First Travel untuk Negara tidak dikembalikan kepada korban penipuan.
Akhir tahun 2019 publik kembali dikejutkan dengan dua penipuan berkedok syariah, yakni investasi Kampung Kurma dan penipuan perumahan syariah. Penipuan investasi Kampung Kurma mulai terkuak setelah nasabah merasakan kejanggalan karena pohon kurma yang tak kunjung ditanam dan kawasan syariah yang tak kunjung dibangun.
Padahal awalnya pengelola menjanjikan dengan modal 99 juta rupiah, nasabah bisa berinvestasi dan mendapatkan bagi hasil yang menguntungkan. Kenyataannya keuntungan bagi hasil tak didapat dan dana modal nasabah tak dikembalikan. Para nasabah kemudian mendatangi pengelola, kemudian kasus ini mendapatkan perhatian dari berbagai pihak diantaranya, Otoritas Jasa Keuangan, Majelis Ulama Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum Bogor.
Tak lama setelah terbongkarnya penipuan Investasi Kurma, publik kembali dikejutkan dengan kasus penipuan perumahan syariah. Beberapa tahun ke belakang tumbuh subur konsep perumahan syariah dimana konsumen bisa membeli rumah tanpa riba dan tanpa melibatkan pinjaman dari bank. Konsumen bertransaksi secara langsung dengan perusahaan.
Diantara sekian banyak perusahaan property syariah, ternyata ada oknum yang melakukan penipuan. Syna Group di Bandung disinyalir melakukan penipuan terhadap 135 orang konsumen dengan kerugian mencapai 11,4 miliar rupiah. Pemilik Syna Group menjadi tersangka kasus penipuan dan sedang menjalani sidang di Kejaksaan Negeri Bandung.
Penipuan perumahan syariah terjadi juga di Serang, Banten. Pengelola yang bernama Amanah City merugikan 3.600 orang korban dengan total kerugian mencapai 40 miliar rupiah. Kasus ini sempat menyeret PWM Banten karena membuat MoU dengan Amanah City. Namun PWM Banten memberikan klarifikasi bahwa pihak PWM juga menjadi korban penipuan.
Pihak Amanah City menjanjikan akan memberikan tanah wakaf kepada Muhammadiyah untuk dibangun amal usaha. Namun janji tersebut tak ditunaikan sebagaimana yang terjadi juga kepada konsumen lainnya.
Syariah sebagai Korban Ketamakan
Sebagai seorang yang berkesempatan menempuh studi formal dalam bidang ekonomi syariah, penulis sangat marah dengan perilaku manusia tamak yang menggunakan label syariah untuk merugikan sesama. Yang jadi korban adalah label syariah sendiri. Tidak melakukan penipuan saja sudah banyak yang sentimen dengan ekonomi syariah, apalagi ditambah ada kasus penipuan.
Silahkan perhatikan kolom komentar berita tentang skandal penipuan dengan label syariah. Penulis banyak menemukan komentar-komentar bernada sinis dari masyarakat yang masih alergi dengan syariah. Sekali lagi akibat ulah segelintir manusia yang tamak, maka syariah yang menjadi korban.
Penipuan adalah kejahatan yang mungkin terjadi dan dilakukan oleh siapapun, baik dengan embel-embel syariah atau tidak. Namun menurut penulis penipu yang menggunakan embel-embel syariah mendapatkan dosa dua kali lipat dibanding dengan yang tidak menggunakan embel-embel agama.
Ada dua dosa yang didapat oleh penipu dengan label syariah, pertama dosa menipu, kedua dosa menyalahgunakan syariah untuk mendapat keuntungan pribadi. Jika tidak menggunakan label syariah, maka seorang penipu hanya mendapatkan dosa penipuan saja.
Menurut Dr. Hamim Ilyas dalam ibtimes.id, syariah tidak hanya soal hukum, namun di dalamnya juga meliputi akidah dan akhlak. Para penipu berkedok syariah tersebut kalaupun produk mereka sesuai prinsip syariah secara hukum, namun mereka tak mengamalkan akidah dan akhlak Islam karena penipuan yang mereka lakukan.
Islam Melawan Penipuan
Dalam QS. Al Baqarah: 188 Allah SWT melarang kita untuk memakan harta sesama kita dengan jalan yang batil. Penipuan merupakan salah satu cara batil dalam mendapatkan harta yang dikecam keras oleh Allah SWT. Dalam ekonomi syariah, ada tiga transaksi utama yang dilarang yakni maysir (judi), gharar (spekulasi) dan riba (tambahan yang dilarang).Penipuan termasuk ke dalam gharar.
Rasulullah SAW pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya. Kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?” Sang pemiliknya menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian atas agar manusia dapat melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami. (H.R. Muslim)
Ajaran Islam untuk mencegah penipuan tak hanya berupa nasehat, namun dengan mendirikan lembaga pengawas yang bernama hisbah. Pada masa kini lembaga yang berfungsi sebagai pengawas bagi lembaga keuangan adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dalam lembaga keuangan syariah terdapat Dewan Pengawas Syariah (DPS) untuk mengawasi kesesuaian produknya dengan prinsip-prinsip syariah.
Menjadi Konsumen Cerdas untuk Mencegah Penipuan
Menurut penelitian Pew Research Center tahun 2017 mengenai sejauh mana penduduk suatu Negara menganggap agama sebagai hal yang penting? Indonesia menempati posisi kedua Negara paling religius di dunia. 93 persen masyarakat Indonesia menganggap agama adalah hal yang penting dalam kehidupan.
Menurut survey yang dirilis oleh Alvara Research Center pada Oktober 2018, 40,9 persen generasi milenial muslim berorientasi nasionalis religius, sementara 23,3 persen lainnya berorientasi religius saja dan tidak nasionalis. Artinya 64,2 persen generasi muslim milenial adalah religius disertai nasionalisme maupun tidak.
Informasi di atas cukup menunjukan bahwa Indonesia mempunyai peluang besar dalam komodifikasi atau komersialisasi agama. Bahasa sederhananya dikarenakan masyarakat Indonesia religius, maka memasarkan hal-hal yang mempunyai nilai religi menjadi cukup mudah di Indonesia. Inilah mengapa muncul berbagai ragam produk syariah disamping juga karena alasan ketaatan terhadap ajaran agama.
Sebagai konsumen, guna menghindari penyalahgunaan label syariah oleh segelintir oknum, sikap kritis mutlak diperlukan. Walaupun sebuah produk diberi label syariah, namun jangan membuat konsumen sami’na wasytarayna (kami dengar, lalu kami beli) terhadap produk tersebut. Prinsip yang harus digunakan adalah sami’na wa fakkarna (kami dengar, lalu kami fikirkan dulu) produk yang akan kami beli. Jika meyakinkan bahwa produk tersebut bebas dari penipuan dan sesuai syariah, maka silahkan beli. Jika tidak maka tinggalkan.
Hal ini berlaku bagi konsumen cerdas dalam membeli produk apapun. Bahasa sederhananya, teliti sebelum membeli. Sikap cerdas konsumen akan meminimalisir korban dan kerugian akibat penipuan. Hal ini menjadi tantangan di tengah kemampuan literasi finansial masyarakat yang masih rendah.